10 ~ Asisten Absurd

1321 Words
"PAK REVAN!" "Ya Tuhan, Alma ... kenapa kamu teriak di depan telinga saya?" protes Revan yang terperanjat saat sang gadis membuat gendang telinganya berdengung. "Maaf, Pak. Tadi saya sudah panggil Bapak dengan lemah lembut dan penuh perasaan. Tapi Bapak gak juga memberi tanggapan," kilah gadis dua puluh empat tahun itu. "Coba sekali lagi. Saya mau dengar," titah Revan. "Apanya yang sekali lagi, Pak?" "Tadi kamu bilang, sempat panggil saya dengan lemah lembut dan penuh perasaan. Nah, saya mau dengar lagi," jawab Reva memperjelas ucapannya. "Maaf, Pak. Saya tidak suka mengulang," tolak gadis itu, "permisi," ujarnya kemudian berlalu meninggalkan sang pria seorang diri. Revan terdiam untuk beberapa saat, tetapi kemudian terkekeh sembari berbalik menatap punggung sang gadis yang menghilang di balik pintu masuk khusus karyawan. Tak lama ia pun akhirnya menyusul sang gadis masuk ke dalam. Tetapi langkah pria itu terhenti di pintu masuk saat mendengar seseorang bicara. "Alma kamu lagi santai?" tanya seorang pria yang memakai pakaian juru masak. ''Iya nih, Pak Tomi. Lagi nunggu Pak Revan," angguk gadis itu. "Kalau gitu bisa bantu saja?" tanya pria bernama Tomi itu lagi. "Bantu apa, Pak?" "Tolong kamu siapkan bumbu untuk gulai. lengkap ya. Nanti biar Hasna yang bikin bumbunya dia lagi sholat dulu. Cukup kamu siapin aja sesuai dengan takaran di resep biasa," ujar Tomi. "Cuma itu aja, Pak?" tanya Alma, memastikan. "Iya." "Siap, Pak." Revan dengan sengaja berdiri sembari bersandar pada tembok dengan kedua tangan terlipat di depan dadaa, tak jauh dari gadis yang saat ini dengan cekatan sedang memisahkan bumbu sesuai dengan arahan Tomi. Gadis itu bahkan melakukan pekerjaan dengan lihai, seakan sudah menguasai segala hal tentang memasak. Pria itu pun terkekeh dengan kepala menggeleng saat menyadari dirinya hanya dibodohi oleh sang gadis dengan mengatakan tidak tahu apa-apa tentang bumbu dan segala yang berhubungan dengan hal tersebut. "Baiklah, Alma. Ayo, kita bermain. Aku mau tau sampai mana kamu mampu bermain," gumamnya sembari menarik sebelah sudut bibir. Dengan sengaja Revan tidak menghampiri sang gadis. Membiarkan Alma menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Setelah memastikan Alma sudah selesai, ia pun menghampiri. "Lagi ngapain kamu?" tanyanya. "Tidak, Chef," jawab gadis itu sembari menggelengkan kepala. Ia lalu melempar pelan sepotong lengkuas yang masih ada di ditangannya, ke atas meja. Revan yang menyadari hal itu, hanya tersenyum samar. "Sudah kamu hafalkan nama mereka?" tanya Revan sembari menunjuk pada tumpukan bumbu dengan pandangannya. Kepala gadis itu menggeleng. "Chef belum kasih tau saja nama mereka," sahut Alma. "Oke. Sebelum kita mulai, tolong jangan panggil saya chef lagi. Saya tidak suka," ujar pria itu. "Baik, Pak," sahut Alma. "Oke. Ayo, kita mulai belajar. Semoga IPK yang kamu dapatkan itu hasil kerja otak kamu, bukan karena nyontek." Pria itu sengaja menyindir sang gadis. Sedangkan Alma, hanya mendelik sebal tanpa menjawab apa pun. 'Enak saja dia bilang aku tukang nyontek,' gerutunya dalam hati. Dengan sabar dan telaten Revan memberitahu nama bumbu dapur berserta manfaatnya, meski ia yakin bahwa Alma sudah paham. 'Ini orang kok bisa sih nyangkut di dapur? Apa gak ada hobi yang lain ya?! Dia 'kan anak sultan. Masa anak orang kaya hobinya masak?!,' batin Alma saat Revan sedang berceloteh tentang banyak hal. Sang gadis pun tidak begitu fokus mendengarkan penjelasan pria itu. Ia malah terus berkomentar tentang Revan dalam hati. 'Coba lihat dari atas kepala sampai bawah kaki. Gak ada modelan kang masak. Lebih pantas jadi model atau aktor korea, atau anggota boyband,' batin Alma lagi sembari memindai pria itu dari atas kepala hingga ujung kaki. "Alma, kamu mendengarkan saya 'kan? Ini apa?" tanya Revan sembari mengangkat sepotong jahe di depan sang gadis. "Model, Pak." "Model?" "Maksud saya boyband." Karena sedang berpikir tentang hal itu, saat Revan bertanya tiba-tiba, itu juga yang keluar dari bibirnya. "Hah?" Revan pun melongo mendengar jawaban absurd gadis itu. Iya. Ia tahu Alma hanya pura-pura tidak paham. Tetapi tidak menyangka jawaban sang gadis akan sekonyol itu. Sedangkan Alma, merutuki dirinya sendiri dalam hati. Ia memang berniat pura-pura tidak tahu, tetapi yang dia lakukan sekarang, justru terkesan sangat kurang pintar. 'Ya Tuhan. Malunya setengah hidup,' batin sang gadis menjerit. "Sepertinya kamu butuh istirahat, Alma," ujar Revan sembari menatap lekat gadis yang saat ini sedang menunduk. 'Dasar Alma, oncom. Bisa-bisa lidah kamu kepleset jauh kayak gitu.' Alma masih saja memaki dirinya sendiri. 'Eh? Tapi tunggu, bukannya itu bagus ya? Jadi memungkinan dipecat itu lebih besar. Setidaknya kalau cuma kerja di kantor, aku pasti jarang ketemu sama dia.' Gadis itu masih membatin. "Alma, kamu dengar saya atau tidak?" "Eh? Iya. Saya dengar, Pak," jawab sang gadis, secepat yang ia bisa. Karena sibuk dengan isi kepala, gadis itu sampai tidak mendengar saat Revan memanggil namanya. Hingga sang pria pun berbicara sedikit lantang. "Lebih baik kamu pulang," ujar Revan sembari membuka apron dan melemparnya ke atas meja, kemudian berlalu meninggalkan Alma yang masih terbengong. Kesal? Tentu saja. Bahkan sangat kesal. Meski Alma sudah tahu tentang apa yang ia sampaikan, seharusnya gadis itu memperhatikan. Paling tidak ia akan merasa usahanya dihargai. "Apa dia marah?" Alma bergumam sembari menatap punggung pria itu. "Kalau Si Bos marah berarti aku bakal dipecat, dong." Senyum di wajah gadis itu pun mengembang. "Apa besok aku gak usah datang aja ya?! Siapa tahu aku udah dipecat." ia masih saja bicara sendiri. "Ingat, besok datang tepat waktu. Hari ini kamu boleh pulang lebih cepat kalau mau." Suara Revan yang kembali muncul di dapur dengan tiba-tiba, membuat senyum di wajah sang gadis seketika memudar. Pria itu berlalu setelah mengucapkan peringatan pada Alma. "Ngeselin emang. Susahnya apa sih mecat satu orang doang," gerutu gadis itu dengan sebal. Ia pun keluar dari area memasak. "Alma, kamu mau pulang sekarang atau masih mau kerja sampai jam delapan? Kalau Pak Revan balik, tugas kamu juga selesai 'kan?" tanya Shila yang baru saja masuk ke dapur. Ia membawa piring kotor dan meletakkannya di tempat cuci piring untuk dibersihkan oleh orang yang bertugas khusus untuk hal itu. "Emang Pak Revan udah pulang?" tanya Alma. "Iya, tadi aku lihat Si Bos masuk ke mobilnya," jawab Shila. "Kerja juga belum, udah pulang aja." "Namanya juga chef suka-suka, Alma. Suka-suka sendiri mau kerja kapan. Suka-suka sendiri mau pulang kapan. Toh dia kerja di sini atau pun tidak, gak akan mempengaruhi isi dompetnya," balas Shila. "Iya, sih." "Alma, ada yang nyari. Di kursi pojok kanan," seru seseorang dari arah bagian dalam cafe. "Oke. Makasih," sahut Alma. "Eh? Tumben, Al. Ada yang nyariin kamu. Siapa?" Shila bertanya dengan penasaran. "Mana aku tahu, Shila ... aku 'kan masih di sini," jawab Alma. "Ya udah, Ayo, samperin kalau gitu," ajak Shila. "tamunya nyari aku, tapi kamu yang paling semangat," komentar sang Gadis. "Kepo aku. Pengen tau siapa yang nyari kamu," sahut Shila sembari tergelak. "Dasar kepo akut," cibir Alma yang hanya ditanggapi dengan tawa renyah Shila. Keduanya pun masuk ke area tempat makan para tamu. "Mana orangnya, Al?" tanya Shila sembari memutar kepalanya mencari tamu yang dimaksud. "Mana aku tahu, Shila," jawab Alma. Sama seperti sang teman, ia pun mencari keberadaan tamu yang dimaksud. "Tadi siapa yang ngasih tahu? Tanya lagi coba. Pastiin orangnya yang mana,," ujar Shila. "Kayaknya tadi suara Beni, deh," jawab Alma, "aku lupa tanya tadi di cafe apa restoran ya?" Tempat itu memang memiliki dua sisi. Salah satu sisi merupakan sebuah cafe dan sisi lainnya sebuah restoran yang bisa dibilang elite. Tapi di antara kedua tempat itu, punya pintu yang menghubungkan satu sama lain. Sehingga pengunjung bisa berpindah jika ingin menikmati menu lain yang tidak ada di cafe. Begitu pun sebaliknya. Jika dilihat dari arah luar, bangunan itu seperti dua tempat yang berdampingan. Alma sendiri lebih suka kerja di cafe karena menurutnya, lebih santai melayani pengunjung cafe daripada restoran. Tetapi tempat tersebut hanya memiliki satu dapur yang luas di bagian belakang. Dapur yang digunakan untuk dua tempat usaha. "Itu bukan, Al? Ibu-ibu. Tadi katanya di pojok kanan 'kan?" Shila menunjuk ke salah satu arah di mana seorang wanita tengah duduk di sana. "Mungkin ...." Alma tidak melanjutkan ucapannya saat mengenali siapa orang yang sedang menunggunya. "Lah? Itu 'kan si Nenek Sihir. Ngapain dia ke sini nyari kamu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD