Bab 1. Aku Hamil
"Davian, aku hamil anak kamu."
Lima kata yang membuat masa depan Davian Mahendra langsung lenyap seketika. Malam itu seharusnya menjadi malam penobatan dirinya sebagai pewaris perusahaan milik Ayahnya. Namun, semuanya hancur tatkala Senja–seorang wanita yang merupakan teman dari kekasihnya mengaku hamil anaknya.
"Apa-apaan ini! Kamu pikir ini semua lelucon?" Davian berteriak berang, marah tentu saja. Bagaimana tidak, tiba-tiba malam istimewanya menjadi hancur karena pengakuan konyol dari wanita yang berasal dari antah berantah.
"Aku beneran hamil, Dav. Kamu lupa malam itu kita sudah melakukannya tanpa sepengetahuan Jenny?" Senja–wanita manis berkulit putih bersih itu menangis tergugu seraya mengusap air matanya.
"Anjing! Enggak usah drama, hamil apa? Aku tidak pernah–"
"Cukup, Dav!" Jenny–kekasih Davian mengangkat kedua tangan dengan ekspresi yang begitu kecewa.
"Jen, ini semua bohong. Aku enggak pernah hamilin dia, ini semua bohong!" Davian tak menyerah, ia mencoba menjelaskan sekali lagi kepada kekasihnya.
"Berhenti membohongiku, Dav! Kalian berdua benar-benar menjijikan, terutama kamu, Senja!" Jenny menatap penuh amarah pada teman baiknya. "Aku kecewa sama kalian, mulai saat ini juga jangan pernah menemuiku lagi, hubungan kita selesai." Jenny langsung meninggalkan ruangan yang membuat hatinya hancur berkeping-keping.
"Jenny, tunggu, Jen!" Davian berusaha mengejar.
"Diam di tempatmu, Davian!”
Andreas–ayah Davian memberikan perintah dengan suara yang tegas tak bisa dibantah. Pria paruh baya itu tak kalah kecewanya dengan kabar yang baru saja didapat. Demi menyelamatkan nama baiknya, ia mengumpulkan orang-orang bermasalah itu ke dalam ruang pribadinya. Ia harus mengambil langkah tepat agar nama baik keluarganya tetap terjaga.
"Ayah, jika Ayah percaya dengan kata-kata wanita licik ini, aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak pernah menghamili dia!" seru Davian begitu berapi-api, ia harus menjelaskan semua kenyataan yang sebenarnya.
"Davian, aku tahu kamu tidak ingin mengakui anak ini. Dari dulu aku yang bodoh, aku yang salah. Jika memang anak ini tidak kamu akui, aku akan menggugurkannya saja," ucap Senja tiba-tiba menyela begitu saja.
Semua orang begitu terkejut mendengar perkataan Senja. Renata–ibu Davian langsung menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Nak, jangan katakan seperti itu. Anak itu tidak salah, kamu jangan gegabah," tutur Renata.
"Untuk apa lagi, Tante? Ayah anak ini tidak mau mengakuinya. Jadi, untuk apa aku harus mempertahankannya? Dia pasti lebih sedih hidup tanpa seorang ayah."
Davian mengepalkan tangannya begitu kuat, tanpa peringatan apa pun ia tiba-tiba langsung mencekik Senja dan membenturkan tubuhnya ke tembok.
"Kurang ajar!" umpat Davian.
"Davian! Apa yang kamu lakukan?" Kedua orang tua Davian berteriak secara bersamaan melihat apa yang dilakukan putranya.
"Sejak tadi aku masih menahan diriku. Sekarang, katakan apa yang sebenarnya kamu rencanakan, ha! Katakan!" teriak Davian benar-benar sangat marah.
"Le-pas." Senja memukul-mukul tangan Davian untuk menghentikan cekikan itu.
"Davian, lepaskan dia!" Andreas ikut berteriak memperingatkan.
"Tidak! Wanita ini sangat kurang ajar, dia sudah berbohong!" Davian justru menghempaskan Senja dengan kasar hingga wanita jatuh ke lantai.
"Davian!" pekik Renata langsung sigap membantu Senja. "Kamu benar-benar keterlaluan, dia ini sedang hamil anak kamu!"
"Berapa kali aku katakan, aku tidak menghamilinya!" jerit Davian.
Senja menangis lirih, ia memegangi leher dan perutnya bergantian. "Sudahlah, Tante, Om. Biarkan saja aku menggugurkan anak ini. Aku ke sini memang tidak ingin meminta pertanggungjawaban Davian. Aku hanya ingin memberitahunya kalau ada darah dagingnya disini," ujar Senja dengan tangisnya yang lirih.
"Omong kosong!" Davian berdecih muak.
Renata menggelengkan kepalanya berkali-kali, ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Senja yang terlihat gemetar. "Jangan berkata seperti itu, Ibu mohon jangan pernah punya niat menggugurkannya. Dia sudah ada, jadi Davian pasti tanggung jawab, Nak. Kalian akan menikah," tutur Renata.
"Ibu–" Davian ingin memprotes tapi Renata segera mengangkat kedua tangannya.
"Ibu tidak ingin mendengar apa pun bantahan yang keluar dari mulut kamu. Besok kamu harus menikahi Senja apa pun alasannya!” titah Renata dengan suara yang tegas.
"Ibu gila! Aku tidak mau!" teriak Davian menolak.
"Kecilkan suaramu, Davian Mahendra!" Andreas memberikan lirikan tajam kepada putra semata wayangnya. "Berhentilah membela dirimu, Ayah kecewa kamu bisa bersikap seperti ini. Jika kamu memang masih menganggap kami orang tua, maka lakukan apa yang ibumu katakan," ucap Andreas.
"Ayah, aku benar-benar tidak tahu apa pun. Wanita ini hanya mengaku-ngaku," jelas Davian.
"Cukup, sudah Ayah katakan padamu. Jika kamu memang masih menganggap kami orang tua, menikahlah dengan Senja dan pertanggungjawabkan perbuatanmu. Jika memang tidak, silahkan angkat kaki dari rumah ini," ujar Andreas dengan suara khas dirinya yang berat dan begitu tegas. Suara yang membuat Davian tahu jika tidak akan ada jalan lain selain menikah dengan Senja yang telah hamil.
"Malam ini antarkan Senja pulang dan katakan jika kalian akan menikah. Senja, apakah orang tuamu tahu tentang ini?" tanya Andreas kepada Senja.
Senja mendongak untuk melihat wajah Andreas, tapi ia kembali menunduk saat melihat wajah penuh amarah Davian.
"Belum," sahutnya disertai gelengan lemah.
"Baik, katakan pada orang tuamu, besok kami akan datang untuk melamar dan menikahkanmu," ujar Andreas lalu bergegas meninggalkan ruangan tersebut.
Senja menundukkan wajahnya semakin dalam, ia menangis lirih tapi Renata kemudian meraih tangannya. "Nak Senja tidak usah takut, ya. Davian pasti tanggung jawab kok, malam ini kamu pulang dulu, biar diantar Davian. Jangan menangis lagi, oke?"
"Terima kasih, Tante," kata Senja begitu lirih, tubuhnya gemetar hebat dan diliputi rasa takut yang luar biasa.
***
Davian mengendarai mobilnya dengan sangat kencang. Ia tidak mempedulikan apa pun meski Senja saat itu tengah ketakutan di dalam mobilnya. Raut penuh amarah itu masih menghiasi wajahnya yang tampan, sesekali terdengar hembusan napas kasar yang keluar dari bibirnya.
"Davian, tolong pelan-pelan," kata Senja begitu takut.
Davian melirik Senja dengan mata tajamnya, tanpa mengatakan apa pun ia langsung menghentikan mobilnya mendadak membuat kepala Senja terbentur bagian depan mobil.
"Menjijikan! Sekarang mengaku lah, siapa pria brengs*k yang telah menghamilimu?" Davian bertanya dengan begitu geram.
Senja menatap Davian sekilas lalu menunduk kembali. "Kenapa kamu bertanya? Aku memang hamil anak kamu, Davi–"
"Bullsit!" Davian memukul stir mobilnya dengan keras, emosinya semakin menjadi-jadi mendengar ucapan Senja. "Kamu pikir aku bodoh? Aku tidak pernah melakukan apa pun padamu, dan apa kamu pikir aku sudi menyentuh wanita dengan kasta rendah sepertimu? Cuih!" Davian menatap Senja dengan tatapan yang menghina.
Senja menggigit bibirnya, sakit sekali rasanya mendengar ucapan Davian yang menganggap dirinya tak sebanding dengan pria itu.
"Turun!"
"Dav?" Senja terkejut mendengar perintah Davian.
"Turun dari mobilku!"
Senja menatap sekelilingnya yang tampak gelap dan sepi, ia langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak Dav, di sini sangat sepi, aku–"
"Aku bilang turun!" bentak Davian semakin emosi.
Senja tetep kekeh dan menggelengkan kepalanya, hal itu membuat Davian naik pitam. Pria dengan tinggi 187cm itu langsung turun dari mobilnya lalu membuka pintu mobil samping Senja dengan gerakan yang kasar.
"Davian–"
Tanpa menunggu Senja mengatakan apa pun, Davian langsung saja menarik tangan Senja dengan kasar dan mendorong wanita itu ke jalanan hingga lututnya menghantam aspal dan nyeri.
"Aku tidak tahu apa niatmu melakukan ini, tapi baik. Aku akan mengikuti permainanmu. Mulai besok, aku pastikan kamu tidak akan bisa hidup dengan tenang, Senja."
Ucapan Davian layaknya sebuah kutukan besar yang membuat tubuh Senja menggigil hebat. Setelah itu Davian pergi begitu saja tanpa melihat lagi ke arah Senja yang terduduk menahan sakit di lututnya.
Senja membiarkan air matanya terus berjatuhan, ia menatap ke atas dengan tatapan sendu dan sayu.
"Tuhan, apakah aku salah memperjuangkan hakku?" lirih Senja dengan suara tercekat.
Bersambung.