Ivi
" Mbak, serius mau tinggal disini?" Untuk kesekian kalinya Rivan mempertanyakan keputusanku.
" Iya van. Seneng kan kamu, nggak mbak rusuhin lagi?"
" Bukan gitu. Maksudnya kenapa pake tinggal di apertemen segala kalu kita punya rumah?"
" Mbak masih akan sering pulang kok. Cuma akan lebih sering lagi disini. Jarak rumah sama tempat mbak ngajar terlalu jauh Van."
" Enggak ah perasaan."
" Ya maksudnya lebih deket dari sini. Kalau berangkat dari rumah tiap hari, mbak nggak siap kalau harus bermacet ria setiap hari di pertigaan dekat rumah kita itu. Biar mbak juga berlatih lebih mandiri lagi. Papa sama mama juga udah setuju kan, kenapa malah jadi kamu yang kaya gini?"
" Ya enggak, kok kayaknya Mbak Ivi ini nggak betah banget tinggal dirumah."
" Bukannya gitu. Lagian setiap minggu pasti pulang kok. Atau mungkin lebih sering dari itu."
" Yah, ntar pasti aku yang bakal jadi tumbal mama buat di suruh-suruh."
"Oooooh! Ternyata gara-gara itu kamu berat banget mbak tinggal?" Aku menjewer telinga Rivan kuat.
" Mbak! Sakiiit!" Rivan berhasil menepis tanganku dan menatapku kesal.
" Ya nggak usah pake jewer juga kali mbak..."
" Ya mbak kira kamu terlalu sayang sama mbak sampai nggak mau ditinggal, eh ternyata gara-gara nggak mau disuruh-suruh mama."
Rivan diam. Dasar emang ini tuyul satu.
" Ya udah, aku pulang dulu ya mbak."
" Makasih udah nganterin barang-barang mbak ya! Lain kali lagi." Rivan hanya mencibir malas sebelum akhirnya dia keluar apartemen.
" Wuah! Akhirnya!"
Aku berteriak tertahan sambil tersenyum menatap langit-langit kamar baruku. Akhirnya, besok aku mulai kerja dan bukan berstatus pengangguran lagi. Jadi ada kabar bagus nih, aku ketrima ngajar jadi dosen dan besok ini aku udah mulai masuk kerja. Bahagia sekali rasanya. Oh mungkin ini yang dirasakan Abil dulu ketika dia bilang dia sangat senang menjelang hari pertama melepas status pengangguran. Kalian pasti tahu Abil dong, dia sahabat dekat yang menikah dengan spupuku. Hehe.
Ting tong!
Aku langsung bangun dan berlari menuju pintu begitu bel apartemenku berbunyi. Aku mengintip dari monitor kecil dan keningku berkerut heran begitu melihat ada kurir pengantar paket berdiri di depan pintu apartemenku.
" Buat saya pak?" tanyaku begitu membuka pintu.
" Iya neng. Nomor unitnya bener kok. Mohon ini ditandatangani." Tanpa berpikir dua kali aku menandatangani kertas tanda terima dan kurir itu langsung pamit pergi. Dengan perasaan terheran-heran, aku membawa paketan itu masuk apartemen.
" Dari siapa ini? Perasaan aku nggak belanja online atau minta paketan dari siapapun."
Dengan hati-hati aku mulai membuka paketan itu. Jangan-jangan isinya bom? Atau terror? Aku bergidik ngeri membayangkan kalau semisal paketan ini benar-benar berisi bom atau terror dari seseorang.
" Hah? Kemeja Gucci? Celana jeans Gucci juga? Kok kaya gini isinya?" aku mengerjapkan mata bingung.
Aku memasang celana jeans itu di kakiku dan cukup terkejut karena celana itu terlalu panjang untukku.
" Ini mah ukuran panjang kakinya Juna. Kemejanya juga gede begini. Itu kurir ngawur kali ya?" Setelah celana, aku ikut memasang kemeja itu di badanku dan panjang kemejanya sampai paha bawah. Fix, ini mah baju cowok. Selain modelnya, ukurannya juga terlalu besar untukku. Tapi kok kurirnya bilang kalau nomer unitnya bener ya?
Aku keluar apartemen dan mengecek nomor apartemenku.
" Loh bener kok, nomor 717. Kok bisa dapet paketan kaya gini sih?!"
Aku masuk apartemen dan menata kembali paketan itu kemudian meletakkannya di atas meja rias. Siapa juga yang mau makai celana sama kemeja pria kaya gitu? Lagian siapa sih, yang kurang kerjaan ngirim paket baju pria padaku? Ditambah aku baru pindah hari ini. Belum banyak yang tahu aku tinggal disini. Heran!
" Huahmmmm!" aku menguap lebar. Memang ya, yang namanya pindahan pasti bikin capek. Angkut-angkut barang sih, saoalnya.
Aku menjatuhkan badanku diatas tempat tidur dan tanpa menunggu lama, aku mulai hilang kesadaran dan jatuh ke alam mimpi.
***
Ravi
" Makasih Mas. Okey. Ntar aku cek paketannya beneran udah nyampai apa belum. Sekali lagi makasih banyak mas." Begitu sambungan dari Mas Ares –kakak iparku—teputus, aku segera turun dari mobil dan naik ke apartemenku.
" Pak, tadi ada kurir pengantar paket nggak ya?" tanyaku pada petugas apartemen yang ada dilantai satu.
" Ada mas, udah dibawa naik."
" Dibawa naik? Nggak dititipin disini?"
" Enggak tuh mas."
" Oke pak, terimakasih."
Memang benar, apartemen yang aku tempati ini sangat terjaga keamanannya karena kamera cctv ada dimana-mana. Tapi kalau paketanku udah dibawa ke atas, siapa dong yang nerima? Bukannya mereka butuh tanda tanganku? Atau tadi ada petugas lain yang tanda tangan terus dibawa naik? Oke, sebaiknya kau cek sekarang.
Ting!
Begitu pintu lift terbuka, aku langsung berlari menuju apartemenku. Tidak ada apapun didepan pintu apartemenku. kondisinya kosong dan suasananya juga sepi. Akhirnya aku menelfon Mas Ares untuk memastikan.
" Hallo mas, kok ngga ada ya? Iya bener kalau tadi ada kurir datang ke apartemenku. Tapi barangnya nggak ada. Mas Ares bener kan nulis alamatnya? Apa? Bukan 717 mas, tapi 718. Kan aku udah bilang kalau aku pindah di apartemen sebelah soalnya sedikit lebih luas. Hm ya udah, biar aku cek di cctv, atau kalau nggak aku samperin langsung ke kamar 717. Tapi setauku kamar 717 itu kosong. Setelah aku pindah belum ada yang nyewa lagi. Hm, ya udah mas. Iya."
Aku mengehembuskan napas panjang. Aku mundur satu langkah dan melihat pintu apartemen 717.
" Apa udah ada penghuni baru ya?" Aku menggumam.
" Apa aku coba pencet belnya?" akhirnya aku berdiri didepan pintu 717 kemudian menekan bel.
Satu kali tekan, belum ada sahutan. Dua kali juga belum. Tiga kali, masih belum juga. Apa aku harus ke bagian cctv ya? Apa udah ada yang nyewa tapi oranya lagi keluar? Apa sebaiknya aku bersih-bersih dulu, baru nanti kesini lagi? Aku baru balik badan ketika tiba-tiba pintu 717 dibuka dari dalam.
" Siapa ya?"
" Apa tadi ada paketan---" Kalimatku terputus begitu melihat siapa perempuan yang saat ini berdiri tidak jauh dariku dengan mata mengerjap lucu seperti baru bangun tidur.
" LOH KAMU LAGI?!"
***