Meninggalnya Sang Ayah

1155 Words
"JUJUR MEMANG BERAT DAN MENYAKITKAN TETAPI BERBOHONG JAUH LEBIH MENIMBULKAN MALAPETAKA." **** Setelah bercerita panjang lebar, Hilya mengerti sekarang jika bertahan hanya menyikiti diri sendiri berpisah mungkin jalan terbaik. Seharusnya dari awal ia mencari tahu dulu tentang Mas Hamish bukannya langsung menerimanya sebagai istrinya. "Mbaknya, udah sehat?" tanya Halimah ia khawatir wanita di depannya ini dicari oleh keluarganya. "Alhamdulillah sudah, bu," jawab Hilya sopan. "Alhamdulillah kalau begitu. Ibu mau menginap saja atau pulang kerumah? Jika menginap saya ingin menyiapkan pakaian ganti dan kamar untuk, Mbaknya tidur," ucap Halimah. "Tidak, bu saya pulang saja kerumah. Saya pergi tidak izin siapapun tadi. Takut suami saya cari nanti. Saya juga nggak bawa hp sekarang," jawab Hilya. "Yasudah, Mbak. Mari saya antar bersama anak saya hari sudah mulai malam takut terjadi sesuatu dengan, Mbaknya." "Tidak usah bu, nanti saya merepotkan,"ucap Hilya. "Tidak apa, Mbak. Saya siap-siap dulu ya dan manggil anak saya," ucap Halimah berdiri dari duduknya dan kebelakang. Beberapa saat kemudian Bu Halimah kembali dengan pakaiannya yang sudah rapi. Ia pun memanggil Hilya untuk mengantarnya pulang. "Mari, Mbak Hilya saya antar," ucap Halimah membuyarkan lamunannya sejenak. "Ii ... Iya Bu," jawab Hilya siap-siap untuk pulang. Beberapa saat kemudian anaknya pun muncul di belakangnya. "Ayo, Bu," ucap Lelaki yang sedang mengancingkan baju tangannya. "Mbak Hilya Kenalkan ini Anak Saya Reyhan," ucap Halimah memperkenalkan mereka berdua. Reyhan tersenyum dan menyatukan tangannya menjaga untuk tidak bersalaman dengan yang bukan mahromnya. Hilya pun melakukan hal yang sama. "Sudah ayo, keburu malam," ajak Halimah. Kemudian, mereka pun segera keluar untuk mengantarkan Hilya pulang. . . . Setengah jam kemudian Hilya sampai di depan rumahnya, "ini rumah saya,Bu," ucap Hilya. "Besar ya rumahnya," ucap Bu Halimah. "Rumah suami saya, Bu," ucap Hilya tersenyum. "Yasudah, saya pamit dulu ya, terimakasih sudah membantu Saya tadi. Jika tidak ada Ibu saya tidak tahu apa yang akan terjadi," kata Hilya lagi. "Sama-sama," "Mas Reyhan makasih ya udah nganter saya juga. Saya permisi Bu, Mas. Assalamualaikum," ucap Hilya lalu keluar dari mobil mereka. "Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab mereka. Hilya berdiri di samping mobil sampai Mobil itu berjalan meninggalkan rumahnya. Hilya berbalik badan lalu Masuk ke rumahnya. Saat sudah membuka rumahnya, keadaan di dalam sangat gelap. Hilya berfikir mungkin sudah pada tidur atau suaminya sedang berada di rumah Lena. Ceklek.... Lampu tiba-tiba menyala dan suaminya pun muncul didepan sana dengan tampang dinginnya "Dari mana kamu?!" tanya Hamish dingin. "Mas, kamu belum tidur?" tanya Hilya terkejut. "Nggak usah banyak tanya kamu! Siapa yang anter kamu tadi!" kata Hamish menggertak. "Bu Halimah-" "PINTER BOHONG YA KAMU SEKARANG! TADI JELAS-JELAS YANG NYETIR COWO!" ucap Hamish menampar pipi istrinya membuat Hilya terkejut sekaligus meringis. "Ma ... Mas kenapa kamu tampar aku, Aku nggak bohong itu tadi, Mas Reyhan anaknya Bu Halimah," ucap Hilya menangis. "Oh Reyhan namanya selingkuhan kamu!" ucap Hamish lagi. "Tapi, Aku dianter sama Bu Halimah juga ngga cuma berdua, Mas," ucap Hilya menangis, sakit hati dan perih di pipinya seakan membuatnya lemah saat ini. "Udahlah kamu istri nggak berguna! Nggak tahu diri!" ucap Hamish menunjuk wajah Hilya. Hilya menggelengkan kepalanya tak percaya kenapa suaminya jadi kasar dengan dirinya. "Terserah, Mas kamu mau bilang apa tentang aku. Semua terserah! Mending Kita cerai aja sekarang!" ucap Hilya lalu pergi menuju kamar tamu dan menguncinya ia tidak mau tidur bersama suaminya malam ini. Ia sudah cukup sakit hati dengan suaminya dia sudah bertekad akan bercerai dengan suaminya. Hilya berbaring sambil menangis hingga ia ketiduran. **** Hilya terbangun dari tidurnya mendengar suara gaduh di rumahnya. Hilya duduk sejenak diranjangnya ternyata suaminya tidak memperdulikannya tidur di kamar tamu, padahal dia berharap suaminya memindahkannya ke kamar mereka. Tapi lagi-lagi dirinya hadur sadar suaminya itu tidak mencintainya ia hanya menganggap aku mesin pencetak anaknya saja. "Heh, seharusnya kamu yang sadar!" Suara di depan Makin terdengar gaduh membuat Hilya bangkit dan segera memakai hijabnya. Betapa terkejutnya dia saat Lena ada dirumahnya Hari ini. Apa semalam Lena tidur disini. "Heh! Tuh nyonya besar bangun juga kan," ucap Hasya membuat suaminya, Lena dan tunggu.... Ayahnya ... Ayahnya ada disini sekarang. Hilya lantas berjalan dekat menuju mereka. "HILYA APA BENAR KAMU SUDAH TAHU JIKA KAMU ISTRI KEDUA?" tanya Ayahnya membentak membuat ia bingung harus menjawab apa. "HILYA JAWAB AYAH!" ucap Ayahnya sekali lagi membuatnya hanya bisa pasrah mengangguk. "Tuh! Denger sendiri kan Bapak jika anak bapak saja sudah ikhlas dijadikan istri kedua," ucap Lena sambil menyedekapkan tangannya di d**a. "Maaf, Yah," ucap Hilya lemah. "Kalian sungguh tega dengan anak Saya! Dan kamu Hamish! Ternyata kamu bawa anak Saya ke Jakarta untuk kamu sakiti seperti ini," ucap sang Ayah murka. "Udahlah, Bapak. Toh, Hilya juga nerima kok, yakan Hilya," ucap Hasya mengomporinya. "Hilya Ayo Kita pulang sekarang!" ucap Ayahnya menarik tangan anaknya itu. Hilya menahan tangan ayahnya. "Tapi, Ayah. Hilya masih istri Mas Hamish, yah," ucap Hilya memegang tangan ayahnya yang ditarik. "Iya yah, Hilya nggak bisa dibawa gitu aja. Dia masih istri saya jadi masih hak saya dia. Lagian, dia belum memberikan anak untuk saya. Jika sudah, baru dia bisa pulang dan meninggalkan anaknya!" ucap Hamish tanpa rasa bersalahnya sama sekali. "APA?!" ucap Ayahnya terkejut seketika sang Ayah memegangi dadanya yang terasa sesak membuat Hilya panik seketika. "Ayah! Ayah kenapa Ayah!" Hilya menahan Ayahnya yang tiba-tiba hampir ambruk. "Hi ... L ... Ya ... Ap ... A ... Ka ... Mu ... Bah ... Gia ... Nak ... Ji ... Ka ... Ti ... Da ... K ... Be ... R ... Pi ... Sah ... Lah ... Nak ..." ucap Ayahnya tersendat-sendat sambil memegangi dadanya. "Mas bantuin aku mas, bawa Ayah ke rumah sakit, Mas. Ayah tahan Ayah Ayo Kita ke rumah sakit." Hilya sudah menangis sambil terduduk memegangi sang Ayah sedangkan tiga orang di hadapannya hanya melihat saja. Orang macam apa mereka membiarkan orang lain menderita di depannya tanpa berniat menolong. Hilya berusaha bangkit sendiri untuk membawa Ayahnya. Namun, Ayahnya menggelengkan kepalanya seakan bebannya semakin berat membuat Hilya tidak sanggup membawanya. "As ... Ha ... Du ... A ... La ..." Ayahnya berusaha untuk mengucapkan Syahadat membuat Hilya menggeleng sambil meneteskan air matanya. "Nggak, Ayah. Jangan tinggalin Hilya. Ayo Ayah Kita ke rumah sakit. Jangan tinggalin, Hilya. Hilya udah nggak punya siapa-siapa yah." Hilya terus berusaha membawa Ayahnya ke rumah sakit sendiri. Tapi terlambat Ayahnya pergi meninggalkannya. "I ... LLa ... Ha ... I ... La ... LLAH." Setelah mengucapkan itu Mata Ayahnya tertutup. "Ayah! Ayah bangun yah!" ucap Hilya menggoyangkan Ayahnya. Hilya mengecek nafas dan denyut Nadi Ayahnya. Nihil. "AYAHHHHHHH... AYAH KENAPA TINGGALIN HILYA, YAH. MAAFIN HILYA UDAH BOHONGIN AYAH. BANGUN YAH," Hilya menangis sendu tetapi orang di depannya ini hanya melihatnya saja. Dasar manusia iblis punya jantuk tapi nggak punya hati! "Mbak Hilya," panggil seseorang membuatnya menengok ternyata di sana ada Bu Halimah dan Mas Reyhan yang memanggilnya. Mereka mendekat ke Hilya lantas membantunya. .... "Setiap manusia diciptakan sempurna, mempunyai organ dalam tubuh yang lengkap. Tapi mengapa masih ada saja manusia yang diberikan hati. Namun, tidak dipergunakan perasaannya untuk saling mengasihi. Bisakah orang tersebut dikatakan manusia?" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD