"Bibi Kim, tasku," perintah Joana sambil mengulurkan tangannya. Bibi Kim segera memberikan tas yang sejak tadi di pegangnya kepada Joana.
"Nona, anda tak boleh makan sembarangan," ucap Bibi Kim kemudian.
"Aku tahu," Joana langsung berlalu. Hari ini pertama kalinya dia mengunjungi kantor pasca operasi. Bibi Kim berlari mengikuti Joana yang sedang berjalan dengan kecepatan penuh.
"Antarkan aku ke kantor, secepatnya," perintah Joana kepada supir yang sudah bersiap, di depan pintu.
"Nona! tunggu dulu, bekal anda ketinggalan!" seru Bibi Kim.Dia sudah mengatakan bahwa Joana tak boleh makan sembarangan. Untuk itu dia menyiapkan bekal, tapi Joana tak mengindahkan seruan Bibi Kim, dan malah masuk ke mobilnya.
"Nona! ya ampun," Bibi Kim berlarian dengan susah payah dari dapur untuk mengejar Joana.
"Bibi Kim, ada apa?" Wooseok yang memang dari tadi di dapur ikut berlari mengejar Bibi Kim sambil menenteng roti di tangannya.
"Tuan, Nona meninggalkan bekalnya," Bibi Kim mengangkat kotak bekal di tangannya, Wooseok menahan roti di mulutnya, lalu mengambil bekal dari tangan Bibi Kim dan berlari kencang keluar rumah.
"Jalan!" ucap Joana kepada supirnya. Laki-laki paruh baya itu segera menghidupkan mobil, "Tunggu sebentar!" ucap Joana lagi, dia langsung tersenyum ketika melihat Wooseok berlari kearahnya, dengan menenteng bekal di tangan, dan roti tersumpal di mulutnya, "Lihatlah dia, selalu saja bertingkah bodoh," ucap Joana lalu membuka pintu dan keluar dari mobil.
"Mmm ..." Wooseok ingin bicara, dia lalu mendorong semua bagian roti masuk ke mulutnya dengan cepat, dan bernafas sejenak, "Kau meninggalkan makan siangmu," ucapnya dengan suara yang tidak jelas, karena dia masih mengunyah.
Joana mendekat perlahan, lalu menyeka bibir Wooseok, "Kenapa kau berlari sambil makan? kau bisa sakit perut," Joana tersenyum.
Deg! hati Wooseok mulai kelabakan lagi. Dia belum terbiasa dengan perhatian Joana. Namun, dia menyadari satu hal. Semakin hari, sepertinya dia semakin mencintai wanita galak di depannya ini.
"I-Ini ... makan siangmu, kau belum boleh makan sembarangan."
"Aku kan bisa membelinya di restoran makanan sehat,"
"Tetap saja! t-tetap saja, siapa yang menjamin kalau itu benar makanan sehat? setidaknya aku melihat Bibi Kim mengolah makanan ini untukmu, makanan dari rumah lebih sehat," Wooseok meraih tangan Joana, lalu memberikan kotak makan siang tersebut pada Joana.
"Baiklah, aku akan makan makanan rumah saja," ucap Joana lalu tersenyum.
"Jangan terlalu lelah bekerja. Jangan sering memarahi orang ... jangan membuat dirimu berada dalam masalah ..."
"Iya. Sudah, cukup. Aku pergi dulu," Joana membuka pintu mobilnya, Wooseok secara tiba-tiba meraih lengan Joana.
"Joana!"
"Hmm, ada apa lagi?"
"C-Cepat kembali,"
"Pfftt ... kau ini," Joana melepaskan genggaman tangan Wooseok darinya, lalu menyentuh wajah Wooseok, "Aku akan segera kembali. Sekarang kembali ke rumah, dan tolong awasi ayahku,"
"Baik."
"Ok, Good. Aku pergi dulu," Joana membelai kepala Wooseok, lalu segera masuk ke mobil, "Jalan!" ucap Joana kepada supirnya.
Wooseok masih terdiam di tempatnya menatap Joana yang berlalu, sementara Joana memperhatikan Wooseok dari kaca sambil tersenyum, "Kenapa dia bisa seimut itu? Panda ini benar-benar meresahkan."
***
"Nona, saham kita naik hari ini!" Sekretaris Kang berseru ketika masuk ke ruangan Joana. Tampak wanita itu tengah asik memperhatikan sebuah topi baret di tangannya.
"Sekretaris Kang, aku membeli warna hitam lagi. Bukankah pakaian dan aksesorisku rata-rata berwarna hitam?" ucap Joana sambil menaruh baret di tangannya ke meja.
"Ya ampun, omong kosong apa lagi yang dia bicarakan?" Sekretaris Kang menggaruk kepalanya, "Nona, aku bawa kabar bagus. Saham perusahaan meningkat hari ini,"
"Saham turun atau naik, itu sudah hal yang biasa. Bagaimana menurutmu? apa aku harus mengganti semua warna hitam yang ada di lemariku?"
"Nona ... ini bukan saatnya memperhatikan soal warna, ada hal lain yang ingin saya sampaikan."
"Berita baik, atau buruk?"
"Bisa dibilang ... berita baik sih ..."
"Kalau begitu lewati saja,"
"Anda tak mau mendengar berita baik?"
"Kau tahu? di rumah aku punya berita yang lebih baik, tiga ratus persen lebih baik, kau tak penasaran?"
Joana menatap Sekretaris Kang. Sekretaris Kang menghela nafas lalu berpikir, "Aku harus menjawab apa? salah bicara sedikit saja, aku pasti akan disuruh mati,"
"Kau benar-benar tak penasaran?" tanya Joana lagi.
"S-Saya penasaran. Ada hal baik apa, Nona?"
"Aku tak kan menceritakannya padamu," ucap Joana lalu bersandar di kursinya sambil tersenyum.
"Sudah kuduga, dia memang gila," batin Sekretaris Kang, merasa tertekan.
"Tapi ... aku memutuskan untuk mendengar berita baik darimu hari ini, apa beritanya?"
"Ah, soal Laura Kim. Dia tak bisa menuntut kita karena kita membayar pinalti sesuai kontrak, dan sepertinya ... dia dalam masalah besar. Dia kehilangan banyak penggemar dan semua iklannya dicabut karena skandal obat-obatan itu,"
"Itu bukan urusan kita lagi,"
"Nona. Sejak kapan anda tahu dia menggunakan obat-obatan? jika tahu dari awal, kita bisa mencegahnya. Melihat dia terkena masalah seperti ini ... dan kita lepas tangan, itu agak sedikit ..."
"Sudah kubilang. Aku memberinya kesempatan berkali-kali, dan kesempatannya sudah habis. Sekretaris Kang, manusia yang membuat kesalahan, ada dua macam. Manusia yang berbuat salah tapi masih bisa memperbaiki diri, dan manusia yang berbuat salah namun masih terus berbuat salah sambil membenarkan kesalahan mereka. Tipe kedua ini, harus kita lepaskan. Kita tak bisa mempertahankan orang yang tak mau memperbaiki diri."
"Tapi anda sendiri sipatnya jauh dari kata baik,"
"Kau bilang apa!?"
"T-Tidak ada, maaf Nona, saya harus mengerjakan beberapa laporan," Sekretaris Kang membungkuk, lalu segera keluar dari ruangan Joana.
"Dasar, dia sering sekali berkata jelek tentang aku," Joana kembali menatap topi baret berwarna hitam di atas mejanya, "Aku harus mengenakan warna cerah mulai sekarang."
***
Wooseok terus saja menatap Joana, yang tengah mondar-mandir mempelajari berkas di tangannya. Di samping tempat tidur, juga sudah tersedia koper. Joana hari ini harus keluar kota karena beberapa pekerjaan. Wooseok dengan ragu, mendekati Joana lalu berdehem.
"A-Aku harus menginap di rumah ibu, karena hari ini ulang tahun Hanbi," ucap Wooseok.
"Ah, benarkah? sampaikan ucapan ulang tahunku untuk Hanbi," ucap Joana sambil memasukkan berkas ke tasnya.
"Hmm ... kau mau ikut ke rumah?" Wooseok menatap Joana. Dia berharap Joana bisa ikut bersamanya untuk merayakan ulang tahun Hanbi.
"Aku tidak bisa. Urusan diluar kota tak bisa diwakilkan. Ini, kartu kreditku. Belikan kado mahal untuk Hanbi," Joana mengulurkan kartu kepada Wooseok, Wooseok mengambilnya, lalu menatap kartu tersebut.
"Kau tak perlu repot-repot ..."
"Nona, Sekretaris Kang sudah tiba," Bibi Kim memanggil Joana. Wooseok terdiam, melihat Joana yang sudah bersiap untuk pergi.
"Aku harus pergi," ucap Joana lalu segera keluar meninggalkan Wooseok, "Dia benar-benar suamiku? memberitahu bahwa dia ingin menginap di rumah ibunya. Imut sekali," Joana tersenyum sambil menuju mobil, "Tentu saja dia suamiku, memangnya suami siapa lagi, hahaha," Joana tak berhenti tersenyum.
Sementara itu, Wooseok menghela nafas, lalu terduduk lesu di sofa, "Hmm, aku bisa apa? dia memang orang yang sibuk,"
***
Pukul dua pagi, Wooseok gelisah. Dia tak bisa tidur sama sekali. Wooseok bangun, berbaring, bangun lagi, berbaring lagi. Itu dia lakukan terus menerus, bahkan hingga lelah. Namun, dia masih saja tak bisa memejamkan matanya.
"Ah, aku sama sekali tak bisa tidur. Apa Joana sudah pulang dari luar kota?"
Wooseok memeriksa gawainya dan melihat Jam, "Pukul dua pagi? dia pasti sudah pulang. Apa dia sedang tidur? apa aku harus kirim pesan?"
Wooseok berpikir beberapa saat. Dia terus saja menatap gawainya, dengan ragu-ragu dia menekan nomer Joana dan menulis pesan singkat.
"Joana, kau sudah pulang? apa kau tidur?"
Wooseok menunggu balasan dengan gelisah. Dia terus saja menatap jam di gawainya, "Lima menit ..." gumam Wooseok, belum ada balasan dari Joana, "Sepuluh menit ..." Wooseok mengacak rambutnya, lalu menutupi dirinya dengan selimut. Beberapa saat kemudian, dia kembali menatap gawainya, "Lima belas menit, sepertinya dia sudah tidur ..."
Ting! tiba-tiba gawai Wooseok berbunyi. Wooseok segera duduk lalu membuka pesan di gawainya dengan tak sabar.
"Sudah. Aku sekarang mau tidur,"
Balasan Joana membuat Wooseok berlonjak, "Dia balas pesanku! ehem ... kalau begitu aku balas lagi,"
"Ah, kau sudah pulang ternyata, pesawat pukul berapa?"
Wooseok segera mengirim pesannya, tak sampai tiga puluh detik, pesan itu dibalas.
"Pukul sepuluh."
Balas Joana singkat. Wooseok terdiam sejenak, "Sepertinya dia lelah," Wooseok mengetik lagi.
"Baiklah, selamat istirahat. Mimpi indah ..."
Wooseok kembali berbaring. Beberapa menit kemudian, gawai Wooseok berbunyi lagi.
"Kau juga ..." lima menit kemudian, pesan lain masuk, "Mimpi indah," (dilengkapi emotikon cium).
Wooseok tersenyum gembira, "Lee Joana ... Nona Jo ..." Wooseok menatap pesan tersebut hampir sepuluh menit lamanya.
***
Dua puluh lima menit kemudian, Joana meregangkan otot-ototnya, dan bersiap untuk tidur.
"Ya ampun, lelah sekali. Saatnya tidur," Joana hampir berbaring. Sebelum akhirnya tiba-tiba pintu kamar Joana terbuka.
"Lee Joana!" Joana terbelalak, melihat Wooseok entah bagaimana tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Seok? kenapa kau ..."
Joana terdiam. Wooseok menghambur lalu memeluk Joana dengan erat, "Aku rindu, aku merindukanmu, Jo ...."
TBC