Chapter 7

2142 Words
Ivi " Duduk dulu disitu. Saya ambilin selimut bersih." Aku diam mematung sambil tengok kanan kiri. Aku merasa blank ketika tiba-tiba tanganku ditarik kemudian diajak masuk apartemen. " Dok! Saya langsung pulang aja." Seruku kemudian. Ini seriusan aku masuk apartemen laki-laki jam segini? Okelah, memang baru jam setengah delapan malam. Tapi tetap saja, aku masuk apartemen laki-laki yang masih single. Dan Cuma ada kami berdua? Duh... kok ngeri ya? Lagipula tadi kenapa sih, main tarik gitu aja? "Dok?" Panggilku sekali lagi." " Duduk dulu disitu." " Tapi---" " Vi... saya bilang kamu duduk dulu." Aku diam kemudian duduk. Ini manusia satu kenapa sih? ... " Ini di pakai." Aku sedikit berjengit begitu satu selimut tebal mendarat di pangkuanku. " Jaket kamu itu dilepas. Udah tau basah masih dipakai." Aku mengerjap beberapa kali. " Oh iya." Aku langsung melepas jaketku kemudian menyelimuti badanku dengan selimut yang barusaja dibawakan Dokter Ravi dari kamarnya. Hangat. Aku merapatkan selimut kemudian menghirup wangi yang menguar dari selimut itu. Gilasih, wanginya laki-laki banget. " Ini diminum." " Eh?" Dokter Ravi tiba-tiba datang dengan membawa satu gelas minuman berwarna cokelat yang entah apa namanya. Minuman itu mengepul dan memiliki sedikit aroma mint. " Ini apa?" " Diminum aja." " Nggak mau. Ntar racun lagi." Aku menggeleng. " Memangnya saya keliatan mau ngeracunin kamu?" " Ya siapa tahu?" " Nggak ada bagusnya juga, kalau saya harus ngracunin kamu." " Loh! Jaman sekarang siapa yang tau dok? Kejahatan dimana-mana. Ntar kalau misal saya ketipu sama dokter, ternyata minuman ini racun bukan obat, gimana? Apa bisa jadi ini obat tidur. Terus nanti waktu saya bangun tiba-tiba saya sudah berada di kamar dokter terus---" Aku langsung berhenti begitu sadar kalimatku sudah ngelantur. Aku menepuk mulutku sekali kemudian menunduk. Bodoh, mikirin apa sih aku ini? " Kok nggak dilanjut? Terus apa?" Aku mendongak dan wajahku langsung berubah kesal begitu melihat Dokter Ravi sedang menahan tawa. " Nggak ada yang lucu." " Saya nggak ketawa." " Tapi mau ketawa." " Lagian otak kamu itu mikirnya terlalu jauh." " Tau lh..." Aku mendengus kemudian tanpa pikir panjang langsung meminum air hangat yang tadi Dokter Ravi bawa. " Huek!" Lidahku menjulur keluar begitu minum air itu. Gilasih ini, paitttt banget. " Ini apa dok?" " Obat flu. Sama ada kandungan vitaminnya." " Hah? Kok nggak enak?" " Memang ada, obat enak?" " Ada lah. Tuh obat buat anak kecil rata-rata manis." " Kamu umur berapa sekarang? Masih mengharapkan ada obat manis buat kamu?" Nyebelin banget kan manusia satu ini. Malah bahas umur! Aku tidak menjawab lagi. Aku melanjutkan meminum obat itu meski rasanya cukup pahit. Sepertinya Dokter Ravi nggak mungkin lah ya, ngeracunin aku? Udah terlanjur kuminum ini. Gimana? Krik krik. Tidak ada yang berbicara diantara kami. Aku paling nggak suka nih, kalau lagi duduk cuma dua orag tapi diem-dieman. " Dok-" " Vi-" Nah, makin nggak suka aku, kalau pakai cara barengan mau ngomong segala. " Kamu dulu." Ucap Dokter Ravi sambil membenarkan posisi duduknya. " Dokter dalam rangka apa baik sama saya gini? Bukanya gimana-giman sih, biasanya kan dokter super duper jutek sama saya." Kataku jujur sambil meminum obat itu. Lagi. " Saya mau berterimakasih. Untuk kebaikan kamu waktu itu." " Dan Dokter sampai nunggu saya di deket lift kaya tadi? Kok tau banget saya hari ini mau flu? Selain berprofesi sebagai dokter, cenayang juga ya anda ini?" Dokter Ravi tersenyum. Sialan banget, senyum itu lagi. Meleleh gue bwang! Meski sering pasang wajah datar di depanku, aku tetap mengakui kok, kalau Dokter Ravi ini cuakep banget. Mana tingginya macam tiang listrik. Maksudnya, tinggiku ini baru sedagunya. Padahal aku ini udah termasuk tinggi loh. Sama Abil aja tinggian aku. Hm... " Nggak. Kalau itu kebetulan saja, saya tadi mau turun. Tapi waktu kamu nabrak saya terus bersin nggak selesai-selesai, ya udah, saya batal turun." " Emang mau turun ngapain? Diluar ujan deras." " Ya pengen ngadem aja." " Hah? Emang kaya gitu masuk akal?" " Harus banget semua aktifitas saya ini masuk akal buat kamu?" " Serah dokter lah." Kali ini aku menghabiskan minuman itu. Aku mengibaskan tangan di depan mulut. Serius sih ini, paitnya nggak nanggung-nanggung. " Makan ini." Dokter Ravi mengeluarkan satu permen dari kantong jaket tebalnya. " Makasih." Hening lagi. " Oh iya. Tadi dokter mau bilang apa?" " Kapan?" " Barusan loh." " Nggak. Nggak jadi." " Gaje banget sih jadi orang." " Gaje juga kamu pernah sesuka itu." " Hah? Apa? Dokter bilang apa?" Eh barusan dia bilang apa ? Aku salah denger nggak sih? " Barusan bilang apa dok?" Tanyaku lagi. " Kalau udah merasa baikan, kamu boleh pulang terus langsung tidur biar besok enakan. Selimut saya boleh kamu bawa. Asal jangan lupa nanti dicuci." Dokter Ravi tiba-tiba berdiri kemudian berjalan menuju kamarnya. " Dok? Kok main tinggal gitu aja?" " Nggak usah saya anter sampai pintu kan Vi?" Tanyanya sambil terus berjalan tanpa menoleh kearahku. Sumpah? Aku diusir? Dasar manusia aneh. Susah banget ditebak. Bisa tiba-tiba baik, terus jutek lagi. Gitu aja terus sampai ladang gandum disiram coklat jadi coco crunch. Dengan setengah dongkol, aku keluar apartemennya. Karena buru-buru keluar, aku melupakan jaket setengah basahku yang tadi masih tersampir di sandaran ruang tamu. *** Ravi Aku mengetuk-ngetuk kemudi sambil menunggu lampu menyala hijau. Sudah empat malam ini, Jakarta terus di guyur hujan. Siang hari matahari muncul dengan teriknya, tapi begitu sore, awan mulai menggulung di atas dan malamnya turun hujan. Terus seperti itu selama empat hari berturut—turut. Mau tidak mau, aku harus siap sedia yang namanya payung dan obat flu. Karena bagaimanapun juga, cuaca yang seperti ini rentan mengakibatkan banyak orang terkena flu. Seperti Ivi contohnya. Nah kan, aku ingat Ivi lagi. Sejak malam itu kami ngobrol singkat di apartemenku, aku belum melihatnya lagi. Apartemennya juga terus terkunci tiap kali aku lihat. Dia bahkan tidak menanyakan perihal jaketnya yang ketinggalan di ruang tamuku. Jadi kemana dia? Apakah dia pulang ke rumah lagi? Atau ada acara kampus? Tiiin!!! Suara klakson mulai bersahut-sahutan. Benar saja, lampu lalu tintas sudah menyala hijau. Aku langsung tancap gas dan berbegas pulang. Aku tidak berencana untuk membeli makan meski sejak satu jam yang lalu perutku sudah keroncongan. Aku rasa lebih baik habis ini aku masak di apartemen. Jangan salah, meski jadi orang sibuk begini, aku bisa masak. Memang tidak bisa dibilang handal. Tapi lumayanlah, setidaknya masakanku tidak akan membuat orang lain keracunan. " Selamat malam Mas Ravi." Sapa Pak Anton ramah begitu aku tiba di lobi apartemen lantai satu. " Malam pak..." Balasku tak kalah ramah. " Baru pulang mas?" " Iya pak, tadi ada kecelakaan mobil. Kebetulan saya yang bertanggung jawab menangani mereka." " Wah. Pasti capek bukan main ya mas?" Aku cuma tersenyum. Dibilang capek pasti capek. Tapi sejauh ini, secapek-capeknya aku mengurus pasien, aku hampir tidak pernah mengeluh. Aku benar-benar menikmati profesiku sebagai dokter. " Mari pak, saya duluan." " Silahkan mas." Aku berjalan menuju lift untuk naik ke unit apartemenku. Keningku berkerut heran begitu ada tempelan bertuliskan " LIFT RUSAK DAN DALAM TAHAP PERBAIKAN. HARAP PAKAI LIFT SEBELAH" di lift yang biasa aku gunakan. Perasaan tadi pagi masih baik-baik aja? Memang ada dua lift yang bisa aku gunakan untuk naik ke unit apartemenku. Tapi aku lebih sering menggunakan lift yang kanan, daripada yang kiri. Melihat ada tempelan kertas itu, praktis aku berjalan menuju lift sebelah yang hanya berjarak dua meter. " Dokter! Tunggu! Hehe." Ivi datang dengan napas nggos ngosan. Lagi-lagi, jaket yang dia pakai setengah basah persis seperti waktu itu. Heran juga aku, kenapa dia bisa kehujanan padahal dia bawa mobil? "Oh, dia beli makan malam." Batinku begitu melihat dia menenteng plastik putih berisi box bergambar paha ayam. " Kok susah?" Keluhnya begitu dia memencet tombol lift, tapi pintu lift tak kunjung tertutup. " Coba kamu mundur." Ivi mundur kemudian gantian aku yang menekan tombolnya. " Ck, gini aja nggak bisa." Ucapku begitu pintu lift langsung tertututup saat aku yang menekannya. " Hehe." Ivi nyengir. Dia berjalan kearah sudut kemudian menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Aku rasa dia mulai kedinginan. " Hujan kenapa turun terus sihhhh!" Gumamnya sambil terus menggosok telapak tangannya. " Makanya lain kali---" GREK! Aku dan Ivi langsung diam begitu lift tiba-tiba berhenti. Aku menoleh kearahnya, dan Ivipun juga menoleh kearahku. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya matanya membulat sempurna. " Dok? Liftnya berhenti?" Kotak box yang dia bawa dijatuhkan begitu saja. Dia berjalan kearah pintu kemudian mulai menggedor. " Pak!!! Ada orang diluar? Pak! Liftnya mati! Pak! Hallo! Pak!" Ivi mulai panik. " Dok, kok diem aja sih?" " Hape kamu mana? Daripada kamu kaya gitu, lebih baik bilang petugas." Ucapku santai. Sebenarnya aku sedikit panik, tapi aku rasa menggedor seperti Ivi juga bukan ide yang bagus. " Hape? Oh iya hape." Ivi mulai meraba-raba jaket juga celananya. " Oh iya! Hape saya masih di mobil dok. Lupa tadi." " Kamu nggak lagi bercanda kan Vi?" Ivi menggeleng. Double s**t! " Hape dokter ada kan? Mana, mana?!" " Kalau saya ada hape, kenapa pakai nanya punya kamu?" " Lah maksudnya?" " Hari ini saya nggak bawa hape. Ketinggalan dikamar." Ivi langsung terduduk lemas dilantai lift. Dia memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya berdiri dan mulai menggedor lagi. " Pak! Ada orang di luar? Pak! Pak!" Ivi terus menggedor sementara aku hanya diam. Bukan aku tidak peduli. Tapi aku yakin betul usaha menggedor tidak akan berhasil. " Jam berapa sekarang, Vi? Percuma kamu menggedor seperti itu. Semua petugas pasti sudah pulang." Aku melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 11.45 dini hari. " Tapi tadi masih ada Pak Anton. Pasti masih ada yang lain." " Pak Anton memang tinggal di apartemen ini. Di lantai satu, dekat ruang scurity. Yang lain pada pulang ke rumah masing-masih sejak jam sepuluh tadi. " " Beneran dok?" Tanyanya tak percaya. " Buat apa saya bohong?" " Dokter kok santai aja sih? Kita ini terperangkap loh. Cari jalan keluar kek." " Hape hanya jalan satu-satunya. Dan kita berdua tidak punya. Yasudah, tunggu besok pagi." " Heeee?! Besok pagi?" Aku tidak menjawab lagi. Aku berdiri di pojok lift sambil sesekali berpikir mencari jalan keluar meski aku tahu betul, sudah tidak ada jalan keluar. Ya tadi seperti kataku, handphone hanya satu-satunya yang kami butuhkan saat ini. Dan kami berdua tidak punya. Jadi ya sudah, kalian bisa simpulakn sendiri. Oh iya, ngomong-ngomong tombol darurat juga mati. Jadi memang sudah tidak ada harapan. " Kok bisa lift ini ikutan rusak sih? Yang ada tulisan rusak kan sebelah." Ivi mulai menggumam sambil memukul pelan dinding di sampingnya. "Dok, gimana nih? Masa kita disini-" Kruyuk! Aduh. Aku langsung memejamkan mata dan meringis. Ini kenapa perutku pakai bunyi sih? " Ehm!" Aku berdehem pura-pura tidak pernah mendengar apa-apa. Beda dengan Ivi, dia sudah menahan tawa siap meledekku. Sialan kan, ada aja apesku hari ini. " Laper ya dok?" " Nggak begitu." Kruyuk! Aku menyerah dengan perutku. Sialan. Kenapa bunyi lagi? " Saya belum makan sejak tadi siang." Ucapku akhirnya. Ivi masih menahan tawa. Dia juga bedehem sebelum akhirnya jongkok mengambil box yang tadi sempat dia jatuhkan. " Saya ada ayam. Tapi ayam aja. Nggak ada nasi. Mau?" tawarnya sambil mengulurkan box dari plastiknya. " Nggak usah." " Nggak usah malu-malu dok. Wajar kok, perut bunyi. Apalagi dari siang belum makan." " Nggak papa, saya bisa menahan sampai besok pagi." " Jual murah dikit napa sih dok? Hawanya kalau sama saya kok kaku bener. Kita ini tetanggan loh." " Iya, saya tau kita tetangga." " Ya udah ini dimakan. Lumayan buat ngganjel." " Masak ngasih makan nggak ngasih minum?" " Ngelunjak." Ivi mendengus tapi kemudian dia melepas tas ranselnya. Dia mengeluarkan botol air mineral yang masih utuh. " Ya kali saya menawarkan makan tanpa minum?" Ucapnya kemudian. " Ya sudah kalau maksa." Ucapku akhirnya. " Padahal saya nggak maksa juga sih." Gumamnya sambil mencibir. Dalam hati aku tersenyum. Sepertinya terjebak di lift berdua dengan Ivi bukan hal yang terlalu buruk. " Beneran, boleh saya makan?" tanyaku sebelum aku benar-benar melahap paha ayam yang Ivi bawa. " Iya. Dihabisin juga nggak papa." Aku mengangguk kemudian duduk lesehan. " Lha kamu ntar gimana, Vi?" " Saya tadi udah makan. Itu paha ayam dibeliin Pak Rama, temen saya. Mubadzir kalau nggak di bawa pulang." Uhuk! Seketika aku tersedak tepung ayam begitu mendengar kalimat ivi barusan. Uhuk uhuk! Aku masih terbatuk dan Ivi ikut jongkok. Dia menyodorkan minumannya kemudian menepuk-nepuk punggungku. " Makannya hati-hati kali dok. Nggak saya minta kok. Semua buat dokter." Ucapnya sambil terus menepuk pungungku. Aku meneguk air yang Ivi kasih sampai tersisa setengahnya. Aku menarik napas berat dan menghembuskannya kasar. Kalau tahu dari siapa ayam ini, mending aku kelaparan sampai besok pagi...! " Dihabiskan nggak papa kok dok, serius." "....!" *** Malam semakin larut. Ivi duduk di sudut dekat pintu sementara aku duduk di sudut dekat dinding belakang. Ayam yang tadi Ivi bawa sudah habis hanya tersisa tulang dan bungkusnya. Okelah nggak papa, kali ini saja aku melawan egoku demi tidak mati kelaparan. " Ya ampun, dingin bangeeet." Ivi semakin erat memeluk lututnya sendiri. Jaket setengah basah miliknya dia gunakan untuk selimutan. Tidak peduli seberapa panas Jakarta siang tadi, tapi malam ini udara-bener-bener dingin menusuk tulang. Udara dalam lift juga mulai terasa berkurang. Di dalam lift, kami hanya mengandalkan lampu kecil yang masih menyala sementara yang lain sudah padam sejak tadi. " Vi, pakai jaket saya mau?" Tanyaku begitu tak tega melihat Ivi mulai tak bisa menahan dingin. " Lah dokter sih?" " Saya nggak papa. Setelah makan jadi agak panas." Jawabku sedikit bohong. " Ya udah, iya." Ivi menunduk. Aku bisa melihat dia mulai berkaca-kaca. Aku rasa, dari tadi sebenarnya Ivi ingin menangis, tapi dia tahan karena mungkin dia malu ada aku. Wajar sih, Ivi pasti ketakutan. Dia hanya tidak ingin terlihat lemah seperti anak kecil di depanku. Sepertinya. Aku barusaja berdiri hendak menyerahkan jaketku ketika lampu terkakhir harapan kami satu-satunya tiba-tiba ikut padam. " Dokter!" Spontan Ivi menjerit dan menubrukku. Aku merasakan ada tangan melingkar erat di pinggangku. Pelan-pelan aku mulai mendengar suara isakan. . . " Tenang Vi, ada aku." "..." Seketika ingatan kurang lebih sebelas tahun yang lalu tumpang tindih di kepalaku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD