"C-Cantik sekali," Wooseok seperti tersihir. Dia sama sekali tak berkedip, pikirannya teralihkan oleh pemandangan indah di depannya.
Melihat Kakaknya yang membatu dan tak bergerak, Hanbi tersenyum lalu menyenggol bahu Wooseok, "Oppa, terpesona ya?" bisik Hanbi.
Wooseok akhirnya mendapat kesadarannya kembali, "A-Aku sedang apa? Aku disini untuk memberinya pelajaran. Aku harus membuatnya jatuh cinta, lalu akan meninggalkannya, t-tapi kenapa aku ... ini tak mungkin, ini tidak boleh terjadi,"
"Eonni!" Hanbi berteriak, membuat Wooseok tersentak.
Joana yang tidak menyadari bahwa Wooseok berada di sana tiba-tiba terkejut. Joana tak sengaja menatap Wooseok. Mata mereka bertemu beberapa detik dan tertegun satu sama lain. Jo kemudian mengalihkan pandangannya, dan Wooseok pun melakukan hal yang sama, kini mereka berdua terlihat canggung.
"Eonni, Oppa melarang Hanbi memilih, dan katanya Hanbi tidak boleh di sini," Rengek Hanbi.
Joana mendekat kearah Hanbi. Wooseok yang canggung tiba-tiba mundur beberapa langkah, "Sekarang sudah hampir makan malam, Hanbi keluar dulu, aku mau ganti baju. Hmm ... nanti aku akan pilihkan yang sesuai untukmu yang bisa kau bawa pulang, bagaimana? setuju?"
"Benarkah?" mata Hanbi berbinar memikirkan bahwa idolanya akan milihkan barang untuknya.
Mendengar pertanyaan Hanbi, Joana mengangguk sambil tersenyum. Dia mengusap kepala Hanbi dengan lembut. Wooseok sekali lagi terpana, dia tak pernah melihat Jo tersenyum seperti itu, dan sikapnya sangat lembut, tampak begitu tulus.
"Maaf Hanbi sudah merepotkanmu," ucap Wooseok lalu menggenggam tangan Hanbi, "Hanbi, ayo keluar, Ibu sudah menunggu," Wooseok menarik tangan Hanbi dan berlalu tanpa melihat kearah Joana.
"Apa-apaan itu? ternyata dia bisa menjadi malaikat? apa itu hanya acting? siall aku tak boleh terpengaruh."
Setelah Wooseok dan Hanbi keluar, Joana menghela nafas lalu mengacak-acak rambutnya, "Brengsekk, memalukan sekali. Kenapa si Panda itu bisa ada disini?" Joana menatap dirinya di cermin, "Sialann, aku hanya memakai ini, dan ..." Jo fokus menatap wajahnya, "Wajahku pucat! tak mengenakan riasan, hah! pasti dia berpikir aku jelek, dan punya bahan untuk mengejekku, sialannn," Joana uring-uringan.
***
Tuan Lee dan Bu Hye Ja Ibunya Wooseok, sudah berada di meja makan. Beberapa menit kemudian, Hanbi berlari menghampiri Ibunya, diikuti Wooseok di belakangnya.
"Ibu!" Hanbi berseru lalu tersenyum riang.
"Kau dari mana saja? Oppa mu cemas mencarimu," Bu Hye Ja mengusap kepala putrinya.
"Dari kamar Jo Eonni. Ibu tau kamarnya besar sekali, lemari Jo Eonni seluas kamar Hanbi. Banyak pakaian, sepatu, tas, aksesoris ..."
"Jo membawamu masuk ke lemarinya?" Tuan Lee agak kaget. Selana ini Jo tak pernah membiarkan orang lain masuk kesana, kecuali Bibi Kim.
"Iya, Jo Eonni memang hebat!" Hanbi mengacungkan jempolnya sambil berlonjak.
"Maafkan dia Besan, dia terlalu bersemangat," ucap Bu Hye Ja sambil tersenyum.
"Tak apa, hahaha itu karena dia masih muda," Tuan Lee tertawa. Merasa senang bahwa anaknya kini bisa menerima orang lain dalam hidupnya.
"Hanbi, duduk. Kenapa kau bercerita panjang lebar sambil berdiri di depan meja makan?" Wooseok menatap Hanbi.
Hanbi segera duduk, lalu menarik nafas dalam, "Hanbi senang sekali," ucapnya sambil terus saja tersenyum.
"Ya ampun. Kau sesenang itu?" tak! Wooseok menjitak kepala adiknya.
"Aaa, Ibu!" Hanbi cemberut, dan dia hampir memukul Wooseok.
"Wooseok, jangan usil. Lihat mertuamy ada di depan," Bu Hye Ja menggelengkan kepalanya.
"Hahaha, tak masalah. Aku suka melihatnya. Rumah terasa lebih hidup."
"Eonni!" Hanbi berteriak. Tampak Jo keluar dari kamar, memakai riasan tipis, tapi tetap dengan lipstick merah menyala kebesarannya. Jo duduk di sebelah Wooseok. Wooseok dengan canggung agak bergeser dan berusaha menjauhkan dirinya dari Joana.
"Baiklah, semua sudah lengkap. Ayo kita mulai makan," ajak Tuan Lee.
Mereka memulai makan malam yang hangat. Namun, jika melihat kearah Joana dan Wooseok, maka hawa hangat itu seketika berubah menjadi hawa dingin yang suram.
***
Di kamarnya. Joana duduk di tempat tidur sambip membaca buku. Sementara Wooseok baru saja masuk ke kamarm Wooseok langsung menuju sofa dan berbaring disana.
Joana perlahan melirik Wooseok. Setelah beberapa detik, dia kembali menatap buku di tangannya.
"Jo ..." panggil Wooseok dari sofa.
"A-Apa ..." jawab Joana. Entah mengapa dia agak sedikit gugup.
"Terimakasih untuk hari ini. Hanbi senang sekali. Dia tak pernah tersenyum selebar itu."
"Oh, tak masalah," ucap Joanan sambil menatap bukunya. Beberapa saat kemudian, suasana hening. Joana melirik kearah Wooseok sekali lagi. Tampak karyawan dengan jabatan sebagai suaminya itu berbaring menyamping dan menutup mata, "Panda," panggil Joana. Wooseok hanya diam, dia tak menjawab panggilan Jo sama sekali, "Panda! kau tak dengar aku?"
"Sudah kubilang, namaku Wooseok. Park Wooseok."
"Terserahlah. Kau ... sering bertemu dengan temanmu itu?"
"Maksudmu Seulgi?"
"Tentu saja dia. Kau punya teman lain lagi?"
"Memangnya kenapa?"
"Jangan terlalu sering bertemu dengannya. Terlebih di depan rumahku. Aku tak mau media menangkap kalian dan akhirnya membuatku dalam masalah."
"Hmm, baiklah," ucap Wooseok singkat.
Joana mengepalkan tangannya, "Dia tak membantah sama sekali? tak biasanya. Sialann apa dia ingin melindungi Seulgi dariku?"
Wooseok menarik nafas, lalu menyamankan dirinya di sofa, "Untuk saat ini ikuti saja dulu. Aku harus mendapatkan hatinya."
***
Beberapa hari kemudian. Joana menatap dirinya di depan cermin, "Jadi ... si Panda Bodohh suka wanita yang seperti itu? hah, apa menariknya? dia kurus dan berkulit pucat,"
Joana memeriksa dirinya, melihat ke kiri dan ke kanan. Berputar lalu memeriksa riasannya, sesekali dia memonyongkan bibirnya, lalu berdiri sambil meletakkan tangannya di pinggang.
"Nona, sedang apa?" Bibi Kim yang baru saja memasuki kamar Joana, merasa heran melihat tingkah Joana.
"Bibi Kim. Coba lihat aku, apa ada yang salah?" Joana berputar lalu menghadap Bibi Kim.
"Apanya yang salah? Nona terlihat baik-baik saja."
"Maksudku ... apa dandananku terlalu berat? apa aku harus membuatnya ringan? tapi aku tak bisa mengganti warna lipstick ku."
"Memang agak terlalu berat. Tapi itu cocok dengan Nona."
"Dan ... sepertinya aku harus diet. Kau lihat? tubuhku sepertinya semakin berat. Pipiku ya ampun kenapa bisa sebesar ini? aku sepertinya obesitas,"
"Obesitas? Nona, Nona sudah cantik dan tubuh Nona sudah bagus. Tak perlu diet segala."
"Bagus bagaimana? pipiku terlihat seperti kelinci gemuk. Dan ... ada lemak di perutku!" Jo memegangi perutnya yang rata.
"Nona sudah bagus seperti ini. Pipi kelinci itu kan membuat Nona makin imut."
"T-Tapi ... dia sukanya yang kurus seperti tusuk gigi," gumam Joana, "Aaa! menyebalkan," Joana berteriak sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Dia siapa?" gumam Bibi Kim sambil berpikir, "Ah Nona. Nona memang terlihat agak gemuk. Belakangan ini Nona terlalu banyak makan. Pipi Nona menggembul, jari-jari Nona seperti jempol semua. Riasan juga kadang sedikit berlebihan dan kumohon kurangi memakai lipstick merah ..."
"Bibi Kim! berani-beraninya kau bilang aku gemuk. Kau mau kupecat? hah!" Joana keluar kamar dengan kesal, sambil mengomel.
Bibi Kim tersenyum melihat tingkah Joana, "Ini yang keberapa kalinya ya? dia selalu berkata ingin memecatku, tapi beberapa menit kemudian dia akan mencariku. Dasar manja," Bibi Kim menggelengkan kepalanya, "Nona. Nona sudah cantik. Tak perlu diet segala!" teriak Bibi Kim, sambil keluar kamar mengikuti Joana.
TBC