Kartu AS

1100 Words
Krisan tengah mencari cara agar dia tidak pindah dari rumah papanya. Dia benar-benar tidak bisa membayangkan jika dia harus hidup susah bersama Raga di tempat tinggal barunya nanti. Di tengah lamunannya saat dia sedang sibuk dengan urusan ketakutannya, Raga kembali masuk ke dalam kamar dan membuat Krisan langsung tersentak kaget. Saking kagetnya, sampai-sampai ponsel di tangannya terjatuh dan berserakan di atas lantai. Raga yang melihatnya langsung menawarkan bantuan. “Mau aku bantu membereskannya?” “Haruskah hal itu saja perlu dipertanyakan segala?” “Kamu itu kan anti sama saya, jadi saya harus berhati-hati untuk bersikap sama kamu.” Krisan tak membalas, tapi dia mendengus kesal sambil memunguti ponselnya. Raga pun segera membantunya. “Pokoknya aku tidak mau pindah dari rumah ini. Titik!” Krisan menegaskan hal itu kembali. “Dan, pokoknya apapun alasan kamu ingin menolaknya, aku akan tetap mengajak kamu pindah dari rumah ini.” Raga pun tetap memegang prinsipnya. “Egois sekali kamu!” Decit Krisan, lalu dia membangkitkan tubuhnya dan berdiri. Begitu pun Raga. “Aku bahkan tidak membutuhkan bantuan kamu untuk menikahi aku. Kalau memang kamu tidak mau menuruti aku, ceraikan saja aku detik ini juga. Aku tidak akan masalah.” “Memang. Kamu tidak akan masalah dan kamu pun tidak membutuhkan pernikahan ini juga. Tapi,” Raga mendekati wajah Krisan yang membuat Krisan menjadi gugup. “Tuan Alfonso yang sangat membutuhkan pernikahan ini. Dia butuh untuk mengembangkan bisnisnya yang ilegal.” “Apa maksud kamu dengan bisnis ilegal?” “Aku beritahu satu hal saja pada kamu, kalau aku bisa saja menghancurkan hidup kamu dan tuan Alfonso sekarang juga.” Krisan mendadak panik. Raut wajahnya langsung berubah menjadi ketakutan akan sesuatu. “Tidak usah mengulur bicara. Cepat katakan langsung ke intinya saja.” “Aku sudah mengetahui kelakuan Alfonso selama ini. Dia telah menunggak bayar pajak dan juga meminjam hutang ke beberapa perusahaan untuk membantu bisnisnya yang hampir saja bangkrut. Bahkan, beberapa tahun belakangan ini, dia telah melakukan bisnis ilegal yang bisa mengancam kebangkrutan Virgo Group kalau sampai bisnis tersebut diketahui orang yang tidak menyukainya, rivalnya. Jadi, kartu AS kamu dan Alfonso ada di tangan saya sekarang. Kalau kamu sampai berbuat macam-macam, apalagi sampai tidak patuh pada saya, maka...” Raga sengaja menahan kalimatnya. Dia mengekorkan senyuman menggoda untuk memancing emosi Krisan. “Maka, apa?” Pertanyaan pun langsung keluar dari mulut Krisan secara spontan. “Maka aku akan melakukan sesuatu yang sedang ingin aku lakukan saat itu.” Jawabnya, yang diiringi dengan senyuman puas. “Sialan kamu!” “Sssstt!” Raga menutup mulut Krisan dengan jari telunjuknya. “Jangan keseringan bicara kasar saat bersamaku. Telingaku panas mendengarnya.” Ucap Raga, membisik pelan di dekat telinga Krisan. “Tuan Alfonso memang bodoh karena mau saja memilihmu untuk menikahi putrinya, tanpa melihat background kamu terlebih dahulu!” Raga hanya kembali mengekorkan senyuman lebar di salah satu bibirnya, sebagai tanda kepuasannya telah berhasil melakukan rencananya dengan sempurna. Dddrrr... dddrrrr... Ponsel Raga tiba-tiba saja berbunyi di saku celananya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan melihat siapa yang sedang menghubunginya saat ini. Krisan pun sempat melihat orang yang menghubungi Raga sebelum akhirnya Raga pergi keluar dari kamar itu untuk menerima telpon tersebut. “Siapa Kalista?” Gumamnya, penasaran. _____ “Halo, Kal?” “[Kapan kita bisa bertemu lagi, Ga?]” “Bagaimana kalau lusa? Aku sangat sibuk sekali akhir-akhir ini.” “[Sesibuk apapun kamu, masa sampai sulit untuk menemui aku sih, Ga? Apa kamu tidak merindukan aku?]” “Tentu saja aku merindukan kamu. Tapi, mau bagaimana lagi. Pekerjaan aku sekarang juga sangat penting sekali, Kal. Aku minta tolong pengertian kamu.” “[Baiklah. Aku akan sabar menanti. Asalkan kamu tetap memberi kabar padaku. Ingat, kamu jangan nakal ya, Ga!]” “Iya, Kal. Aku tidak akan nakal.” “[Oke, aku percaya.]” Setelah selesai menerima telpon singkat dari Kalista, Raga pun segera kembali ke kamarnya. Dia mendapati Krisan yang sudah tertidur lelap di atas ranjang dalam posisi tidur menyamping. “Kasihan sekali dia. Usianya masih terlalu muda untuk mengalami kehamilan tanpa laki-laki yang mencintainya di sisinya. Aku berharap, setelah kami berpisah nanti. Dia akan bertemu dengan laki-laki yang tulus mencintainya dan menerima dia apa adanya.” Secercah harapan dan doa Raga untuk Krisan Kemudian, Raga menidurkan tubuhnya di atas sofa dan menatap sejenak keluar jendela kamar sebelum akhirnya dia terlelap. Raga tidak tahu, kalau sebenarnya Krisan belum tidur. Dia masih terbangun dalam kegelisahan hebat yang melanda dirinya saat ini. “Rasanya, aku mau mati saja.” Ucap Krisan sambil mengusap perutnya yang sedang bergerak karena bayinya sedang aktif di dalam perutnya. Keesokan harinya, Krisan terbangun dalam kondisi tubuh yang kurang fit dan dia mendadak demam dan langsung dilarikan ke rumah sakit oleh pelayan di rumahnya. Raga yang sedang mendampingi Alfonso dalam rapat penting, malah diperintahkan oleh Alfonso agar bergegas pergi ke rumah sakit untuk menemani Krisan. Perintah itu pun langsung Raga laksanakan. Saat tiba di rumah sakit, tepatnya di ruang perawatan. Dia melihat Krisan sedang terbaring dalam kondisi tangan diinfus. Kedua matanya binar saat melihat kondisi Krisan, betapa kasihan Krisan karena ternyata hidupnya tidaklah sebahagia kelihatannya. “Ternyata sikapku sudah berlebihan padamu. Seharusnya aku tidak membuat batinmu tersiksa kalau saja aku tidak ingin mencari tahu tentang jati diriku yang sebenarnya. Maaf, aku telah memanfaatkan kamu untuk tujuanku.” Ucap Raga, merasa bersalah. Lalu, dia duduk di samping ranjang untuk menemani Krisan sampai terbangun nanti. ** “Pak, tolong katakan pada Raga, supaya dia berhenti pada ambisinya itu. Yang dia lakukan saat ini hanya akan menyakiti dirinya saja. Ibu tidak mau kalau sampai melihat Raga terus merasa menderita.” “Sudahlah, Bu. Biarkan saja Raga melakukan apa yang ingin dia lakukan. Dia sudah dewasa dan sudah cukup untuk kita merawatnya, menjaganya, dan menasehatinya. Kalau kita terlalu banyak melarangnya, yang ada malah nantinya membuat dia jadi membenci kita. Lebih baik ibu fokus pada kesehatan ibu saja, karena perjuangan Raga untuk membiayai pengobatan ibu tidaklah mudah. Kita harus menghargai usahanya selama ini.” “Tapi, pak. Wanita itu kenapa jahat sekali pada Raga? Setelah apa yang dia lakukan pada Raga selama ini dan sekarang dia malah ingin menyakiti Raga dengan mengungkap segalanya. Apa maksud tujuan dari wanita itu mengatakannya pada Raga? Apa, pak?” Minah tidak sanggup lagi untuk menahan kesedihannya karena harus melihat penderitaan yang dialami oleh anak angkatnya itu. “Iya, bu. Bapak tahu kalau ibu kasihan pada Raga. Tapi, bukan seperti ini caranya. Nanti, bapak akan bertemu dengan Raga dan mengajaknya bicara.” “Benar ya, pak. Tolong nasehati Raga lagi agar dia mau berhenti melakukannya. Katakan juga padanya, hentikan semua itu sebelum ibu mati, agar ibu bisa tenang saat meninggalkannya nanti.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD