Jakarta
Menjadi customer service bank memang tidak semudah yang Maya bayangkan. Maya dituntut memberikan pelayanan baik terhadap para nasabah. Maya memberikan pelayanan membuat rekening tabungan, menjelaskan secara detail macam-macam produk bagi calon nasabah yang berminat.
Maya juga menyaksikan secara langsung para nasabah melengkapi data-data pengisian formulir, dan perjanjian. Maya berusaha sebaik mungkin melayani nasabahnya, walaupun sedikit melelahkan. Maya merapikan rok hitamnya yang sedikit terangkat.
"Maya, kamu istirahat saja dulu, biar embak yang gantikan" Lulu melangkah mendekat.
"Iya embak, makasih sebelumnya" Maya membereskan formulir-formulir dan ia selipkan didalam map biru agar tidak ada yang tercecer.
"Ya udah istrahat sana, ini sudah jam 1 siang".
"Iya embak, makasih ya".
Maya mendorong kursi miliknya dan ia mengundurkan diri. Maya bergegas ke loker, membuka sepatu stelito miliknya, menggantinya dengan sendal jepit.
"Makan dimana kita?" Tanya Riska, Riska berjalan mengikuti langkah Maya. Riska adalah salah satu teller di tempat yang sama, dan satu angkatan.
"Makan di Solaria saja ya, lagi malas jauh-jauh".
"Boleh deh, oiya tadi customer prioritas kirim salam buat kamu".
"Siapa?".
"Enggak tau sih namanya siapa, tadi sih sama embak Lulu, Nanti pasti embak Lulu cerita".
"Siapa ya?".
"Yang jelas laki-laki, ganteng, punya usaha percetakkan".
"Kok kamu bisa tau".
"Tadi sih enggak sengaja baca berkasnya".
"Ya sudah ambil kamu saja, saya lagi malas berhubungan dengan laki-laki yang tidak saya kenal".
Nasi goreng kambing menjadi pilihannya, sementara Riska memesan mie Ayam dan dua botol air mineral. Maya mengeluarkan ponsel miliknya, menatap layar persegi itu. Maya membuka satu persatu pesan itu, tidak ada yang terlalu penting.
"May, kamu tahu kan Kevin anak HR?".
"Iya tau kok".
"Saya sudah jadian".
Maya meletakkan ponselnya begitu saja, "bukannya tidak boleh pacaran satu kantor ya?".
"Ya backstreet lah, tapi kamu jangan bilang sama siapa-siapa May".
"Iya, iya kamu tenang saja, saya bukan seperti teman-teman kamu" dengus Maya.
Maya tidak menyukai beberapa anak Teller yang setiap hari menggosipkan sesuatu yang tidak jelas. Selalu mencari muka dengan atasan serta biasa menjelek-jelekkan temannya sendiri. Suasana kantor memang tidak terlalu sehat, selalu berlomba-lomba dalam mencari perhatian atasan.
Maya tidak terlalu memperdulikan itu, Maya selalu fokus dengan pekerjaanya, ia tidak akan bertanya diluar konteks perkerjaan. Segelintir teman-temannya di kantor menggunjingnya, mengatakan ia sombong. Maya tidak menanggapi ucapan itu, tidak ada gunanya meladeni ucapan mereka, hingga akhirnya mereka akan lelah sendiri.
"May, ada yang lihatin kamu terus".
Maya mengerutkan dahi, "Siapa?".
"Arah jarum ke sembilan" bisik Riska.
Maya menoleh, ia mencari sosok yang dimaksud Riska. Maya terdiam, ia menatap laki-laki duduk tersenyum kearahnya. Ia masih mengenal laki-laki itu, wajahnya masih tempan seperti setahun yang lalu dilihatnya. Maya membalas senyuman itu.
"Kamu kenal dia?" Tanya Riska.
"Iya".
"Ganteng gila".
Maya mengetikkan bahu, "biasa saja".
"Itu dibilang biasa? Gimana gantengnya".
Laki-laki itu berdiri mendekat melangkah kearah Maya. Wira tersenyum menatap Maya. Wajah itu semakin cantik dengan polesan make up dibanding beberapa tahun lalu ia kenal. Secara tidak sengaja ia bertemu lagi disini, dengan tampilan yang berbeda dan suasana berbeda.
"Masih kenal saya" Wira kini berdiri tepat dihadapan Maya.
"Masih, apa kabar?" Maya berdiri mengulurkan tangannya.
Wira membalas uluran tangan lembut itu, "baik, kamu?".
"Baik juga, silahkan duduk" Maya mempersilahkan Wira duduk di salah satu kursi kosong.
"Kenalin ini teman saya Riska, Riska ini Wira" Maya memperkenalkan Riska.
Suasana menjadi canggung, Maya tidak tahu memulai percakapan seperti apa. Mereka berkenalan sudah lama sekali, setahun yang lalu.
"Kamu kerja dimana?" Wira menatap Maya.
"Customer service bank central, kamu sendirian?".
"Tidak, tadi dengan teman-teman saya, mereka lagi di atas mencari jam, jadi saya putuskan untuk menunggu disini?".
Waitress datang membawa pesananya, kini nasi goreng di depan matanya terlihat menggiurkan, Maya melirik Riska yang hanya diam menikmati mie ayam pesananya. Jelas terlihat Riska terlihat canggung keberadaan Wira.
"Kamu sudah makan?" Tanya Maya, Maya menyendok nasi goreng, masuk kedalam mulutnya.
"Sudah, saya tidak menyangka kita bertemu lagi disini, di tempat yang berbeda dan kota yang berbeda".
"Saya juga tidak menyangka bertemu kamu kembali disini, kenapa kamu bisa berada disini?".
"Saya memutuskan kembali disini, dan kamu kenapa bisa berada disini? saya pikir kamu pulang ke Singkawang".
"Awalnya sih begitu, disana sulit sekali mencari kerja, dan saya akhirnya mencoba memulai karir saya di Jakarta".
"Kamu disini kost?".
"Tentu saja, saya tinggal dimana lagi kalau bukan dikost. Saya sudah terbiasa tinggal sendiri".
"Boleh minta nomor ponsel kamu".
"Untuk apa?".
Wira tertawa hingga meja di hadapannya sedikit bergetar, "untuk menghubungi kamu lah, jangan bilang kamu tidak punya nomor ponsel".
Maya mengeluarkan ponsel nokia miliknya, jujur ia tidak hafal dengan nomor ponselnya sendiri, hingga ia mencari kontak yang sudah disimpannya. Maya memperlihatkan nomor ponsel itu kepada Wira. Wira mencatat apa yang dilihatnya. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Maya menatap layar ponsel nomor yang tidak dikenalinya.
"Itu nomor saya, disave ya".
"Iya".
"Tidak ada yang marah kan jika saya menghubungi kamu" ucap Wira.
Maya tersenyum, ia meletakkan sendoknya, melirik Wira, "tentu saja tidak ada".
"Terima kasih".
*****