Bab 7. Pertengkaran

2621 Words
Di sisi lain, Luna masih duduk di ruang kerjanya. Dia menahan amarah sambil melihat berkas laporan yang dia terima dari sekretarisnya. Muncul masalah baru. Ternyata memang benar, kemunculan Mirza yang belum dia konfirmasikan dengan sang suami, akan membawa bencana baru. Dia mengambil ponsel-nya ketika sore menjelang. “Gue mau ketemu elo, Nyet!” katanya setelah ponsel tersambung pada Mirza. Luna pergi meninggalkan kantor dengan mobilnya. Tancap gas menuju apartment tempat tinggal mantan tunangannya tersebut. Ketika pintu terbuka, wajah tampan Mirza muncul di depannya. “Sayang, udah datang aja. Kangen banget sama gue, ya?” ucap Mirza. Luna tak menjawab. Dia masuk ke dalam apartemen Mirza tanpa mengingat bahwa dia harus pulang jam tujuh. Dia memang tak tahu jelas apa maksud Arvin mengatakan hal itu. Mirza memeluk Luna dengan manja. Luna ingin menolak, tapi Mirza menariknya begitu erat. Dan ada hal penting yang membuat Luna tak bisa menghentikan sikap gila dedemit yang satu ini. “Lo wangi banget, Lun.” "Jidat Lo! Gue kerja seharian, ya udah pasti bau ketek!" geram Luna, memutar bola mata dengan malas. Mirza terkekeh kecil. Luna tak menolak, membiarkan pria itu melakukan sesukanya. Tak lama, ponsel Luna berdering. Dia mendorong tubuh pria itu agar bisa mengangkat panggilan. "Sana pergi, Lo! Bikinin gue minum," gerutu Luna. Mirza tertawa sinis. Luna duduk di sofa dan berbicara dengan si penelpon. Wajahnya kusut sejak kasus yang dia terima di kantor tadi. “Aku sudah bilang, aku akan menanganinya sendiri. Kalau ada yang menghubungi lagi dengan bertanya hal ini juga, bilang saja, aku ada meeting di luar.” Luna mengakhiri panggilan dengan sekretarisnya itu. Absennya dia di perusahaan membuat malapetaka itu muncul. Mirza Dimitri, dialah dalang dari kekacauan pikiran Luna. Dan seperti biasa, dia masih santai seolah tak terjadi apa-apa. Tak lama, Mirza kembali dengan dua kaleng softdrink di tangannya. Diberikannya minuman itu pada mantan tunangannya ini. “Lo ke sini pasti untuk nanyain ke gue soal saham itu. Ya, kan?” tebaknya sambil menyambar ponsel Luna di atas meja. “Balikin hape gue, Nyuk!” Mirza melayangkan tangannya ke atas agar Luna tak bisa meraih ponsel itu. Sigap, dia menyembunyikan di dalam saku celana. “Kalau memang Lo mau tanya soal saham itu, anggap aja kita lagi meeting. Dan hape, harus dinon-aktifkan!” Mirza pergi meninggalkan Luna, masuk ke kamarnya. Pria itu duduk santai di kasur kamarnya. Kenapa tiba-tiba pria gila itu malah main ke kamar? Tak ada pilihan, Luna menuruti saja. Mirza telah membawa ponsel Luna bersamanya. Dering pun dia abaikan. Luna geram sekali. Lantas dia pun mengekor masuk ke kamar Mirza. Kamarnya sangat luas dan bersih. Menenangkan sekali saat dia menghirup aroma lavender yang menguar dari sudut dinding bernuansa biru putih itu. Luna pun duduk di sisi sofa, menatap serius Mirza yang sedang berada di pinggiran kasur. “Ya, gue datang ke sini memang karena itu. Apa maksud lo ngelakuin ini semua? Bukannya dari awal, investasi yang lo lakuin di perusahaan gue itu keputusan mutlak? Kenapa sekarang Lo berubah pikiran dan mencabut saham itu?” Mirza tertawa melihat kecemasan Luna. Si cantik itu terlihat kelabakan, seperti kebakaran jenggot saja. “Lo lupa, yang waktu itu menginvestasikannya itu perusahaan Divaska Group, perusahaan bokap gue atas nama Mirza Dimitri, calon tunangan lo. Trus sekarang, gue tanya ke Lo, apa status hubungan kita? Baru tunangan bentar, Lo udah main kabur aja. Itu bokap gue sampe tanduknya keluar.” "Lo sinting, ya! Jelas-jelas dari awal hubungan kita cuma bohongan. Kenapa nggak bilang aja ke bokap Lo? Toh, Lo juga mau sama gue bukan karena cinta, tapi untuk kuasa atas perusahaan bokap Lo kalau Lo udah punya tunangan," gusar Luna. “Ya jadi gimana? Bokap gue berinvestasi itu dan punya separuh hak milik atas perusahaan lo. Itu karena dia percaya sama hubungan kita, ngasih hak kuasa penuh atas perusahaan lo. Itu semata-mata karena gue ini tunangan lo. Tapi, sekarang ….” Mirza tersenyum manis untuk menggoda Luna. Dia beranjak dari kasur, lalu duduk di samping wanita itu. Disentuhnya lembut pipi mantan tunangannya itu, lalu berkata, “Dia udah tau kalau lo batalin pertunangan secara sepihak. Jadi …” Plak! Luna menepis kasar tangan Mirza. “Ini masalah kita, harusnya lo dan gue yang selesaikan itu. Profesional, dong! Kalau soal saham, kan, dari awal bokap Lo investasi sebelum kita tunangan. Ini pasti Lo nya aja yang ngutak-atik sesuka lo.” Mirza tertawa kecil melihat kemarahan Luna. Dia bergerak ke sisi meja, mengambil segelas wine yang sudah dia sediakan di sana. Sepertinya, dia tahu bahwa Luna akan datang menemuinya. Ditenggaknya beberapa gelas hingga hampir setengah botol. Lantas, dia kembali ke ranjangnya, menggoda dengan tatapan nakal. “Ya, gue tau. Ini urusan kita. Jadi, gue akan ngasih Lo peringatan aja. Kita bisa damai tanpa libatin bokap gue. Jadi, jalan satu-satunya .…” Luna menatap serius pada Mirza yang menggodanya sambil membuka satu kancing teratas pijamanya. Dia sedikit mundur, menyanggah badannya dengan kedua siku. "Kita main bentar, yuk!" ajaknya. "Gue lagi nggak minat sama cewek gue yang lain." Luna mendecak ngeri. Apakah ini pilihan? Perusahaannya baru saja stabil. Jika Mirza menarik sahamnya itu, bisa-bisa akan terjadi masalah serius. "Main apa maksud Lo? Lo jelas tau gue udah nikah," sinis Luna. "Main doang, elah! Bukan bobok. Takut apaan, sih, Lo juga bisa taekwondo, kan? Puasin aja gue dulu. Tenang, gue juga nggak minat tidur sama Lo." Luna hening sesaat. Tangannya memutar cincin di jari. Dia seorang istri, pantaskah melakukan ini? 'Aduh, ini gimana? Kalau aku nolak, perusahaan bisa kacau. Kak Arvin sekarang bergantung sama aku. Kasian, sih, kalau baru nikah, tapi malah hidupnya jadi susah. Ya udahlah, main dong, kan?' putusnya. Mirza masih menunggu, satu kancingnya dibuka lagi. Luna mengetuk sedikit kepalanya karena tergoda dengan d**a bidang pria itu. Mirza tertawa sinis. Matanya masih menatap Luna dengan sedukatif. "Come on! Lo jangan cengeng gitu, lah! Udah gede ini. Orang bisnis kayak kita, sih, udah biasa nukar apa pun buat kelancaran urusan kita. Yang penting masih bisa dikendalikan aja." Luna meneguk ludah sebentar, lalu memutuskan untuk menuruti Mirza. Duduk di sebelah pria itu, Luna tersenyum sinis. Saat Mirza mendekati wajahnya, Luna mencengkram bibir plum pria itu. "Gue nggak terima ciuman, Bangke! Biar gue aja!" kecam Luna. Mirza menepis tangan Luna, memipihkan sedikit matanya. "Terserah Lo!" Luna mengurangi jaraknya, lalu mulai membuka kancing pijama Mirza. Luna yang begitu dekat hingga Mirza bisa merasakan deru napasnya di sekitar lehernya. Pelan-pelan pelupuk mata pria itu tertutup, mulai menikmati kecupan manis Luna yang dijejakkan tipis-tipis di sana. Luna berada pada zona berbahaya. Pria ini justru sangat mempesona. Aroma cologne-nya yang bercampur keringat, membuat Luna semakin berhasrat. Bukan kecupan lagi, tapi dia membuka selalu bibirnya untuk menyecapi pelan. Dadanya berdesir saat mendengar Hela napas berat Mirza. Pria itu menggenggam jemarinya, menahan degup jantung yang terpacu. Dahinya mengernyit, menahan sakit saat wanita itu memberi gigitan kecil di sana. Entah karena Luna marah padanya, tapi perlakuannya terasa sakit hingga Mirza sedikit terusik. "Luna ...." Suara itu menjadi irama tersendiri untuk Luna. Dia harus menyelesaikan tugasnya malam ini, membuat Mirza merasa nyaman dengan sentuhannya. Pria itu sedikit lemas dan jatuh ke sisi kasur karena ciuman Luna begitu mengusik fantasinya. Tak peduli rasa sakit, akhirnya dia menyadari dirinya memang menaruh hasrat pada wanita bersuami ini. * Hari sudah mulai larut. Di sisi lain, Arvin masih sabar menunggu kembalinya sang istri. Meja sudah terhidang makanan dengan beberapa lilin untuk menggambarkan suasana romantis. Sudah lebih dari jam 8. Luna belum kembali. "Hape-nya nggak aktif. Apa meeting, ya?" gerutu Arvin. Tak sengaja, dia menjatuhkan gelas kristal yang dia sediakan di meja. Seharian ini, dia sudah memasak bersama Yumi di dapur, menyiapkan candle light dinner untuk istri tercinta. Dia bolak-balik menekan nomor ponsel Luna, tapi tak bisa dihubungi. Dia tertegun sejenak, menyadari segala kekurangannya. Pelan-pelan air matanya terkumpul di pelupuk, lalu mendongakkan kepalanya. 'Lo ini ngapain, sih, Vin? Lo suami, harusnya lo kerja. Lo yang kerja keras buat istri Lo. Sekarang Lo keliatan kayak orang bodoh, parasit. Apa yang Lo banggakan dari diri Lo?' Arvin berjongkok untuk mengutip pecahan itu. Lantas, tangannya berdarah karena tusukan kaca. Gurat sinis muncul di bibirnya. 'Lo nggak guna banget, sih, Vin. Suami macam apa Lo? Lo cuma akan bikin Luna malu.' Usai membersihkan pecahan kaca, Arvin menatap meja hidangan itu. Dia merasa sangat bodoh dan hanya bisa melakukan hal ini untuk menunjukkan kesungguhannya. Akan tetapi, Luna tak datang. Dirinya terlalu sibuk akan tugas. Arvin merasa rendah diri dan tersudutkan. Tak sadar, tangannya ditarik oleh seseorang. Yumi. Arvin menatap wajah Yumi yang ada di hadapannya. Gadis manis itu tersenyum, menarik tangan Arvin agar beranjak ke sisi sofa. "Sebentar." Yumi mendekati lemari P3K di dinding untuk mencari plester dan perlengkapan lain untuk menutup luka. Pria itu tersenyum, menatap wajah ramah Yumi. “Yumi, aku nggak apa-apa. Jangan khawatir.” “Dia nggak pulang? Bukannya … janjinya jam makan malam?” Arvin mengangguk, berusaha terlihat tegar untuk menutupi perasaan dan rasa mindernya. “Mungkin dia terlalu sibuk sama urusannya di perusahaan. Jadi dia nggak sempat nelepon dan ngasih kabar.” Arvin merasa tak nyaman dengan tatapan Yumi. Mungkin ada hal mengganjal dan Arvin pun memutuskan untuk bercerita. Entah kenapa dia begitu akrab dengan Yumi, mungkin karena seperti bertemu saudara sendiri di negara asing. "Aku jadi nggak bertanggung jawab gini, kan? Cuma di rumah aja, istri yang kerja." "...." Arvin berusaha tegar saat membuka cerita pada Yumi. Dia ingin temannya ini tak menatapnya sebelah mata karena hanya di rumah saja sementara istrinya bekerja. "Aku sebelumnya itu koma empat tahun karena tertembak. Aku bisa hidup sekarang itu kayak nggak mungkin aja." Yumi terkejut, namun urung menyela. "Empat tahun koma, Luna jadi sesukses ini. Sementara aku, SMU aja nggak lulus. Aku takut nantinya dia malu sama aku. Ya aku agak minder, tapi kayaknya dia nggak pernah nuntut apa pun." Yumi terdiam, hanya menatap mata Arvin yang masih berair. Pria itu berusaha keras menyembunyikan hatinya. Tatapannya larut bersama kesedihan di mata Arvin. “Oh iya. Kenapa kamu masih di sini, Yumi? Bukannya jam 6 tadi kamu udah pamit pulang? Ini … udah jam 10 malam.” “Aku ada urusan tadi. Lagian, waktu aku lewat lagi di depan rumah kamu, aku dengar suara barang pecah. Jadi, aku masuk saja.” “Ooh. Eum ... makasih. Aku udah baik-baik aja, kok. Kamu pulangnya gimana? Nanti ada apa-apa. Mau kuantarin?" "Lah, kamu nggak tau jalan, nanti pulangnya gimana, Vin?" Setelah Yumi pergi, Arvin menghela napas panjang, ingin melegakan hatinya yang sesak akan kerisauan. Arvin mengambil ponsel-nya lagi dan mencoba menghubungi istri tercintanya. Namun, lagi-lagi ponsel Luna tidak aktif. * Sementara itu, Mirza sudah tertidur lelap di kasurnya. Luna menatapnya dingin dan duduk di pinggiran kasur. Pria itu jatuh tertidur karena menenggak setengah botol wine. “Di mana dia sembunyikan itu?” Luna segera bangkit meninggalkan kamar indah Mirza, lalu menuju ruang tengah dan mencari-cari sesuatu di rak buku. Namun, hanya perasaan kecewa yang ada. Lalu, dia mengobrak-abrik laci meja yang ada di dekat komputer. Sekumpulan berkas dan kertas-kertas dia buka satu per satu. “Kalau nggak ada itu, aku nggak bisa melepaskan diri dari dia!” Luna kesal, segera bangkit dan keluar dari kamar Mirza. Setelah Luna pergi, ada senyum sinis yang terlihat di wajah Mirza. Sedari tadi dia tidak tidur. Dia tahu apa yang Luna lakukan padanya. “Gue kenal lo, Luna. Jadi, gue udah mengatur semuanya sebelum lo datang. Gue pastikan lo akan balik ke gue. Bersiaplah. Dan untuk suami lo itu …, gue pastikan dia agak menderita dikit. Ck!” Mirza memiliki rencana licik di balik kekacauan hati Luna. Luna pun tak tahu harus berbuat apa lagi. Sembari mengemudi, dia hanya menunjukkan raut kesal. Saat ini, perusahaannya tidak stabil. Separuh saham sudah jatuh kembali ke tangan Mirza. Belum lagi, project banyak yang mangkrak. Semuanya benar-benar membuat Luna frustasi. Ketika sampai di rumah, pintu itu terkunci rapat. Berulang kali Luna menekan bel rumah, tapi tak ada tanda-tanda ada yang bergerak membukakan pintu. Ketika dia merogoh saku jasnya, dia ingat kalau ponsel-nya tadi diambil oleh Mirza. “Kak Arvin!” Berulang kali Luna berteriak memanggil Arvin. Sesekali, dia mengusap-usap kedua telapak tangannya karena cuaca malam benar-benar dingin. Untung saja tidak turun salju. Akan tetapi, Jepang memang bersuhu dingin seperti ini kalau malam hari. “Arvin!” Luna menghela napas kesal. Pandangannya beralih pada sesuatu di tempat sampah. Dia terkejut melihat frame foto itu. Foto dirinya tanpa Arvin. “Apa-apaan ini?!” Klek! Akhirnya pintu terbuka, muncul wajah sang suami. Matanya terlihat sembab, tapi mungkin Luna tidak memperhatikannya karena terlalu emosi akan foto itu. Mungkin juga karena masalah kantor yang kini membebaninya. “Kamu–” Suara Arvin tertahan. “Ke mana aja? Kenapa baru dibukain sekarang pintunya? Kamu mau ngunci aku dan bikin aku mati kedinginan di luar? Cuma di rumah doang aja masih bisa males-malesan! Ngapain aja seharian?” Arvin terkejut mendengar tensi emosi Luna. Nada bicaranya benar-benar tinggi, mengejutkannya. “Lalu apa ini?” seru Luna. Luna menunjukkan frame foto itu. Arvin yang melihat juga tak mengerti dengan ucapan Luna. “Ini apa? Kamu buang ini? Untuk apa?” Arvin berusaha menahan sesak dadanya. Di kamar tadi dia begitu murung dan menyalahkan diri yang tak berguna. Makan malam sebagai wujud cintanya juga tak ada arti. Dan bukan penjelasan atau maaf karena melupakan janji, Luna malah membentaknya kasar tanpa alasan. "Aku tuh capek seharian. Harus kerja, ngurus ini-itu. Bisa, nggak, pulang itu jangan bikin aku makin suntuk! Bisa berguna dikit kenapa, sih?!" Luna bahkan tak menyadari dirinya melampiaskan amarah pada Arvin. Arvin yang sejak terbangun dari koma menjadi lebih sensitif dan rendah diri, kini merasa tersudutkan. Terhina, merasa direndahkan oleh istrinya. “Kalau orang ngomong, tuh, dijawab! Seharian di rumah doang, ya, bikin diri kamu lebih berguna dikit, kek! Jangan tidur-tiduran aja taunya!” Detik berlalu saat amarah Luna menguar begitu saja. Saat Arvin membisu dengan mata marah, Luna akhirnya sadar dengan tensi emosionalnya tadi. Arvin mengangkat wajahnya saat tak bisa mengontrol air mata yang tiba-tiba jatuh akan penghinaan Luna. "Eum ... Kak, maaf." Saat Luna hendak menjangkau tangan Arvin, pria itu menepis dan melangkah mundur. “Kenapa justru kamu yang marah? Aku bahkan nggak bisa marah karena aku tau kamu capek seharian. Kamu lupa sama janji kita dan kamu marah seenaknya aja. Apa kamu nggak tau apa yang udah kulakukan seharian ini?!" Luna seolah beku. Seluruh emosinya telah dia limpahkan saja pada suaminya tanpa memikirkan siapa dan apa yang kini ada di hadapannya. Air mata Arvin, air mata yang menetes karenanya. “Gomen ne (Maafkan aku)." Arvin segera pergi meninggalkan kekakuan Luna, meninggalkan tatapan menyesal di mata istrinya itu. Luna melangkah gontai masuk ke rumah. Dia membuka blazer dan membuka kait kemeja teratas. Langkahnya terpatri, jantungnya seolah berhenti berdetak. Dia tak tahu yang dilihatnya saat ini adalah mimpi ataukah nyata. Meja makan itu kini terhidang makanan khas Jepang. Yah, tepatnya candle light dinner. Luna berjalan mendekati meja. Lilin merah sebagai hiasan juga sudah banyak meleleh dan hampir padam. Makan malam romantis itu sudah disiapkan oleh suaminya. Namun, momen itu dilewatkan olehnya begitu saja. Dia teringat ucapan Arvin pagi tadi, pembicaraan melalui ponsel. “Kalau begitu, jangan pulang sebelum jam tujuh, ya!” Luna segera berlari menuju kamar. Di sisi kasur, Arvin terduduk dengan air matanya yang jatuh. Bukan karena dia yang terlalu sensitif, tapi memang perkataan Luna tadi membuat harga dirinya sebagai seorang suami menjadi tercabik. Dirinya yang sejak awal sudah rendah diri karena kehebatan karir Luna, kini semakin diperparah dengan hinaan istrinya itu. Ketika melihat Arvin, hatinya juga ikut hancur. Kekasih hatinya menangis karena dirinya. Dia perlahan mendekat dan menatap wajah Arvin. “Maafkan aku, Kak Arvin. Aku nggak tau kalau …” Luna memegang kepala Arvin, tapi Arvin segera menepisnya. “Aku nggak tahu Kak Arvin nyiapin kejutan ini untukku. Aku malah marah-marah nggak jelas. Bukan karena aku kesal karena Kak Arvin lama banget bukain pintu, tapi aku lagi ada masalah yang cukup rumit di kantor. Mengertilah.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD