...
Aku memandang sekeliling gubug, benar-benar mengenaskan, bahkan kandang kambing pun lebih bagus dari ini. "Kamu tidur di sini?" tanyaku.
"Tentu saja, Neith mau di mana lagi?" Dia menatapku agak lama.
"Kenapa?" tanyaku.
"Tidak, aku hanya merasa kau bukan Neith yang biasanya. Angin buruk itu, membuatmu berhenti menggeplak kepalaku.
"Kenapa aku menggeplak kepalamu? Itu pasti sakit kan," ujarku Heran.
"Yah, biasanya saat kau tidak suka dengan pertanyaan ku, kau menggeplak kepalaku. Kau sangat kasar biasanya, kau tahu? Sekarang, justru kau yang sering bertanya hal remeh temeh," katanya lagi sembari berbaring, dengan bantal beralaskan tangan.
Aku pun ikut rebahan di samping Kosey, menatap langit, benar-benar langit, karena atap rumbai gubuk ini telah berlubang.
"Bagaimana kalau hujan Kosey, air akan menimpa kepala kita?" tanyaku.
Kosey terkekeh. "Jika aku tidak mengenalmu seumur hidupku, maka aku akan menganggapnya gila, Neith. Mana ada hujan di tanah terkutuk ini? Sudah berabad-abad lamanya tidak ada hujan. Kau bodoh sekali Neith!"
Aku berbaring miring menghadap Kosey. "Tidak pernah ada hujan?" tanyaku.
"Ya, dan lebih buruknya lagi, adanya badai pasir. Kering, dan membakar kulitmu. Oleh karena itu kita sangat tergantung pada sungai Nile. Hanya di sana air yang ada," jelasnya.
"Ya Tuhan, bagaimana kalau aku ingin buang air kecil atau air besar?" tanyaku.
Sekarang Kosey ikut berbalik menghadapku. "Kau tinggal mencari tempat sepi, bawa potongan kayu tau apalah untuk menggali, dan buanglah kotoranmu di sana," ujarnya.
"Hah? Bagaimana dengan cuci tangan?" tanyaku.
"Jangan menyia-nyiakan air untuk hal tidak perlu, Neith! Kecuali dewa menurunkan air dari langit, mungkin kau bisa melakukannya di mana saja. Usapkan saja pada daun atau batu kering, sudah cukup," jelasnya.
Sungguh aku tida percaya. Padahal menurut jejak sejarah disebutkan bahwa orang-orang pada masa peradaban Mesir kuno telah menemukan sabun, sikat gigi , dan juga cream serta losion. Apakah masa yang kudatangi ini sebelum itu?
Kosey tersenyum, kemudian tertawa lagi, kali ini lebih keras. "Buahahahahahahahahahahaaha! Neith, Neith, wajahmu benar-benar lucu! Hahahaha!"
"koseeeyyy!" aku meninggikan suara dan hampir saja menggeplak kepalanya. "Kau membohongiku ya?"
"Kau bodoh Neith! Kau benar-benar bodoh sekarang. Mungkin ini balasan untukmu yang selalu mencemoohku saat aku menanyakan sesuatu, hahahaha," ucapnya bahagia.
"Aku tidak suka dibohongi Kosey! Jelaskan dengan benar!" Sergahku, seraya mencubiti lengannya yang padat itu.
"Baiklah, baiklah, jangan menyiksaku! Aw, cubitanmu sangat sakit Neith!" keluhnya.
"Kau bisa pergi ke sungai Nile, atau ke tempat pembuangan umum. Di sana ada air untuk mandi dan membersihkan diri. Tapi jika kau tidak ingin antri dan bergabung dengan banyak orang, kau bisa melakukan hal yang kusarankan tadi," katanya, setelah aku mengehentikan cubitan di lengnnya.
"Hmmm, begitu ya. Baiklah. Aku bisa tenang sekarang," kataku.
"Tapi untuk hujan, memang benar yang kukatakan. Sudah lama sekali air langit tidak jatuh. Karena itulah, jumlah Air di Nile juga berkurang. Orang-orang bilang itu karena kutukan, makanya Pharaoh sedang membangun Piramida baru yang lebih megah, sebagai kuil persembahan pada dewa," jelas Kosey.
Hmm, menarik.
"Prajurit Pharaoh tadi? Merka menangkapi gadis-gadis, dan pria muda," kataku
"Ya. Ayahku adalah korbannya. Dia ditangkap prajurit Pharaoh dan dijadikan b***k untuk membangun piramid. Tapi, nasibnya baik. Dia masih hidup sampai sekarang, tapi tidak bisa pulang menemaniku sebelum.pieamid itu selesai," ujar Kosey.
"Benarkah? Kau sering melihatnya di sana?" tanyaku.
"Kadang-kadang, terutama saat aku kelaparan dan tidak ada yang memberiku makanan. Ayah akan melihatku dari tempatnya, dan meninggalkan makanan untukku. Tapi setelah ada Sharmila. Aku sudah jarang mengunjunginya, karena tidak pernah lagi kelaparan," ujar Kosey.
Hmmm ternyata ibu Neith baik juga orangnya. Tapi kenapa dia selalu mengancam akan menjual Neith pada Pharaoh? Wanita itu memang nyentrik.
Kosey kembali berbaring, kini dia menutup matanya. "Tidurlah Neith, aku lelah. Jangan bertanya lagi," ujarnya, seolah mengerti jalan pikiranku.
Aku pun menururtinya, berbaring telentang, menatapi langit yang temaram. "Kau ingin mendengar ceritaku Kosey? Tentang Negeri jauh?"
"E-hem? Negeri apa itu Neith?" tanyanya dengan gumaman.
"Negeri dengan segala hal yang hanya mengandalkan sentuhan. Rumah yang berdinding pualam. Langit-langit tinggi penuh ornamen lukisan, lantai marmer licin dan mengkilap," kataku, menjelaskan apatemen mewah yang kuhuni beberapa tahun terakhir.
Tidak ada sahutan dari Kosey. Napasnya teratur, terdengar halus. Anak laki-laki kecil yang cerdas. Dia telah menghadapi hidup yang keras dalam usia sekecil itu. Kuelus kepalanya yang berambut keriting itu. Lembut.
"Selamat malam Kosey, terima kasih telah menyelamatkanku hari ini. Suatu saat, akan kubalas semua kebaikanmu," bisikku.
Melihat keadaan Kosey dan mendengar ceritanya, seolah semua.penderitaanku akibat pria-pria pengecut yang selalu lari begitu dekat denganku, jadi terasa tidak ada apa-apanya. Terutama Keanu, dia tidak layak mendapatkan aku. Semua fasilitas kuberi, uang sebanyak apa pun yang dia minta selalu kutransfer. Namun tetap saja dia pengecut seperti yang lain.
"Sialan!" umpatku tanpa sadar.
Lalu buru-buru aku menutup mulut begitu mendengar Kosey bergumam tidak jelas. Dia seperti sedang berdebat, lalu berguling ke arah sebaliknya, dan memunggungi ku.
Aku kembali menatap bintang di langit, berusaha mengurai kepingan misteri yang terjadi. Bagaimana bisa, aku terdampar di Mesir dengan jarak ribuan tahu dari asalku. Ini semua pasti ada hubungannya dengan Profesor Lateef dan gelang artefak temuannya.
Sebaiknya, aku mencari petunjuk tentang gelang itu. Karena setelah aku sampai di sini, kedua gelang yang berpasangan itu lenyap tak berbekas. Jika kutemukan gelang itu di masa sekarang, mungkin akan menjadi batu loncatan untuk kembali ke masa yang seharusnya.
Hanya ada dua petunjuk yang kupunya, sepasang gelang artefak dari emas, dengan batu Rubi sebagai matanya. Atau, aku harus mencari orang yang merupakan Profesor Lateef di masa ini.
"Gludug, gludug, duarrrr!" Suara Guntur bergemuruh. Juga kilat menyambar-nyambar tanpa ada gulungan awan sedikit pun.
"Aneh!" bisikku.
Aku pun duduk, mencoba melihat jika ada air minum di sini, tenggorokanku kering.
Ada satu teko dan gelas tanah liat di sudut gubug. Namun saat kutuang isinya, tidak ada setetes pun. Rasa haus yang cukup kuat, memaksaku untuk mencari air. Terpaksa aku keluar sendiri, karena tidak tega membangunkan Kosey.
Gubuk Kosey terlatak di tempat yang cukup jauh dari pemukiman lain. Lebih tepatnya, menempel di dinding tinggi yang entah bangunan apa dibaliknya. Mungkin, jika aku berjalan ke arah pemukiman, ada yang bersedia memberiku segelas air.
Berbekal ketajaman mata dan cahaya bulan sabit serta bintang, aku berjalan sembari merapatkan kain untuk menutupi kepala. Kulihat wanita-wanita disini begitu. Menyembunyikan muka mereka dan hanya menampakkan mata. Sepertinya cara berpakaian ini untuk menghalau panasnya matahari di siang hari, dan dinginnya angin di malam hari.
Aku telah sampai di situ lorong, dekat rumah penduduk. Namun, semua jendela dan pintu telah tertutup rapat. Entahlah, pukul berapa sekarang, aku tidak tahu. Namun sepertinya masih sedikit lebih lama setelah matahari tenggelam, belum terlalu larut kurasa.
Apakah orang-orang di sini tidur setelah matahari terbenam? Sesore itu?
Mengandalkan ingatan, aku melewati lorong-lorong ini menuju belakang rumah Sharmila. Seingatku, kain-kain panjang yang digunakan Kosey untuk melarikan diri bersamaku Sore tadi masih tergantung di sana. Jika beruntung, aku bisa mengendap-endap masuk, untuk mencari air minum.
Ya sebenarnya aku lapar juga sih, tapi mana ada makanan di tempat kumuh seperti ini. Lagi pula, belum tentu aku cocok dengan makanan di sini, mengingat alergiku akan beberapa jenis bahan makanan.
Yah, itu dia. Kain yang menjuntai itu berkibar-kibar. Aku Harus melompat untuk meraihnya.
Hap! Yes berhasil.
Sekarang aku perlahan naik, memanjat dinding batu seraya berpegangan dengan tali dari jalinan kain tadi. Sesampainya di atas pagar tembok, aku melihat ke dalam, tidak ada seorang pun di sini. Bahkan Sharmila pun tidak ada.
Aku perlahan turun dari tembok, dengan memanfaatkan pohon. Kemudian, kucari ke gentong-gentong yang berjajar di belakang rumah.
Yes! Air! Aku pun segera menangkupkan tangan dan minum sepuasnya.
Setelah itu, aku masuk ke rumah, lewat pintu belakang yang tidak terkunci. Melongok ke kamar Sharmila, yang kosong. Kamar yang aneh, penuh dengan cawan-cawan berisi berbagai macam bubuk, batuan, ranting serta rempah berbau menyengat. Beberapa tembikar diisi lilin, dan juga entah cairan apa yang lengket. Belum lagi coretan simbol-simbol dengan arang di batu pipih.
Jika di masaku. Orang yang punya setting kamar seperti ini disebut bergaya gotic. Atau malah dia bisa disebut dukun. Haha.
Lantas, mataku tertumbuk pada satu peti kayu. Seingatku, profesor Lateef pernah mengeluarkannya dari laci. Iya, tidak salah lagi, ini adalah peti tempat perhiasan artefak yang ditemukan oleh Profesor Lateef. Mungkinkah, gelang itu ada di dalamnya?
Kuulurkan tangan, menyentuh peti kayu itu. Tiba-tiba saja, terdengar suara Guntur menggelegar dan kilat bersahutan. Aneh!
Dengan jari, kususuri relief di permukaan kayu itu. Lekukan-lekukannya menggambarkan sebuah kepala ular kobra. Lantas, ada hyroglif tertulis di bawahnya.
"Untuk yang tercinta, Nilemira."
Seketika aku merasa pusing, kelebatan ingatan, seolah dipaksakan masuk ke kepalaku. "Arrrrgghh!" aku menggeram, mencoba berdiri lurus. Tapi tidak bisa, aku limbung, mencoba mencari pegangan, tapi malah membuat berantakan isinkamar Sharmila.
"Tolong!" rintihku, saat denyut nyeri di kepalaku menjadi-jadi, saat terbentur batu.
Aku merasa seolah sedang bermimpi, di tempat yang terang, tapi penuh kabut.
Bukan, bukan ini bukan kabut. Aku seolah sedang berada di sebuah kolam air panas, yang penuh dengan uap air.
"Yang Mulia, Anda ingin minyak esensial apa? Jasmine, Wardah, sandalwood?" tanya seseorang berpakaian kain linen yang membawa nampan. Tiga cawan berisi minyak, di haturkannya ke hadapanku.
"Wardah," bibirku bergerak tanpa sadar.
Dia segera meletakkan nampan itu, kemudian menuangkan cawan berisi minyak beraroma mawar.
Sungguh, aku memang suka bunga mawar, tapi tidak pernah merasakan sensasi aromaterapi seperti ini. Pasti minyak essensial ini telah dicampur dengan bahan lain.
Tiba-tiba sebuah pintu terbuka. Seorang laki-laki masuk, dia hanya mengenakan kain linen yang didlilit pada pinggang. Wajahnya tidak begitu jelas, karena terkena uap air.
"Tinggalkan kami berdua," titahnya.
Para pelayan yang berada di sekitarku pun memberi hormat, lalu berjalan mundur, keluar dari ruangan ini.
Sementara pria itu, mulai masuk ke air, dan akhirnya melepaskan kain terakhir yang menutupi tubuhnya.
"Apa kabar sayangku?" ucapnya dengan suara dalam yang lemah lembut. "Kupikir akan menyenangkan jika kita menikmati berendam bersama."
"Terserah anda yang mulia," jawabku tanpa sadar, seolah aku hanya mengikuti skenario yang telah terjadi.
"Rambutmu begitu indah," pujinya sembari menyentuh kepalaku. Namun anehnya aku tidak merasakan sentuhan itu.
"Kulitmu begitu halus," lanjutnya, kemudian meletakkan telapak tangan di lenganku. Dia bergerak mendekat, dan mencium bahuku.
"Yang Mulia," ucapku lagi, tanpa sadar.
"Kupikir, aku tidak akan mampu meninggalkanmu sedetikpun, Nilemira," ujar Pria itu. Dia menarikku dalam rengkuhannya, diselimuti uap pekat yang kian memanas.
"Kekasihku , Nilemira..."
"Nilemira ..."
"Nilemira ..."
Suara merdu nan dalam itu bergema di kepalaku, sementara pandanganku makin kabur, kabur dan ...
"Neith! Neith!" Seseorang memanggil, serta mengguncang bahuku.
Mataku perlahan membuka. Tampak Kosey dengan wajah cemasnya. "Astaga Neith, bangun!" ujarnya sembari membantuku duduk.
"Kosey?"
"Ya aku, Neith. Memang siapa?" tanyanya kocak, tapi terselip sebal juga dalam nada bicaranya.
"Aku, aku..."
"Aku terbangun pagi ini, dan melihatmu sudah tidak ada di sebelahku. Segera aku berlari kemari dan benar saja, kutemukan Kau tertidur di kamar Sharmila.
Astaga! Bagaimana bisa kau obrak abrik kamar ini, Neith! Ammi- mu bisa membunuhmu kalau begini," ujar Kosey gusar, melihat kamar Sharmila yang berantakan.
"Aku, aku, tidak sengaja Kosey " kataku sambil bangkit seraya memegangi kepala. "Tadi, kepalaku sakit dan aku terjatuh. Lalu tidak ingat apa-apa lagi."
"Sepertinya kamu harus pergi dari sini untuk sementara waktu. Aku khawatir Sharmila tidak bisa mengendalikan emosinya, dia akan memukulmu dengan kayu bakar, seperti waktu itu," kata Kosey.
"Apa?"
... Bersambung ....