CHAPTER 2. Nara

1584 Words
*** Suara deburan ombak membuat kedua kelopak mata Namira bergerak. “Dia sadar!!!” teriakan seseorang yang tidak dirinya kenal semakin membuatnya ingin membuka mata. Tetapi seakan semua terasa berat, Namira hanya bisa menggerakan kelopak matanya secara perlahan. Suara kaki-kaki melangkah dengan cepat terdengar sangat jelas. Namira ingin sekali membuka matanya dengan leluasa agar bisa melihat siapa yang telah menjadi penolongnya saat dirinya berpikir untuk mengakhiri hidupnya saja. Ngomong-ngomong sudah berapa lama ia terbaring di tempat ini? Namira memaksa matanya agar terbuka. Ia sungguh tidak tahan untuk mengetahui kenyataan yang masih menjadi tanda tanya baginya ini. Apakah Anka yang menolongnya? Atau orang-orang yang ada di pesta malam itu. Namira lebih baik mati di makan monster ikan kalau memang mereka yang telah menolongnya. Sungguh Namira sangat malu jika itu sampai terjadi. “Apa dia sudah sadar?” lagi-lagi ada yang bersuara. Kali ini Namira dapat mendengar bahwa yang bertanya adalah seorang perempuan. “Ck ayolah Nara ngapaian sih ngurusin orang ini? kita sedang liburan sayang,” Namira mengernyitkan dahinya ketika nama kecilnya disebut oleh seorang lelaki. Siapa pemiliki suara berat yang terkesan kesal itu? pikir Namira. Decakan sebal kembali terdengar. Kali ini dari perempuan yang tadi menanyakan keadaannya. “Kamu jangan gitu! Dia butuh pertolongan, Zafi!” ucap si perempuan. Jadi laki-laki itu bernama Zafi. Tetapi kenapa Zafi ini menyebut nama kecilnya? Namira sama sekali tidak mengenal lelaki yang bernama Zafi semasa ia hidup. Ingin sekali Namira membuka matanya namun seakan ada perekat yang memaksa matanya agar tetap tertutup, sementara ia bisa mendengar percakapan mereka. “Dia masih koma,” ucap salah satu dari mereka. Perempuan juga. Namira yakin dia adalah seorang dokter mengingat sejak tadi ada yang memeriksa tubuhnya. Seseorang yang lainnya mendesah frustasi setelah mendengar pemberitahuan itu. “Kasihan sekali gadis ini. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” sungguh demi apapun Namira ingin melihat siapa perempuan yang terdengar sangat mengkhawatirkannya ini. “Nara cukup! Ayo kita kembali, kamu juga butuh istirahat,” kini Namira sudah bisa mengenali suara milik Zafi. Tetapi tetap saja dirinya bingung kenapa Zafi memenggilnya seperti itu. Dan apa katanya tadi? Ia butuh istirahat? Bukankah saat ini dirinya sedang dalam keadaan berbaring? Setelah itu tak ada lagi percakapan, Namira hanya mendengar langkah kaki yang menjauh. Pertanyaan silih berganti dalam benaknya. Namun setidaknya pertanyaan tentang siapa yang menolongnya sudah sedikit terjawab, ya, tentu ia bernapas lega karena bukan Anka maupun orang-orang yang ada di pesta malam itu yang menolongnya. Syukurlah. Setidaknya untuk sementara Namira bisa menghindari pertanyaan tentang apa yang terjadi malam itu. Mungkin saja saat ini berita kematiannya akibat bunuh diri telah menyebar. Entahlah.. Namira merasa di manapun keberadaannya saat ini adalah tempat tebaiknya untuk sementara waktu. Selain bisa menghindari berbagai pertanyaan dari media, ia bisa mengistirahatkan dirinya dulu. Hari terus berganti, namun mata Namira masih saja enggan untuk terbuka meskipun ia sudah memaksa dirinya untuk melakukan itu. Namun ia tak pernah berhasil. Hanya karena telinganya bisa mendengar apapun, kini ia tahu siapa lelaki yang bernama Zafi itu panggil dengan sebutan Nara. Dia adalah perempuan yang selalu terdengar sangat mengasihaninya. Namanya Kanara, Namira dapat mendengar Zafi memanggil perempuan itu dengan panggilan Nara, sama seperti nama kecilnya, Namira menjadi Nara. Namira bertanya-tanya takdir apa yang akan menantinya setelah ia sadar nanti. Seperti apakah perempuan bernama Kanara ini. Seperti apakah Zafi yang selalu terlihat mencintai Kanara. Tentu Namira tahu dari setiap percakapan mereka. Bagaimana lembutnya Zafi memanggil Kanara dengan panggilan Nara. Namira bisa mendengar semua itu. Kadang Namira ingin sekali menertawakan tingkah mereka berdua yang berdebat karenanya. Namira ingin mengucapkan terima kasih karena Kanara selalu membelanya. Ia ingin memberikan cibiran pada Zafi karena selalu kalah oleh Kanara. Namira benar-benar penasaran dengan dua sosok yang hampir setiap hari menemuinya di ruangan ini. Sungguh hal itu membuat Namira semakin bersemangat untuk membuka matanya. Hingga akhirnya ia berhasil melakukan itu. Matanya kembali mampu menatap seluruh alam semesta khususnya di sekitarnya saat ini. Deburan ombak tak lagi hanya bisa dirinya dengar tetapi ia bisa melihat pemandangan samudra yang membiru itu. Namira sudah sadar. Itu kalimat yang dia tunggu-tunggu selama ini. Begini rasanya menanti sesuatu yang terasa begitu lama baginya untuk terwujud. Jika malam itu Namira ingin mengakhiri hidupnya maka sekarang dirinya benar-benar ingin hidup dan berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi. Ia akan hidup jauh lebih baik dari sebelumnya. Tidak peduli banyak orang yang akan menjatuhkannya, Namira akan kembali ceria, setidaknya saat ini, di depan dewi penyelamatnya, Kanara. Lihat, betapa senyum lega terpapar jelas di wajah perempuan berparas cantik itu setelah mengetahui bahwa Namira telah sadar. “Syukurlah kamu sudah sadar,” ucapnya setelah sekian menit sama-sama terdiam. Namira merasakan kekakuan pada seluruh tubuhnya. Ia menganggukan kepalanya sambil ikut tersenyum. “Terima kasih,” ucap Namira dengan tulus. Kanara menganggukan kepalanya. Ia menyentuh tangan Namira tanpa perasaan canggung. Entah kenapa Kanara sangat menyukai Namira meskipun sampai detik ini dirinya belum mengenal Namira bahkan hanya untuk sekedar nama. Diantara rasa lega dan bahagia itu, ada saja suara yang berdecak kesal. Tanpa melihatpun Namira tahu siapa pemilik suara itu. “Jadi ini yang namanya Zafi?” Tanya Namira dalam hati. Begitu juga dengan Kanara, perempuan itu juga mengalihkan tatapannya pada Zafi. Ia terkekeh sebelum memperkenalkan Zafi pada Namira. “Ini Zafi, tunangan saya,” katanya. Namira tersenyum pada Kanara. Namira sudah tahu meskipun Kanara tidak memberitahunya. “Nama kamu siapa?” Tanya Kanara. Ia sedikit ragu untuk bertanya tetapi ia merasa harus menanyakan itu agar bisa memanggil perempuan yang ia tolong itu dengan namanya. Namira mengulurkan tangannya pada Kanara, “aku Nara, Namira,” ucapnya. Kanara terkejut mendengar nama Namira yang sangat mirip dengannya itu. Kekehan lucu keluar dari mulutnya, “Aku juga Nara, Kanara,” balasnya. “Kita memiliki nama yang sama,” katanya. Namira tidak tahu kenapa Kanara tak pernah berhenti tersenyum meskipun wajahnya terlihat pucat. “Berbeda! Kamu Kanara, dia entah apa,” celaan Zafi membuat kedua perempuan itu menolehkan kepalanya dengan serentak. Lantas sama-sama mengerutkan dahi sebelum sama-sama tertawa. Zafi kesal bukan main karena mereka menertawakannya. “Ini semua gara-gara kamu!” ujaran itu penuh kebencian. Namira tahu, Zafi kesal padanya karena Kanara selalu berada di ruangan ini selama ia sakit. Hal itu membuat Zafi tidak memliki waktu berduaan dengan wanita pujaan hatinya itu. Mendadak Namira merasa bersalah. Namun deheman Kanara membuatnya mengabaikan rasa bersalah itu. “Kamu nggak perlu mikirin ucapan Zafi ya, dia memang begitu,” ucap Kanara. Namira hanya bisa menganggukan kepalanya saja. “Maaf sudah berapa lama aku nggak sadarkan diri?” tanya Namira mencoba mencari informasi tentang dirinya sendiri. Kanara mendesah, “sekitar sebulan yang lalu aku menemukanmu terdampar di pulau, ya kurang lebih satu bulan kamu koma,” jawaban Kanara membuat Namira membola. Jadi ia koma selama sebulan? Selama dua minggu ia bisa mendengar suara mereka namun tidak bisa membuka mata. Wajar saja Zafi kesal padanya karena telah mencuri perhatian Kanara selama sebulan ini. “Cukup lama ya merepotkan kalian,” ucap Namira. “Nggak! Kamu jangan ngomong gitu. Aku bersyukur kamu selamat,” balas Kanara. Namira merasa terharu, ia lantas memeluk Kanara. Namira bisa merasakan telapak tangan Kanara membalas pelukannya dengan lembut. Perempuan ini sangat tulus hatinya, Namira bisa merasakannya. Pantas saja Zafi sangat mencintainya. “Terima kasih, Kanara,” ucap Namira setelah melepas pelukannya. Ia berjanji suatu hari nanti akan membalas semua kebaikan yang telah diberikan Kanara padanya selama ini. “Kamu mau makan sesuatu?” tanya Kanara masih dengan senyum tulusnya. Lagi-lagi Namira menganggukan kepalanya. Bangun dari tidur panjang ini membuatnya kelaparan. Ia ingin memakan makanan laut jika diperbolehkan. Saat Namira ingin menggerakan kakinya yang masih saja keram, Kanara dengan tegas melarangnya. "Tunggu di sini!" ujarnya. "Tapi.." Namira mencoba mencegah apapun yang Kanara ingin lekukan namun ketegasan Kanara membuat Namira bungkam. Ia hanya bisa menganggukan kepalanya saat Kanara mengatakan akan mengambilkan makanan untuknya. "Baik sekali perempuan itu," bisik Namira dengan suara lembutnya. Ia mengedarkan pandangan ke seleruh ruang yang menjadi kamarnya selama ia sakit. "Luas," pikirnya. "Kapal ini benar-benar mewah," ucap Namira menganggumi kapal yang sedang berlayar ini. Ia tidak tahu berapa banyak yang telah dihabiskan si pemiliknya untuk mendapatkan kapal semewah ini. Tetapi Namira yakin siapapun dia pasti memiliki banyak uang. "Ah siapa lagi kalau bukan Zafi. Hanya dia yang paling terlihat berkuasa," ungkap Namira tanpa sadar Zafi mendengarnya. Lelaki itu mengayunkan langkah kakinya untuk sampai di depan Namira. "Apa yang kau lakukan??" tanyanya tanpa sedikitpun peduli dengan nada suaranya yang terdengar kesal. Namira terkejut, ia mengalihkan tatapannya kepada Zafi. "Aku sedang.." "Sedang bersantai? Sementara Naraku kau biarkan menyiapkan makananmu, begitu?" potong Zafi. Namira semakin terkejut mendengar itu. Padahal ia tidak bermaksud merepotkan Kanara seperti yang Zafi tuduhkan. Namira ingin membalas namun jujur saja ia belum memiliki tenaga yang cukup untuk berdebat dengan Zafi. Lagi pula Namira merasa tidak enak jika harus bertengkar dengan lelaki ini. Ia tidak akan lupa Zafi memiliki andil dalam menolongnya meskipun kerjaannya hanya marah-marah saja. "Apa yang sedang kau lakukan, Zafi?" Namira tahu ia tidak harus mengeluarkan suaranya lagi sebab Kanara sudah mewakilinya. Bukan maksud Namira ingin memanfaatkan keberadaan Kanara namun akan lebih mudah menangani kekesalan Zafi jika Kanara langsung yang menghadapinya. Sementara itu, sejak mendengar suara Kanara, Zafi hanya terdiam dan salah tingkah. Ia mendekati Nara dengan tergesa. "Nggak apa-apa sayang! Aku pikir kamu masih di sini," ucapnya berbohong. Zafi mendatangi Namira karena ia sempat melihat Kanara sibuk di dapur demi menyiapkan makanan untuk Namira. Tentu saja Zafi sangat kesal. Selama ini dirinya mati-matian menjaga Kanara agar tidak kelelahan. Tetapi sejak kedatangan perempuan itu, Kanara disibukan dengan ini dan itu. Mendengar jawaban Zafi, Kanara mendengus sebal. Ia sangat yakin Zafi membuat Namira tidak nyaman. "Kamu mau ikut makan?" tanya Kanara setelah ia meletakan makanan Nara di atas nakas. Zafi menggelengkan kepalanya. Ia memilih pergi sebelum kekesalan Kanara semakin menjadi. Sepertinya Zafi benar-benar harus mengirim Namira ke manapun secepatnya agar tidak mengganggu liburannya bersama Kanara. Zafi menemui kapten kapal mereka. Ia ingin menanyakan kapan kiranya kapal ini akan kembali berlabuh. Namun jawaban kapten itu membuatnya semakin kesal sebab pulau berikutnya yang mereka tuju masih jauh, membutuhkan waktu cukup banyak untuk sampai ke sana. . . B E R S A M B U N G. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD