Luna mencoba memberi penjelasan pada sang kekasih hati. Ketika dia berbicara seperti itu, Arvin menatap matanya dengan serius dan dingin.
“Apa hanya aku yang harus ngertiin kamu? Kamu enggak? Apa karena aku nggak bisa jadi suami bertanggung jawab, lalu kamu bicara seenaknya?!" pekik Arvin.
"Kak ...."
Arvin beranjak dari duduknya, menatap sang istri dengan serius. "Kamu yang minta nikah buru-buru. Aku bilang aku harus kerja dan mapan untuk keluarga kita. Apa memang dari awal kamu berniat cari suami yang ada di telapak kaki kamu untuk kamu injak?"
Luna mengantungkan lengannya di kedua bahu Arvin, memberi kecup mesra di bibirnya. Awalnya Arvin luluh. Tapi saat dia samar-samar mencium bau cologne lelaki di badan Luna, kecupan itu berakhir. Dia mendorong kasar hingga Luna hampir limbung.
"Kak Arvin?!"
Arvin diam sesaat, berusaha mengendalikan kemarahannya. Dia tak ingin menuduh istrinya ini selingkuh hanya karena itu. Apalagi masalah saat ini cukup menyita pikirannya.
"Kak, maafin aku," pinta Luna, memelas. "Maaf. Aku nggak akan ngulangin itu lagi.”
“Kamu ... kenapa mudah banget maafin diri kamu sendiri? Apa buat kamu, ini masalah sepele?”
Luna melihat kekesalan di binar mata Arvin. Hati Arvin sangat sakit saat ini. Pria itu ingin meninggalkan Luna, tapi Luna segera menarik bahunya. Terus memeluk dengan erat. Arvin berusaha untuk melepaskan diri, tapi Luna tak ingin melepaskan cintanya. Hingga tak berapa lama, dia memegang kedua tangan Arvin dengan sorot mata sendu penuh penyesalan.
“Apa yang harus kulakukan? Lakukanlah sesuatu untuk menghukumku, Kak,” ujar Luna.
Arvin menarik tangannya, berhasil melepaskan diri dari pelukan istrinya itu. Dia menunjukkan wajah tegar, menantang tatapan lembut Luna untuknya.
“Kalau begitu, sebaiknya kita jangan saling bicara dulu!”
Luna terkejut mendengar ucapan dingin dari bibir tipis suaminya itu. Arvin masih menatap dengan binar sinis. Berbalik memunggungi Luna.
“Ya, beginilah caraku menghukummu. Jangan bicara padaku. Lakukan itu sampai kamu merasa bosan dan ingin mati karena nggak bisa bicara denganku. Lakukan itu sampai kamu merasa ingin mati karena nggak bisa mendengar suaraku. Berusahalah sekuat tenaga untuk membuatku bisa maafin kamu. Tapi, aku tetap nggak akan maafin kamu sampai saat di mana aku ingin memaafkanmu. Sampai aku mau bicara lagi padamu!”
Bagai disambar petir, Luna mendengarnya. Dia tak menyangka masalahnya jadi serumit ini. Ya, karena Luna belum mengerti sakit hati Arvin akan penghinaan yang dia lontarkan. Arvin masuk ke toilet dan menghidupkan shower tersebut. Dia hanya tak ingin kemarahannya didengar oleh Luna.
*
Pagi hari menjelang, Luna tak melihat Arvin di kamar. Setelah bersiap-siap pergi ke kantor, dia turun dan melihat meja makan sudah berisi makanan untuk sarapannya. Namun, dia tak melihat wajah Arvin. Dia menikmati sarapan tersebut. Tetap saja hatinya tak tenang karena ada masalah yang saat ini lebih serius daripada sekedar saham di kantornya. Sang suami yang tak ingin bicara padanya. Dia mengambil kertas putih dan pena, menulis sesuatu di kertas tersebut. Lalu, menempelkan kertas itu di pintu kulkas.
[Kamu salah, aku takkan mati hanya karena tak bisa berbicara denganmu atau mendengar suaramu. Tapi, aku akan mati kalau aku tak melihat senyumanmu. Aku akan mati kalau kamu semakin membunuhku dalam hatimu. Aku akan mati kalau kata ‘aku membencimu’ lebih banyak di hatimu dari pada kata ‘aku cinta kamu’. Maaf, aku tidak akan berhenti mengatakan itu sampai kamu bosan mendengarnya, sampai kelak nanti kamu akan membalas dengan ucapan I Love You... Hingga saat itu tiba, aku akan menunggumu. Bukan kamu, tapi aku yang akan menunggumu. Aku akan menunggu senyumanmu, Aku akan menunggu..., apakah kamu sanggup melihatku mati atau tidak. Anata mushi dewa ikite ikenai.]
(Note : Aku tak bisa hidup tanpamu)
-Luna-
Hati Luna sangat terluka ketika dia menyadari bahwa Arvin sangat marah padanya. Dia pergi meninggalkan rumah dengan mobil metalic-nya. Yang dia harapkan agar Arvin mau menemani hidupnya sekalipun masalah bertubi mendera.
*
Suasana Kota Otaru yang sangat dingin. Sekalipun lalu lalang, hati Arvin masih galau. Dia berjalan tanpa arah. Untuk saat ini, dia hanya ingin menenangkan diri. Luna mungkin tak tahu betapa besarnya kekecewaan memenuhi relung hatinya. Bukan hanya persiapan makan malam yang gagal, juga dengan penghinaan istrinya itu akan harga dirinya.
Arvin berjalan selangkah demi selangkah. Tanpa dia tahu, langkah kaki yang sama mengikutinya dari arah belakang. Gadis cantik dengan T-shirt berbalut jaket biru dan syal biru yang melilit di lehernya. Tangannya dia masukkan ke dalam saku celana jins. Gadis itu mencoba menahan langkahnya yang mungkin terlalu cepat untuk menyetarakan langkah kaki dengan pria yang saat ini di depannya. Senyuman khas dari gadis berwajah manis yang selalu tersenyum ramah. Dia yang baru semalam dikenal oleh Arvin. Ya, Yumi. Yumi masih mengikuti langkah kaki Arvin, ke mana pun langkah itu terhenti. Arvin menuju taman kota, tempat pertama mereka bertemu, tempat di mana dia jatuh cinta pada pria itu.
Meskipun sudah memiliki istri, tapi bukan menjadi halangan untuk Yumi mencintai Arvin. Arvin duduk di taman, tangannya menatap ponsel. Speed dial 1, panggilan untuk Luna. Ingin dia menekan nomor itu. Namun, lagi-lagi dia mengurungkan niatnya.
“Lo bodoh, Vin! Gimana bisa lo bilang itu ke dia? Lo nantang dia untuk nggak bicara sama lo, justru lo yang mati karena lo yang nggak bisa menahan untuk nggak ngeliat dia. Lo yang mati karena gila. Tapi, gue nggak mungkin narik omongan gue lagi.”
Arvin memasukkan ponsel-nya lagi ke saku, lalu dia keluarkan lagi dan memasukkannya lagi. Berulang kali dia melakukan itu. “Sial. Aku bisa gila!”
Arvin berteriak cukup keras saking kesalnya. Dari kejauhan, Yumi yang melihat kelakukan Arvin hanya tertawa kecil. Benar-benar lucu. Senyuman dan tangis itu sanggup menggetarkan batinnya.
'Kenapa kamu bisa semanis itu, Arvin? Kamu tertawa, tersenyum, bahkan menangis sekalipun, kamu akan terlihat semakin manis.'
Yumi pun mendekati Arvin. Pria itu terkejut ketika menyadari kehadiran Yumi. “Yumi? Kenapa kamu ada di sini?”
“Hei, ini tempat yang biasa aku kunjungi. Kamu yang lagi-lagi datang ke tempatku.”
"Hah? Oh ..., itu karena aku tak tahu tempat lain di kota ini selain taman ini.”
Yumi tertawa ringan. Arvin yang melihat cantiknya tawa gadis itu hanya terdiam sejenak, seolah terbius melihat pesona yang dimiliki oleh wajah Yumi.
'Cantik banget ketawanya. Ada lesung pipinya juga,' batin Arvin.
Yumi pun duduk di samping Arvin. Membuang sedikit menit untuk menatap keindahan taman. “Kamu nggak tau tempat lain selain taman ini?”
Arvin mencebikkan bibir, tersenyum kecut. Yumi merasa lucu dengan ekspresi wajah Arvin hingga dia tiada henti dia tertawa. “Ck, kamu ngejek banget, sih? Kamu kira aku badut, ya?” keluh Arvin.
Yumi menghela napas sambil menstabilkan emosinya sesaat. “Karena kamu udah datang ke negeri Sakura-ku, akan kutunjukkan tempat yang bagus-bagus di sini.”
“Serius?" Arvin terlihat antusias. "Di mana?”
“Banyak tempat indah di sini. Aku sering ke Pantai Shioya, Pantai Otamoi, atau ... Pantai Zenibako. Tapi, nggak mungkin kita ke sana karena sebentar lagi winter. Jadi, akan sia-sia saja. Ah, aku tau!”
Yumi menarik tangan Arvin agar pergi meninggalkan taman. Mereka pergi ke suatu tempat yang cukup indah, Otaru Aquarium. Arvin terhenti sejenak di tempat wisata yang merupakan aquarium raksasa itu. Masih seperti biasa, Yumi melihatnya lagi. Kali ini, dia memegang dadanya perlahan karena jantung itu begitu cepat berdetak ketika melihat wajah manis penuh senyuman milik Arvin. Wajah yang membuat dia tersenyum dan tertawa hanya untuk Arvin. Pria itu menunduk, lalu tersenyum sebentar. Dia menatap Yumi dengan binar indah matanya, sangat terhibur dengan sikap manis Yumi padanya.
“Makasih, ya. Aku pikir, aku akan sendirian di Jepang. Ternyata ... aku bisa ketemu seorang teman yang sangat baik sepertimu.”
Teman, kata yang cukup manis. Namun, mendengar ucapan itu, Yumi berubah ekspresinya. Dia seolah seperti burung yang terbang melayang di angkasa, lalu jatuh terhempas ke tanah karena sayapnya patah. Ya, Yumi bagaikan burung yang bersayap patah, tak berkemampuan lagi untuk bisa terbang tinggi. Ya, Arvin sudah menikah. Tapi, apakah cintanya salah? Asal melihat Arvin tersenyum, dia merasa bahagia. Karena dia yakin, suatu saat nanti, Arvin akan melihat kesungguhannya.
Arvin menarik tangan Yumi karena tak sabar ingin melihat apa yang ada di dalam aquarium itu. Benar, mereka bahagia. Arvin tersenyum di sisinya. Senyuman yang memberinya semangat untuk mengembalikan sayapnya yang patah. Sayap cintanya untuk dicintai oleh Arvin.
Yumi mengajak Arvin untuk singgah di jajanan pasar yang berada tak jauh dari sana. Mengajak pria itu wisata kuliner dengan berbagai hidangan.
"Halal nggak ini?" tanya Arvin.
Yumi mengangguk, mengerti. "Halal, kok. Ini sering aku datangi selama di Jepang. Kamu tenang aja."
Arvin menganjur napas lega. Setelah menikmati cemilan, Yumi mengajak Arvin berkeliling lagi. Tak lekang senyum itu dari bibir tipisnya.
"Nanti kalau ada waktu ... aku mau ngajak Luna ke sini juga. Tapi kayaknya dia sibuk terus," gerutu Arvin.
Yumi menyadari pria ini sangat kesepian sebab isterinya adalah wanita karir hebat. Dia pun tak ingin menyela apa pun, hanya menyodorkan kesiapan diri jika sewaktu-waktu Arvin merasa bosan dan ingin mengajaknya keluar rumah.
*
Di kantor, di ruang kerjanya, Luna tak bisa berbuat apa pun. Saat ini kepalanya hampir pecah karena masalahnya begitu berat. Berpikir ketika dia pulang, dia akan mendapatkan cinta dari Arvin. Senyuman Arvin akan mengurangi rasa kesal dan beban pikirannya.
Luna menyesalinya. Dia yang marah dan melampiaskannya pada Arvin justru menjadi Boomerang rumah tangganya. Detik mengisi lamunan. Tak lama, seorang wanita masuk ke ruang kerjanya, lalu duduk di depan meja kerjanya.
“Bu Luna!"
Luna terlihat suntuk dan tak menyahut. Wanita itu pun menautkan alisnya, pertanda heran.
“Are you oke?”
Luna tersenyum tipis, tampak dipaksakan. Dia kembali memegang berkas di atas meja. Masalah rumah tangga dan kantor yang muncul bersamaan itu menyita perhatian lebih dari Luna.
“Ck, aku bisa gila.”
“Kenapa bisa seperti ini? Kamu yang ceroboh," serang wanita itu.
“Hei!” Luna kesal dengan ucapan wanita itu. Bukannya membantu, malah memberatkan hatinya saja.
Wanita yang ada di hadapan Luna itu menunjukkan raut serius. Berjalan dan duduk di hadapan sang direktur. “Sudah kubilang, kamu harus berpikir panjang sebelum mengambil keputusan."
“Sekretaris Lee! Apa sebenarnya yang ingin kamu katakan?” protes Luna.
Sekretaris bertampang Korea-Indonesia itu mulai membuka arsip yang dia bawa. Dia membacakan laporan perusahaan pada sang atasan. Namun, Luna tak meletakkan konsentrasi penuh padanya.
“Hei, Luna!”
Luna tersadar, lantas hanya menghela napas gusar. “Aa, chosonghamnida (Maafkan aku)!"
“Wae-yo (Kenapa?)"
Untuk sesaat, suasana terasa hening. Sesekali, Luna memegang dahinya dan menghela napas karena begitu banyak beban pikirannya. Wanita itu mulai bicara perihal laporan perusahaan yang dibawanya.
"Ulangi sekali lagi, please?" kata Luna.
Wanita bermarga Lee itu menghela napas perlahan, melipat kedua tangannya di d**a karena menyadari atasannya ini memiliki perhatian pada masalah lain.
“Neo gwaenchana? (Kau baik-baik saja?)"
“Molla (Entahlah)."
Benar, hati Luna sedang kacau. Sekretarisnya itu hanya berusaha menunjukkan wajah simpatinya. Mereka yang telah mengenal lama dan menjadi bagian dari hidup dua tahun Luna di Jepang.
“Bisakah aku bicara denganmu sebagai Eun Bi. Bukan sebagai Sekretaris Lee?” tanya wanita bernama lengkap Lee Eun Bi itu.