CHAPTER 3. Tatapan

1109 Words
*** Seminggu setelah hari itu, Namira sudah bisa berjalan seperti biasanya. Kapal ini benar-benar luas dan lengkap. Semua ada di sini termasuk seorang dokter yang selama ini merawatnya. Zafi dan Kanara benar-benar menyiapkan segala sesuatunya. Mereka merencanakan ini dengan baik dan Namira merasa ia telah menghancurkan rencana mereka. Perasaan tak enak hati memenuhi Namira. Dia bingung harus melakukan apa. Sementara itu, untuk meninggalkan kapal ini rasanya tidak mungkin karena ia tidak tahu mereka sedang ada di mana. Hanya lautan yang ada disekitarnya. Tak ada apapun selain suara kapak yang bertabrakan dengan air laut. Namira semakin merasa serba salah saat mengingat kebencian Zafi padanya yang lelaki itu tunjukan secara terang-terangan. Entah kenapa Zafi begitu membencinya padahal Namira tak pernah memilih untuk diselamatkan oleh Kanara. Ia hanya merasa beruntung dipertemukan dengan bidadari berhati lembut seperti Kanara. Tetapi merasa sial karena bidadari itu sepaket dengan iblis berdarah dingin seperti Zafi. Menghela napas, Namira memejamkan matanya, menghirup dalam-dalam aroma air laut yang khas. “Sedang apa kamu di sini?” tiba-tiba pertanyaan itu muncul bersamaan dengan lemparan kaleng bekas minuman padanya. Tentu hal itu membuat Namira terkejut. Ia menolehkan kepalanya untuk mengetahui siapa yang melakukan itu padanya. Astaga Zafi! Dia ada di sini. Padahal Namira ke bagian belakang kapal ini adalah untuk menghindari Zafi, tetapi ia justru bertemu dengan lelaki itu lagi. Namira yang biasanya akan berteriak jika ada yang sengaja ingin membuatnya kesal, kini terpaksa bungkam dan terlihat biasa saja atas perlakuan Zafi. Dengan sangat terpaksa pula Namira akui dirinya tidak berani melawan Zafi. Namira takut Zafi melemparnya ke lautan melihat betap Zafi bisa melakukan itu padanya. Membayangkan hal itu saja sudah membuat Namira merinding. Namira masih mengingat jelas betapa melelahkannya terombang ambing di lautan lepas ketika dirinya memutuskan untuk terjun malam itu. Dari pada bingung menghadapi kebencian Zafi padanya, Namira memilih melarikan diri dari hadapan lelaki itu. Namun karena terlalu ceroboh kakinya tersangkut tali hingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Namira meringis, ia menyalahkan dirinya karena telah bertingkah memalukan di hadapan Zafi. Di saat yang seperti itu jangan berpikir Zafi akan menjadi pahlawan. Namira tejatuh begitu saja dan Zafi dengan senang hati menertawakannya. Sakit di kaki Namira tidak seberapa tetapi rasa malu dan kesalnya pada Zafi melebihi segalanya. Namira mencoba bangkit demi meninggalkan tempat itu. Syukurlah ia berhasil. Tetapi rupanya Zafi belum puas. Ia terus saja menertawakan Namira hingga punggung perempuan yang menurutnya sangat mengganggu itu menghilang dibalik pintu. Setelah Namira tak lagi terlihat, Zafi pun ikut meninggalkan tempat itu. Senyumnya mengembang saat melihat perempuan yang amat ia cintai sedang berbicara dengan seseorang yang tak lain adalah Namira. “Nara!” ujarnya. Kedua perempuan itu sama-sama menolehkan kepalanya. Tetapi Namira tahu Zafi bukan memanggilnya melainkan memanggil Kanara. “Aku juga Nara,” mendadak Namira salah tingkah setelah mendengar bisikan hatinya itu. Astaga!! Kenapa memangnya kalau dirinya juga Nara? Dan kenapa kalau yang Zafi panggil adalah Naranya yang lain? Ck. Namira harus secepatnya meninggalkan mereka kalau tidak ingin Zafi semakin membencinya. Lagi pula dia harus membersihkan pikirannya dari kontaminasi yang baru saja Zafi berikan. “Kalau gitu aku duluan ya, Ra.” Namira pergi setelah berpamitan. Kanara yang menatap punggung Namira membuat Zafi semakin kesal. Kenapa pula si Namira ini bisa mencuri perhatian kekasihnya sedemikian rupa? Jangan-jangan Namira mempunyai semacam pelet hingga Naranya sampai seperti ini. Zafi menghampiri Kanara, “sayang,” tegurnya. Senyum Kanara terbit diantara wajah pucatnya itu. Zafi dapat melihatnya, ia khawatir namun dirinya tidak bisa menunjukan kekhawatiran itu pada Nara. Tentu Zafi tidak ingin melihat Naranya semakin panik. Masih di tempat yang sama, Zafi mengusap wajah Kanara dengan sayang. Begitu besar harapan Zafi untuk Nara di masa depan. Begitu banyak rencana yang akan dirinya buat untuk Naranya, perempuan yang sangat dirinya kasihi. Zafi ingat bagaimana dulu ia menemukan Kanara. Mereka adalah mahasiswa di kampus yang sama. Zafi mengenal Nara dari teman sekelasnya. Beruntung, saat itu Nara juga menaruh minat padanya sehingga pendekatan mereka cukup lancar. Zafi yang saat itu masih berusia dua puluhan meminta Nara untuk menjadi pacarnya. Zafi sangat bersyukur ketika Nara mengiyakan permintaan itu. Hampir sepuluh tahun mereka bersama. Berkali-kali Zafi meminta Nara menikah dengannya namun Nara selalu menolak. Zafi tahu persis kenapa Nara selalu menolaknya. Nara yang baik hati meminta Zafi untuk memperistri perempuan lain. Namun Zafi yang setia tidak akan pernah meninggalkan Kanara. Dia adalah perempuan yang selama ini selalu ada dalam setiap langkahnya. Usai membiarkan ingatannya melanglang buana, Zafi mencium kening Nara dengan sayang. “Ayo masuk, di sini cukup dingin,” ajaknya. Zafi benar, di sini cukup dingin hingga membuat tubuh Nara terasa menggigil. Degup jantungnya juga terasa tidak beraturan. Hal itu membuatnya sedikit khawatir. Nara memeluk pinggang Zafi saat lelaki itu membimbingnya untuk kembali ke dalam kamar khusus yang ada di kapal itu. “Tunggu di sini sayang,” Zafi meninggalkan Kanara setelah ia menyelimuti gadis itu. Beberapa saat kemudian, Zafi sudah kembali bersama seorang dokter yang dulu pernah merawat Namira selama ia koma. “Kenapa mau aja disuruh Zafi ke sini, Kila?” tanya Nara sambil bercanda. Dokter Kila adalah dokter yang Zafi pilihkan untuk Nara. Dokter Kila mendengkus. Sejak pertemuan pertama mereka waktu itu, Kila sudah menganggap Nara seperti saudaranya sendiri. Mereka hanya memiliki perbedaan umur satu tahun saja. “Jangan ngeyel Kanara, istirahat!” ujar dokter Kila. Kanara terkekeh, “aku nggak mau diperlakukan seperti orang sakit di saat kita sedang ada tamu, Kila,” balas Kanara. “Aku bisa mengusirnya kalau begitu!” sahut Zafi. Kanara mendelik, “awas kalau berani!” balasnya. Zafi membuang mukanya. Ia sudah pasti kalah pada Kanara. Perempuan itu akan selalu dibiarkannya menang. “Zafi sini,” panggilnya. “Aku janji istirahat tapi kamu juga harus janji jangan mengganggu Namira,” ucapnya. Zafi menghela napasnya dengan berat. Namun tak urung ia anggukan juga kepalanya. Kanara merasa lega melihat itu. Ia berharap Zafi akan menepati janji. Setelah itu Kanara tertidur dengan pulas. Sedangkan Zafi masih setia mendampinginya. Tanpa siapapun sadari Namira mengintip bagaimana cara Zafi memperlakukan Kanara. Di tempatnya berdiri, Namira dapat menyimpulkan betapa Zafi mencinta perempuan yang namanya begitu akrab bagi Namira. Perlahan, Namira membalikan tubuhnya. Memunggungi tatapan Zafi yang baru saja menyadari keberadaan gadis berperawakan mungil itu. Zafi berdecak kesal, ia merasa privasinya terganggu karena kehadiran Namira di kapal ini. Dengan cepat Zafi mengejar Namira. Ia meraih pergelangan tangannya dan menariknya ke tempat tersembunyi di kapal itu. "Seenggaknya kamu jangan menampakan diri di depanku dan Nara, bisa?" ungkap Zafi mengenai keberatannya atas keberadaan Namira. Bulu mata Namira yang lentik mengerjap perlahan. Ia membalas tatapn Zafi yang tajam dengan tatapannya yang lembut. Senyum tulus yang terlihat manis muncul diantara kedua sudut Namira. Anggukan kecil menambah kesan betapa Namira terlihat lemah di mata Zafi. Tidak, Namira tidak selemah itu. Dirinya hanya ingin permasalahannya dengan Zafi terselesaikan. Entah apapun masalah itu tetapi Namira harap dengan anggukan kecil, seyum tulus serta matanya yang sayu bisa membuat Zafi sedikit saja bersabar dengan keberadaannya ini. Karena seperti apapun Zafi mengusirnya, Namira tidak akan bisa pergi ke manapun sebelum kapal ini berlabuh. . . B E R S A M B U N G. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD