3 ~ Pria Menyebalkan

1262 Words
Pria itu turun dari sepeda motor Alma. Lalu berjalan dan berdiri di depan gadis itu. Sengaja menghadang kendaraan roda dua itu agar tak bisa bergerak. “Saya sudah bilang, saya bukan orang jahat,” ujar pria berpakaian serba hitam itu. “Orang jahat mana ada yang mau ngaku, Pak.” Alma bersikukuh. “Lihat saya baik-baik.” Pria itu membuka masker dan topi yang ia kenakan. “Lihat muka saya. Apa ada tampang orang jahat?” tanyanya dengan kesal. “Mana saya tau, Pak. Lagi pula, orang jahat atau tidak, bukan dilihat dari wajahnya, tapi dari hatinya.” Alma menjawab dengan santai. “Sekarang, tolong Bapak menjauh dari motor saya. Saya mau kerja, Pak. Nanti saya telat gara-gara ngeladenin Bapak," imbuh Alma, mengusir pria tidak ia kenal itu. Sang pria membolakan mata melihat sikap gadis itu yang acuh. Tidak Bukan hanya acuh. Tapi juga judes. Sungguh diluar kebiasaan. Biasanya, para gadis akan menatapnya dengan tatapan memuja, saat melihat wajah tampannya yang memang di atas rata-rata. “Hei! Halo ... Pak! Bisa dengar saya tidak?” Alma menggerakkan tangannya di depan wajah pria yang sedang melamun itu. Pria tampan itu mengerjapkan mata kemudian kembali tersadar. “Kamu tidak kenal saya?” tanyanya. “Memangnya, ada aturan yang mengharuskan saya kenal Anda?” Alma malah bertanya balik dengan ketus. Pria itu mengernyit. Apa dia benar-benar gak kenal aku? gumamnya dalam hati. Sang pria mengambil dompet dan membukanya, dia mengeluarkan sebuah kartu. “Ini KTP saya. Tolong Mbak bawa saya keluar dari sini sekarang, kalau saya macam-macam, Mbak bisa laporkan saya dengan KTP itu sebagai bukti,” ucapnya, mencoba bernegosiasi seraya menyerahnya kartu tersebut. Alma menerimanya dan membaca nama yang tertera. “Revan Alvaro Aditya,” gumamnya seraya mengangguk-angguk. Sementara Revan, menatap Alma dengan tatapan tak percaya. Ini cewek beneran gak tau aku ini siapa? batinnya lagi. “Ayo, Pak Revan! Jadi saya antar tidak?” tanya Alma membuyarkan pikiran Revan. “Ja–jadi, Mbak," jawan Revan, terbata. Alma pun menyerahkan helm pada pria itu. Setelah memastikan Revan duduk dengan nyaman, gadis itu pun melajukan sepeda motor keluar dari area kantor tempat ia bekerja. “Bapak mau turun di mana?” tanya Alma, saat mereka sudah berada di jalan raya yang cukup ramai. “Mbak sendiri memangnya mau ke mana?” Pria bernama Revan itu balik bertanya. “Saya mau kerja, Pak.” “Kerja? Bukannya barusan baru pulang kerja, ya?!” tanya Revan lagi. “Iya. Pulang kantor saya kerja di cafe juga," sahut Alma. “Ya udah kalau gitu, saya ikut ke cafe Mbak aja. Sekalian bisa sambil ngopi atau makan,” balas Revan. “Oke.” Tanpa banyak tanya Alma membawa Revan bersamanya. Baginya, bukan urusan dia Revan mau ikut ke cafe atau turun di jalan, apa pun alasannya, Alma tidak mau tahu. Sesampainya di cafe, Alma turun dari sepeda motor dan mengembalikan kartu identitas Revan. Pria itu pun berterima kasih. “Mbak beneran gak kenal saya?” tanya Revan sekali lagi, ingin memastikan. “Bapak udah berapa kali tanya hal yang sama. Apa gak bosen?!” jawab Alma dengan nada dingin. “Mbak gak punya TV?” tanya Revan lagi. “Punya.” “Suka nonton TV?” “Enggak.” “Kenapa?” “Gak ada waktu.” “Lalu TV untuk apa?” “Ibu saya yang nonton biar gak bosan di rumah.” “Tapi sosial media punya, ‘kan?” cerewet Revan. Dia sangat penasaran kanapa ada gadis yang tak mengenalnya? Alma menatap tak suka pada pria yang sedang berdiri di depannya dengan banyak pertanyaan tak penting keluar dari mulut pria itu. “Permisi. Saya mau kerja.” Alma berlalu meninggalkan Revan yang masih menganga. Benar-benar tidak habis pikir. “Apa saja yang dia lakukan seharian sampai tak kenal aku. Padahal aku selalu muncul di sosial media setiap hari,” gumamnya seraya berjalan masuk ke dalam cafe. Revan duduk di salah satu kursi, yang terletak di sudut ruangan. Taak mau ada orang lain yang mengetahui keberadaannya. Ia ingin makan dan minum dengan tenang. “Selamat sore. Mau pesan apa, Pak?” Alma kini sudah berdiri di hadapan Revan. “Eh, Mbak. Ketemu lagi kita," ujar Revan dengan senyuman manis. Alma membalasnya dengan senyum ramah, sebatas profesional saja. "Jadi mau pesan apa, Pak?" Bertanya sekali lagi. Ia pun mencatat pesanan yang Revan sebutkan kemudian berlalu. Beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa pesanan pria itu. “Mbak di sini ada private room, gak?” tanya Revan pada Alma, saat gadis itu mengantar pesanan. “Mohon maaf, Pak. Tidak ada.” Sang gadis menjawab dengan ramah sambil memindahkan isi nampan ke atas meja. Berbeda sekali dengan saat tadi ia berbicara pada Revan di depan cafe. “Silakan dinikmati.” Alma pun berlalu setelah mengucapkannya. Ia malas jika sampai Revan banyak bertanya lagi seperti tadi. “Ish, gadis itu benar-benar, deh,” rutuk Revan, sambil menatap punggung sang gadis yang berjalan menjauh. Revan rasanya tidak rela ada yang menatapnya dengan dingin seperti tatapan mata Alma. Meski bibir gadis itu tersenyum ramah, tapi tidak dengan sorot mata sang gadis “Eh, siapa tadi namanya?" Pria itu nampak berpikir. "Alma. Ya, Alma namanya.” Revan bergumam seorang diri, ia sempat melihat name tag yang Alma kenakan. *** “Al, kamu yakin, Mas Dani gak kasih tau kamu alasan dia mutusin hubungannya sama kamu?” tanya seorang Gadis pada Alma. “Yakin dong, Risti. Makanya aku gak tau alasan dia apa. Dia Cuma bilang ini yang terbaik buat aku. Entah terbaik yang kayak apa yang dia maksud,” terang Alma. “Kok aneh, ya?! Mas Dani tiba-tiba mutusin kamu dan malah nikah sama cewek lain. Terbaik dari mana, coba kalau kayak gitu? Itu mah yang ada malah nyakitin kamu,” celoteh Risti. “Mungkin kami emang gak jodoh, Ris. Kalau gak jodoh, kita bisa apa, coba?!” sahut Alma dengan santai. “Iya sih,” lirih Risti. “Tapi kamu gak apa-apa, ‘kan?” Gadis itu menatap lekat sahabatnya. “Kamu lihat sendiri aku masih waras,” balas gadis Alma seraya terkekeh. “Aku gak mau berlarut-larut. Nanti Ibu malah jadi sedih kalau lihat aku sedih. Aku harus kuat demi Ibu." “Aku yakin suatu hari nanti kamu bakal ketemu cowok yang pas buat kamu. Yang terbaik pokoknya,” harap Risti. “Hem … aamiinkan gak, ya ….” Alma mengerling matanya dengan jenaka ke arah Risti. “Aamiinkan dong, doa baik itu harus segera dijawab. Biar cepat terkabul,” sahut Risti. “Iya, deh. Aamiin. Terima kasih, doanya Risti yang cantik.” Alma mencubit gemas pipi sahabatnya itu. “Al … sakit, tau!” Risti mengerucutkan bibir seraya mengelus pipi yang dicubit Alma yang kini tertawa saat melihat ekspresi wajah sang sahabat. “Eh, Al, kamu udah tau belum? Kalau CEO baru perusahaan ini masih muda, ganteng lagi.” Risti dengan antusias bertanya pada Alma. “Belum.” Alma menjawab datar. “Kamu sih, kemarin gak ikut waktu acara perkenalan sama CEO baru itu,” cibir Risti. “Aku kan harus kerja Ris. Kamu tau itu, ‘kan?! Lagi pula kalau soal CEO baru, nanti juga tau sendiri, meskipun gak ikut perkenalan,” ucap Alma. “Iya, sih.” “Eh tapi kamu tau ‘kan, namanya siapa?” “Enggak!” “Alma, kebiasaan, deh. Cuek sih cuek tapi gak gitu juga kali, Al,” protes Risti. "Masa CEO sendiri aja gak tau? Minimal tau namanya kek." Alma terkekeh mendengar ucapan sahabatnya. “Siapa namanya memang?” ”Revan Alvaro Aditya,” jawab Risti. Alma diam sesaat setelah mendengar nama itu disebutkan. Seperti pernah mendengar, tapi entah di mana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD