...
"Apa?" Aku sekarang panik. "Di-dipukul dengan kayu bakar?" Mengucapkannya saja membuatku bergidik, aku tidak berani membayangkan. Sharmila yang bertubuh sintal dan penuh otot itu, mengangkat kayu bakar dan memukulkannya padaku.
"Sekarang, sebelum Sharmila kembali, sebaiknya kamu bersembunyi untuk sementara," usul Kosey.
"A-aku bersembunyi. Di mana?" tanyaku bingung.
"Sebaiknya kamu bersembunyi untuk sementara,"kata Kosey. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang membuka pintu dari luar.
"Astaga! Sharmila datang!" pekik Kosey panik.
"Aduh, bagaimana ini?" Kepanikan menyergap. Bayangan dipukuli sharmila, membuatku makin gemetar.
"Bersikaplah biasa saja. Akan kualihkan perhatiannya, lantas menyelinaplah keluar, menuju rumahku. Sembunyilah di sana, sampai ku menjemputmu," ucap Kosey tenang.
Sejujurnya aku tidak percaya anak laki-laki berusia sepuluh sampai tiga belas tahun itu bisa memiliki siasat sebagus ini. Namun, begitulah Kosey. Kecerdikan tidak tergantung usia bukan?
"Oke, kita temui dia, bersikaplah tenang," katanya padaku.
Aku mengangguk.
Kami berdua menghampiri Sharmila setelah menutup rapat kamar Perempuan itu. Sungguh, aku masih gemetaran, dan jantungku berdebar dengan kacau. Kosey menggengam tanganku, begitu kami menghadapi Sharmila.
Perempuan itu justru terkejut melihatku. "Kau di sini? Biasanya jam segini masih di rumah Kosey bukan?" tanya Sharmila. Ada sedikit kekhawatiran di matanya, entah kenapa.
"Aku perlu minum, jadi aku kemari mencari air," kataku.
"Kami akan ke sana sekarang," ujar Kosey yang segera menarikku pergi melewati pintu.
Sharmila seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi aku keburu pergi. Semoga kami sudah jauh saat dia mengetahui kekacauan yang kuperbuat di kamarnya.
"Lari, Neith! Lebih cepat!" kata Kosey.
Dia membawaku ke arah yang berbeda, bukan menuju rumahnya. Kami melewati lorong-lorong, juga beberapa rerimbunan, di bawah sinar matahari yang baru muncul. Sejuknya udara dan semburat langit yang mulai terang, membuat langkah kami semakin cepat.
Di satu tempat, mulai banyak orang berlalu lalang. Aku sempat berhenti beberapa kali, karena hampir menabrak mereka. Sementara itu, Kosey bergerak lincah dan bisa menyelinap dengan cepat
"Kosey, Tunggu!" teriakku. Begitu melihat punggungnya semakin tenggelam oleh lalu lalang orang.
Aku mengejarnya, tapi tidak bisa. Dia telah menghilang. Saat ini barulah aku sadar sedang berada di tengah pasar. Ada berbagai macam penjual menawarkan barang dagangannya. Namun, aku tidak punya waktu, aku harus mencari Kosey. Tidak lucu rasanya tersesat jauh di masa lampau, dan juga tidak tahu harus ke mana.
Begitu mataku menangkap sekelebat gerakan anak laki-laki, segera kukejar dia. "Kosey! Kosey!" panggilku.
Dia semakin cepat bergerak, kemudian berbelok ke satu tempat. Sepertinya ini sebuah kedai, tapi berada di ruang terbuka. Hanya ada meja pendek dan alas duduk dari kain seadanya.
Aku berhenti sejenak, karena tergoda oleh aroma masakan yang sangat harum. Perutku pun bersuara, mengutarakan persetujuannya. Ada beberapa orang terlihat sedang menyantap daging bakar. Juga lahap menggigit roti yang terlihat masih mengebul uapnya.
Rasa lapar, mengalihkan pikiranku dari segala himpitan. Jangankan Sharmila yang menakutkan, Kosey yang tak tentu rimbanya pun, bukan masalah lagi. Apalagi, posisiku yang terdampar entah di tahun berapa sebelum Masehi. Semua terkalahkan oleh aroma daging panggang dan roti yang masih hangat.
"Kamu!" panggil seorang pria botak, berperawakan kekar, yang tidak jauh dari tempatku berdiri. Dia bersama dua orang pria lainnya sedang duduk melingkar menghadap satu meja bundar. Mungkin dia tadi memperhatikan aku yang sedari tadi berdiri sembari menatap orang-orang yang sedang makan.
"Sa-saya?" tanyaku, sembari merapatkan kain di muka.
"Iya, kamu! Kemarilah," kata pria satunya lagi, yang berperawakan lebih kecil. Wajahnya terlihat menakutkan dengan beberapa codet di pipi.
"Ma-maaf, sa-saya harus pergi," kataku. Perlahan aku mundur, karena merasa ada sesuatu yang tidak beres.
"Kamu lapar bukan? Bunyi perutmu terdengar sampai sini," timpal Pria yang satunya lagi. Dia terlihat lebih ramah, dan juga tubuhnya paling atletis.
Astaga, Neith! Kau masih sempat-sempatnya mengagumi tubuh seseorang di saat seperti ini? Protesku pada diri sendiri.
Pria itu tersenyum, lantas berdiri sembari membawa satu potong paha bakar yang menggiurkan. Dia mendekat, lantas mengulurkan kaki gemuk yang berbau harum itu padaku.
"Makanlah. Kau tidak perlu takut," kata pria itu.
"Untukku?" tanyaku gugup. Namun, aku tidak bisa lagi membendung air liur yang terus menganak sungai.
"Iya, ambillah. Makanlah di sini saja, jika kau tidak mau bergabung di meja kami," ujar pria itu ramah.
"Te-terima kasih," kataku sambil menerima paha bakar, entah dari kambing atau domba itu. "Bolehkah. Aku membawanya pergi? Saudaraku pasti juga lapar sekarang. A-aku akan makan dengannya," pintaku memelas.
"Baiklah, bawa saja," kata Pria itu kemudian.
"Terima kasih, Pak. Anda sungguh baik," ujarku, lalu berjalan meninggalkan tempat itu.
Sembari berjalan, aku membaui daging itu. Sedap sekali aromanya. Aku pun menggigitnya sedikit, lalu mengunyahnya cepat-cepat. Benar, rasanya enak sekali. Kosey harus merasakan daging bakar ini. Tapi, bagaimana aku menemukannya?
Kugigit lagi, kemudian kukunyah dan kutelan. Sungguh, aku merasa berdosa pada Kosey, dia juga belum makan. Namun daging ini terlalu enak.
Aku pun berhenti di satu sudut yang cukup sepi, kemudian duduk bersila di atas tanah, dan makan dengan lahap. Rasanya sangat nikmat. Biarlah Kosey pasti bisa menjaga dirinya. Kalau aku punya uang, nabati akan kubelikan dia daging seperti ini.
Tapi, di masa sekarang ini, apa yang bisa kulakukan untuk mendapat uang? Jangankan di zaman kuno, pada abad 21 pun, tidak mudah mencari pekerjaan.
Daging yang menempel di tulang, telah habis. Aku pun sudah kenyang. Segera setelah melemparkan tulang itu ke tanah, aku pergi mencari Kosey lagi.
"Kain-kainnya, tuan!" teriak pedagang kain.
Aku berhenti melihat kain cantik yang dijualnya itu.
"Pergi! Pengemis dekil!" usir penjual kain itu, saat aku he dak menyentuh dagangannya.
Dengan kecewa aku pun pergi dari lapak itu. Beralih ke lapak selanjutnya pedagang tembikar. Ada banyak pembeli, dan aku bisa bebas melihat-lihat. Sungguh, aku tidak percaya bisa melihat berbagai barang yang kedepannya akan menjadi artefak ini.
Tanpa sengaja, aku menabrak seorang anak.
"Kosey!" panggilku.
Setelah dia menoleh, ternyata bukan.
Ah, aku harus konsentrasi, tapi mencari anak di pasar tidak semudah yang dibayangkan. Aku pun lanjut melangkah sembari melihat sekitar, bertabrakan dengan beberapa orang, karena terlalu fokus mencari Kosey.
"Maaf, maaf,," ujarku, sambil terus melangkah
Hingga terdengar teriakan seorang wanita yang begitu nyaring tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Kantung Emasku! Emasku hilang! Tolong! Pencuriiii!"
Spontan aku melihat ke arah perempuan itu. Dia dikerumuni oleh beberapa orang.
"Aku ditabrak! Dia mengambil kantong berisi emas dan perak ku!" tuduhnya sembari menunjuk ke arahku. "Tangkap gadis itu!"
Aku membelalakkan mata sebelum mengambil langkah seribu. Ya, ini kali kedua aku berlari dari kejaran orang-orang. Sungguh, daging yang kumakan tadi mungkin masih belum tercerna dengan sempurna. Rasa sakit menusuk-nusuk di perutku, tapi aku harus terus berlari. Jika tidak mereka akan menangkap dan menghakimiku.
Sudah sering aku mendengar cerita tentang maling yang tidak terbukti bersalah, tapi mendapatkan perlakukan tidak adil. Karena itulah, lebih baik melarikan diri, daripada tertangkap dan dihakimi massa. Namun, perutku semakin sakit sampai aku tidak mampu berlari.
Untunglah saat aku sudah menyeberang jalan, ada rombongan prajurit dan beberapa orang yang membawa beraneka barang melintas. Sehingga orang-orang yang mengejarku tadi terpaksa berhenti.
Masih terngah-engah, aku melangkah pelan sampai berbelok ke beberapa lorong pasar. Di sebuah sudut bangunan, terlihat ada sebuah gerobak besar berisi tumpukan kain-kain. Gerobak itu ditarik oleh seekor kuda yang terikat di tiang. Tanpa pikir panjang, aku pun naik ke atas gerobak itu, sembari menahan sakit di perut.
Setelah merebahkan diri, aku menyelimuti diriku dengan kain-kain ini. Setidaknya aku bisa beristirahat untuk sejenak.
"Aku harua berangkat sekarang! Rombongan awal sudah lewat barusan," kata seorang pria pada pria lainnya, yang baru keluar dari bangunan itu.
"Baiklah, sampai bertemu lagi. Semoga Yang Mulia banyak membeli kain-kain mu ini," timpal pria satunya.
"Aamiin."
Dari sela-sela kain, bisa kulihat pria itu naik ke atas kuda. Kemudian terasa gerobak yang kutumpangi mulai bergerak.
Yah, sebuah penyamaran yang bagus bukan? Pasti orang-orang di pasar tadi tidak akan menemukanku dalam keadaan seperti ini. Aha! Aku bisa bernapas lega.
Aku memandangi langit yang biru cerah. Mendengar keriuhan orang yang sedang melakukan tawar menawar di pasar. Kemudian, mataku menangkap sebuah bangunan tinggi, dengan pagar yang menjulang.
Gerobak yang kutumpangi kemudian berhenti. Pria yang tadinya naik di atas kuda, turun dan berjalan di sisi kuda.
"Maju!" perintah seseorang, dan kemudian gerobak yang kutumpangi pun maju beberapa meter, lalu berhenti lagi.
Aku tidak berani mengintip, dan menambahkan kain-kain untuk membuat tubuhku semakin tertutup.
"Maju!" beberapa kali perintah itu diberikan hingga akhirnya ada yang bertanya,"Siapa namamu dan apa barang dagangan mu?"
"Selamat pagi, Tuan penjaga. Saya El Doran, seorang pengrajin dan pedagang kain. Saya membawakan kain-kain pesanan Yang Mulia Depesire, untuk acara ulang tahun beliau," kata pria pemilik kain-kain ini.
Kudengar langkah seorang penjaga mendekat. Aku khawatir, dia menyibak kain-kain ini dan menemukanku. Karena itulah, aku bergeser mendekat ke dinding gerobak, berbaring miring menempel. Bisanya orang akan cenderung memilih barang yang ada di tengah bukan di pinggir.