Flasback satu tahun lalu
Ivi
Aku berlari melewati lorong panjang rumah sakit begitu tau letak kamar tempat adikku dirawat. Adikku bernama Rivan, dan dia barusaja kecelakaan bareng temen sekelasnya. Untung kegiatan kuliahku sedang longgar, jadi begitu papa menelfonku untuk pulang, aku langsung bisa pulang meski perjalanan pesawat belasan jam.
" Tuyul!" Aku menutup mulut begitu melihat Adikku -si Rivan, sedang berbaring tak berdaya sambil sesekali meringis kesakitan.
" Mbak Ivi kok pulang? Kapan sampe?"
" Mbak tiba di bandara setengah jam yang lalu. Papa nelfon kalau kamu kecelakaan, jadi mbak langsung pesen tiket pulang. Gimana kaki kamu?" Aku menarik kursi kemudian duduk tepat disamping ranjang tempat Rivan berbaring.
" Retak mbak, tapi nggak begitu parah katanya."
" Beneran?"
" Ngilu banget tapi mbak..."
" Kamu sih, pasti kebut-kebutan kalau naik motor. Dasar ceroboh!"
" Aw! Sakit mbak!" Rivan mengaduh begitu kepalanya kujitak.
" Rasain. Makanya jangan sok jagoan kalau lagi naik motor." Rivan diam. Mungkin benar, dia kecelakaan gara-gara naik motor kebut-kebutan.
" Mbak, ngomong-ngomong mbak bawa oleh-oleh nggak?" Rivan nyengir sementara aku melongo keheranan.
" Heh tuyul! Berani-beraninya nanyain oleh-oleh. Sembuh dulu!" kali ini kuping Rivan yang jadi sasaran empuk tanganku.
" Awww! Mbak, sakit anjir!"
" Heh ngomongnya!"
Rivan menatapku sewot sambil mengusap telinganya yang merah. Rasain lah, anak satu ini gayanya udah macem pembalap kalau lagi di jalan. Sekalinya dapet pelajaran, kakinya retak. Tapi kasian juga sih, liatnya.
" Mbak, kok dokternya lama ya?"
" Emang dokternya mau kesini?"
" Iya, tadi suster bilang perbannya mau diganti sama sekalian mau ngecek kakiku gimana."
" Oh gitu. Ya udah nanti---"
" Dokter!" Senyum Rivan mengembang begitu melihat dokter yang dia tunggu datang. Aku ikut menoleh dan tersenyum sekilas untuk sekedar menyapa.
" Kakak kamu?" Tanya dokter itu kepada Rivan tanpa menoleh kearahku sekalipun.
" Iya dok."
" Boleh suruh kakak kamu keluar sebentar..."
Aku diam. Ini dokter apa-apaan sih? Harus banget ngomongnya cuma sama Rivan? Kenapa nggak bilang ke aku langsung.
" Tuyul, mbak keluar dulu ya."
" Iya mbak."
Jujur, aku sedikit tidak terima diabaikan begitu. Ya bukan karena aku ingin diperhatikan lebih sama tuh dokter, cuma kan harusnya dia bisa lebih sopan sama keluarga pasien. Ya kali, dia balas senyumku aja enggak. Meski dia pake masker, tapi aku tahu dia tidak membalas senyumku. Bisa dilihat dari sorot matanya yang datar.
Begitu keluar ruangan, aku duduk di kursi tunggu. Karena tuh dokter nggak keluar-keluar, aku berdiri kemudian mulai mondar-mandir sambil sesekali menggigiti kuku. Lama juga tuh dokter di dalam.
" Aw!" Mataku melebar begitu mendengar pekikan kesakitan dari dalam. Tanpa berpikir dua kali, aku nyerobot masuk dan aku menutup mulut syok, melihat ternyata luka di kaki Rivan tidak sesederhana itu.
" Tuyuuul! Kamu baik-baik aja kan?" Aku berlari mendekat dan Rivan hanya memejamkan mata menahan sakit sementara luka di kakinya sedang diobati.
" Awh, dok sakit sekali bagian itu." Aku mringis membayangkan betapa perihnya luka di kaki Rivan.
" Tuyul, yang sabar ya. Dok, pelan-pelan kek. Adik saya kesakitan itu."
" Saya tidak menyuruh anda masuk."
" Tapi kan saya khawatir denger teriakan adik saya. Tuyulll... kamu sih, pake kecelakaan segala. Sakit banget ya?"
" Awh!" Rivan mengaduh sekali lagi.
" Dok! Bisa ngobatin nggak sih? pelan dikit dong. Nggak bisa lihat apa, adik saya kesakitan begitu?"
" Anda bisa diam tidak? Kalau tidak, silahkan tunggu diluar."
" Mbak, Sssst! Suara cempreng embak bikin kakiku makin sakit."
" Heh tuyul durhaka. Bisa-bisanya bilang begitu?"
" Sssst! Mbak, please keluar..."
Aku diam. Dengan hati setengah dongkol aku keluar ruangan. Awas aja ya, itu adek satu!
***
" Dok, kabar adek saya gimana ya?" tanyaku begitu masuk ruangan milik dokter yang tadi mengganti perban Rivan.
" Adik kamu masih hidup."
" Dok, serius ini. Kabar adek saya gimana? Maksud saya, kaki adek saya."
" Bukannya tadi sudah saya perlihatkan hasil ct scan-nya?"
" Ya tapi maksud saya---"
" Sudah saya perlihatkan hasilnya sebanyak tiga kali dan anda masih bertanya?" Kali ini dokter itu melepas maskernya dan aku cukup speeachless melihat wajahnya yang, errr bening banget, asli. Eh tapi apa bagusnya wajah bening kalau buat senyum aja nggak bisa?
" Baru kali ini saya menemui dokter sejudes ini."
" Baru kali ini juga saya menemui keluarga pasien secerewet ini."
" Woah!" Aku melongo tak percaya. Aku lansgung berdiri dan keluar ruangannya tanpa pamit. Sudah cukup. Aku nggak mau liat wajah dokter ini lagi. Biar papa sama mama langsung yang tanya bagaimana kondisi kaki Rivan.
Hm, sebaiknya malam ini aku ke apartemen Juna sama Abil, minta makan. Kalau marah begini biasanya aku jadi laper. Apalagi emang aku belum makan dari pagi.
Flashback end.
***
Ravi
" KAMU DOKTER YANG SUPER JUDES ITU?"
Aku memejamkan mata sejenak mendengar suara cempreng milik Ivi. Sudah kuduga dia akan bereaksi seperti ini. Ternyata anak satu ini tidak banyak berubah.
Nah loh, udah kenal?
Hai! Sebelumnya perkenalkan namaku Arravi Zaidan Adyatama. Umur dua puluh sembilan tahun, dan aku adalah seorang dokter. Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Kedua kakakku perempuan dan mereka berdua sudah menikah dan memiliki anak. Hanya tinggal aku saja yang sampai saat ini masih bertahan dengan status single.
Kembali ke perempuan yang saat ini duduk di sebelahku. Aku jelas sangat tahu siapa dia. Dia Silvira, atau yang akrab dipanggil Ivi. Adek kelas waktu SMA yang herannya nggak ingat sama sekali siapa aku. Dasar pelupa!
" Iya kan, bener? Kamu dokter yang judes itu?" Ulangnya sekali lagi. Padahal bukan kalimat itu yang aku harapkan keluar dari mulutnya ketika melihatku lagi.
" Hm~" Jawabku singkat tanpa berniat berbicara lebih banyak. Aku rasa aku tidak perlu banyak bicara dengan orang yang bahkan tidak mengingatku sedikitpun. Meski aku hanya sebagian kecil dari masa lalunya.
" Woah! Sepertinya berbicara irit sudah menjadi passion." Balasnya sarkas. Aku diam tak menanggapi dan kembali melihat ke arah luar jendela.
" Mas Ravi kok jadi diam aja sih? Tadi aja enggak?" Komentar Risa sambil menoleh ke belakang.
" Iya Rav, kenapa lo?" Arga menatapku dari kaca spion.
" Nggak papa kok. Ga, turunin gue di warung sate depan. Gue mau beliin ponakan gue sate. Kalian duluan aja. Ntar gue naik taksi."
" Pasti mau beliin si Deas?" tebakan Arga tepat sasaran. Deas itu anak bungsu dari kakak sulungku.
" Siapa lagi?"
" Tahun ini udah masuk TK ya?"
" Iya Ga. Udah nggak sabar tuh anak masuk sekolah."
"..."
Arga menghentikan mobilnya tepat di depan warung sate langganan keluargaku. Bukan keluargaku aja sih kayaknya, keluarga yang lain juga banyak. Rasa bumbunya agak berbeda dari yang lain dan itu jadi poin plus untuk cita rasa sate ini. Kok malah jadi bahas sate sih?
" Thank you Ga, Ris. Sorry jadi ngerepotin kalian."
" Santai Rav. Hati-hati."
" Pasti sengaja turun disini gara-gara ada aku." Itu suara Ivi. Meski pelan, aku masih bisa dengar. Aku langsung membuka pintu mobil tanpa berniat menanggapi kalimatnya.
" Sekali lagi, thanks ya!"
" Sama-sama."
Begitu mobil Arga menghilang di belokan, aku menyentuh d**a kiriku.
" Detak sialan itu datang lagi." Gumamku pelan sebelum berjalan masuk warung sate.
"..."
***