Naya bingung bagaimana dia menghubungi suaminya. Pasalnya, ponsel Arzan rusak dan dia tidak tau kemana sang suami pergi semalam meninggalkan dirinya sendiri.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Naya duduk di kursi yang ada di dekat jendela besar kamar itu yang sengaja Naya buka lebar tirainya agar terlihat pemandangan, sembari mengaplikasikan pelembab pada tubuh dan wajahnya dia melamun.
Matanya menatap keluar jendela tapi tidak terpancar apapun dari mata itu, hampa, sama seperti hatinya saat ini. Malam Pertama yang seharusnya spesial bagi sepasang pengantin tak seindah harapannya. Memang pernikahaannya di jodohkan tapi dia berharap kalau Arzan akan berusaha mencintainya dan menjalankan pernikahan ini seperti biasanya. Tapi nyatanya zonk, pria itu malah menghilang di malam pertamanya.
Tidak sesuai dengan ekspektasi Naya, dia ingin mengarungi biduk rumah tangga yang harmonis walau awalnya terpaksa karena di jodohkan. Namun, semua harapannya sia-sia, bagaimana pernikahaannya ke depan kalau malam pertama saja dia lewati seorang diri di kamar. Seharusnya semalam adalah malam terpanas untuk dirinya dan suaminya, di sanalah mungkin akan tumbuh bibit cinta di antara mereka sayangnya semua hanya harapan Naya saja.
"Aku harus bagaimana, Mas? Kalau aku saja yang berjuang dalam pernikahan ini rasanya sulit!" Monolog Naya lirih, tanpa bisa di cegah air matanya menetes dan langsung dia menyeka dengan jemarinya.
Naya terkejut saat pintu kamar terbuka.
Arzan masuk ke dalam tanpa memberi salam, masih dengan piyama yang sana dia melempar asal kunci mobilnya dan melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar mandi. Tapi sebelum dia benar-benar masuk suara Naya menghentikan langkahnya.
"Dari mana saja kamu, Mas?" suara lembut itu sedikit meninggi.
Arzan tersenyum miring menanggapi pertanyaan Naya.
"Aku di kamar lain," jawabnya singkat.
"Sama siapa?"
Arzan menarik napas dalam-dalam, dia mencoba menahan emosinya.
"Bukan urusanmu, Naya. Dan jangan pernah ikut campur urusanku!" tegas pria bertubuh atletis itu yang mulai membuka piyamanya.
"Aku mengingatkan, kali kamu lupa kalau aku ini istrimu sekarang, aku berhak tahu kemana dan apa saja yang suamiku lakukan!" sahut Naya, wanita itu mulai berjalan mendekati Arzan.
Arzan melirik tajam Naya, tanpa dia beri tahu pun pikiran Arzan masih dapat mengingat kalau wanita yang saat ini sedang marah padanya adalah istri sah-nya.
"Termasuk wanita siapa saja yang tidur dengan suamiku semalam," tambahnya.
Bukan tanpa alasan dia mencecar Arzan. Pasalnya wangi parfum yang melekat pada piyama dan tubuhnya sangat tajam kalau itu adalah aroma parfum wanita bukan parfum maskulin milik Arzan yang biasanya.
Arzan hendak masuk ke dalam kamar mandi tapi Naya menahannya dengan mrnggenggam lengan berotot itu dengan kuat.
"Mas! Aku belum selesai bicara!"
"Apa dia kekasihmu?" cecar Naya.
"Apa kamu mencintainya?"
Pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya juga menyakiti hatinya sendiri tapi harus dia utarakan agar suaminya mengakui kalau ada wanita lain dalam rumah tangganya yang akan dia jalani ke depan.
"Ya!"
Jawaban singkat Arzan padat dan jelas hingga berhasil membuat Naya syok dan melepas genggaman tangannya.
"Sudah selesai interogasinya? Kalau sudah, silahkan keluar kerja saya mau mandi," usir pria itu.
"Atau kamu mau mandi bersamaku?" goda Arzan dengan senyum liciknya.
Wajah Naya seketika memerah, dia baru menyadari posisinya, di ambang pintu kamar mandi bersama pria yang sudah sah menjadi suaminya yang sudah bertelanjang d**a. Tubuh atletis Arzan pun membuat Naya menelan saliva-nya.
"Naya? Hallo!" Tangan Arzan melambai di depan wajah sang istri.
Naya menyerjap tersadar dari lamunan fantasi liarnya yang seketika traveling karena melihat tubuh Arzan.
Tanpa berucap apa pun lagi, Naya berbalik badan dan dia menjauh dari sana.
Arzan terkekeh kemudian menutup pintu kamar mandi dengan kencang, membuat Naya terkejut dan mengusap dadanya.
***
"Semua menunggu kita di restaurant untuk makan siang," ucap Naya saat Arzan keluar dari Kamar mandi hanya berbalut handuk di pinggangnya.
Rambutnya masih sedikit basah dan menetes di pundaknya.
Lagi-lagi pikiran Naya traveling, entah mengapa wanita itu sangat menikmati pemandangan indah tubuh suaminya. Sayangnya tubuh itu tidak bisa dia miliki seutuhnya karena ada wanita lain yang sudah lebih dulu mendekapnya.
"Bilang saja kita berdua makan di kamar," balas Arzan.
"Aku sudah buat alaasan itu tadi pagi, Mas! Saat sarapan kita sudah melewatinya."
Arzan menghela napasnya kasar. Setelah mengambil pakaian dari kopernya dia langsung segera memakainya. Kemeja putih dengan lengan panjang yang dia gulung setinggi siku dan celana berbahan denim membuat pesona Arzan tampak lebih di mata Naya. Tidak banyak yang pria lakukan setelah mandi, selain memakai deodorant dan parfum, Arzan hanya perlu menyisir rambutnya sebentar setelah itu selesai.
Tanpa mengajak, pria itu keluar kamar sendiri dan Naya mengekor.
Tidak ada percakapan dari lantai kamar mereka berada sampai ke lantai bawah dimana restaurant berada, di dalam lift-pun mereka saling diam.
Tapi saat memasuki restaurant, tiba-tiba Arzan menggenggam tangan Naya dan tersenyum manis seakan memberi kode pada wanita itu.
"Ini dia pengantin baru kita," seru Satria-ayah kandung Arzan yang sudah menjadi papa mertua Naya.
"Mereka terlihat romantis," sahut Eben-papa kandung Naya.
"Selamat siang, Pa, Ma," salam Naya. Memberi pelukan dan sebuah ciuman di pipi pada Eben, Satria dan Niki.
"Selamat siang, Sayang, bagaimana malam pengantin kalian?" tanya Niki pada anak menantunya.
Sontak wajah Naya merona saat di ungkit soal malam pertama.
"Apa kamu harus cerita pada kalian semua gaya yang kami lakukan?" balas Arzan blak-blakan.
Ucapan pria itu membuat ketiga orang tua itu tertawa lepas tapi tidak dengan Naya yang terdiam.
Tidak enak rasanya berbohong pada orang tua, Naya hanya bisa diam kalau dia jujur maka Arzan akan murka padanya.
Sembari menikmati sarapannya, Eben memberi sebuah amplop pada Arzan.
"Apa ini, Pa?" tanya Arzan dengan kening menyernyit dalam.
"Ini adalah hadiah dari ku untuk pernikahan kalian berdua," jawab Eben.
"Papa seharusnya tidak perlu melakukan ini, apa yang papa kasih sudah banyak untuk kami. Tapi ini -"
"Sudahlah Arzan, terima saja. Papa Mertua kamu itu sangat senang dengan pernikahan kalian," sela Satria cepat sebelum Arzan menyelesaikan ucapannya.
"Tapi ini perjalanan bulan madu terlalu lama, aku dan Naya harus kembali kerja," tolak Arzan.
"Ck! Masih banyak dosen di kampus yang menggantikan kamu dan Naya, jangan memikirkan mahasiswa terus, Zan! Pikirkan istrimu sekarang," timpal Niki.
"Mama kamu benar, Zan. Kalian berbulan madulah dan pulang bawa cucu untuk kami," tambah Satria.
Mendengar kata 'cucu' membuat Naya tersedak. Dengan cekatan Arzan memberikan segelas air untuk Naya minum dan mengusap pelan punggung sang istri.
"Pelan-pelan, Sayang," ucapnya.
Eben dan Satria saling lempar senyum melihat perlakuan Arzan pada Naya. Kedua orang tua itu senang mengetahui kalau anak-anak mereka harmonis seperti ini. Tapi siapa yang tahu kalau semua hanya akal-akalan Arzan saja agar orangtua mereka tidak curiga.
Naya sendiri hanya bisa tersenyum getir mendapat perhatian dari Arzan.
Arzan menatap tiket perjalanan bulan madunya dengan rahang mengeras dan tangan mengepal di bawah.
Sebuah perjalanan bulan madu selama dua minggu lamanya, keliling Eropa dengan kapal pesiar. Itu berarti dua minggu dia tidak bisa bertemu dengan Gayatri.
Baru beberapa jam saja tidak bertemu dengan kekasih gelapnya itu Arzan sudah sangat rindu pada aroma tubuh wanita itu, apa lagi dua minggu. Yang benar saja!
Tanpa Arzan sadari Naya memperhatikan gelagatnya.