"Savannah carson!"
Aku membungkuk hormat saat tepuk tangan riuh para penonton mengakhiri pertunjukan ballet yang aku lakukan. Aku menggenggam jemari teman-temanku yang lain, mengangkat genggaman tangan satu sama lain lalu membungkuk untuk menunjukkan rasa terimakasih kami, diiringi dengan tirai panggung yang perlahan tertutup.
Ini memang jadwalku bermain di teater kecil, kadang kami menampilkan drama musikal, pertunjukkan ballet murni, atau kadang aku menari untuk mengiringi seorang penyanyi amatiran. Jadwal pertunjukan kami berbeda, dan drama musikal masih menjadi pertunjukan paling favorite beberapa pengunjung.
Kami melepaskan genggaman tangan kami masing masing saat lampu panggung meredup. Menandakan bahwa pertunjukan yang kami lakukan benar benar usai. Aku berbalik keluar dari panggung, masuk kedalam ruang ganti sebelum meminta bayaranku hari ini.
"Savannah." Langkahku terhenti saat Mrs. Caroline menyebut namaku, aku menoleh, memandang seorang wanita paruh baya dengan rambut tersanggul rapih dan bibir yang dilapisi lipstik berwarna merah mencolok. Ia mengenakan dress merah ketat dan bulu bulu angsa yang nampak sedikit berlebihan untuk wanita seumur dirinya.
Ia atasanku, atau lebih tepatnya, Mrs. Caroline pemilik tempat ini, dan aku mendapatkan bayaran darinya. Aku mendekat, berdiri di hadapannya untuk menunggu apa yang ingin ia sampaikan.
"Di depan panggung ada penggemarmu, seorang lelaki tampan ... dan kaya" Mrs. Caroline menyentuh bahuku, nada suaranya sedikit direndahkan, aku tahu ia mata duitan, pasti ada sesuatu yang ingin ia katakan. "Ia memberiku beberapa dollar hanya agar aku memberi akses bertemu denganmu. Temui lelaki itu, namun bila ia ingin datang lagi, katakan ia harus menemuiku terlebih dahulu, kau mengerti?"
Aku menatapnya dan mengumpat di dalam hati, wanita ini benar-benar mata duitan. Bila bukan karena kesenanganku menari ballet dan kubutuhanku akan uang jajan tambahan, aku ogah untuk bekerja dengannya. Ia terlalu memanfaatkan pengunjung.
Lagi pula siapa penggemarku? Biasanya hanya seorang gadis kecil dengan ibunya yang meminta sebuah foto bersama, atau gadis kecil yang memberiku bunga dan hadiah. Selama ini aku tak pernah mendapat penggemar lelaki, mengingat acara drama musikal seperti ini terlihat memuakkan untuk orang dewasa. Hanya para bocah kecil, atau lansia yang sudi menonton acara seperti ini.
"Nah sekarang temui dirinya, dan .... " Carolline merogoh dompet merah muda yang ia genggam. Menyodorkan beberapa dollar padaku. Aku meraihnya, ini memang bayaranku hari ini "Aku lebihkan sedikit, karena penggemarmu memberiku banyak komisi," tambahnya dengan mengipkan sebelah matanya lalu berjalan pergi dengan berlenggak lenggok. Menggerakkan b****g teposnya yang sama sekali tak menarik.
Aku berjalan memutar untuk menuju ke depan panggung, aku tak pernah bertemu para penonton dengan mengganti pakaianku terlebih dahulu, bisa saja mereka bertemu denganku untuk berfoto. Hasilnya akan terlihat biasa saja jika aku mengenakan pakaian 'normal'
"Hai ... Anda mencariku?" Aku berucap lembut dengan memandang seorang lelaki yang tengah berbalik membelakangi tubuhku, ia mengenakan kemeja putih dan celana hitam panjang, dengan jemari tangan yang ia selipkan di saku kantung celananya. Dari caranya berpakaian, terlihat sekali bahwa ia memang orang kaya. Pantas Mrs. Caroline sesenang itu menyambut lelaki ini.
Namun aku seperti mengenal postur tubuhnya, tapi aku tak tahu ia siapa. Aku lupa.
Lelaki ini memutar tubuhnya, tersenyum dengan pandangan mata yang terjatuh padaku, sorot matanya masih sama---tajam dan sangat intens, dua kancing teratas kemeja putihnya ia biarkan terbuka, memperlihatkan leher dan rahangnya yang terlihat jenjang dan kokoh, ia terlihat panas, ditambah dengan postur tubuhnya yang sangat tegap. Aku menepis semua fikiran aneh yang berputar di kepalaku, aku tak seharusnya berfikir seperti itu. Tidak ketika aku sadar siapa lelaki di hadapanku.
Jason Javier.
Lelaki aneh sialan yang entah bagaimana caranya ia berada di tempat ini. Ia masih diam, dengan senyum memuakkan yang terukir jelas di bibirnya. Entah mengapa, aku tak merasakan ketenangan saat Jason menatapku, netra hitam pekatnya menampilkan suatu kegelapan yang tersirat. Seakan saat kamu menatap matanya, kau tak akan bertahan lama, ia seperti bisa membaca dirimu, bahkan seluruh jiwamu.
"Savannah .... " Ia berucap- lebih tepatnya bergumam kecil. Jason mendekat, mencoba memperdekat jarak yang cukup jauh di antara kami.
"Apa yang kau lakukan disini?" selaku cepat dengan menjaga jarakku dengannya. Disatu sisi aku merasa benar-benar aneh, bila ini suatu kebetulan, apa mungkin lelaki kaya dan dewasa sepertinya mengunjungi teater kecil seperti ini? Lagi pula mengapa ia ingin bertemu denganku? aku hanya mengenalnya, bukan berarti kita berteman.
"Penampilan yang menarik." Ia berucap dengan menatap panggung yang kini telah tertutupi tirai, pandangannya kembali terjatuh padaku, ia menatapku dari atas hingga bawah.
"Aku tak tahu kau bisa menari," ujarnya.
"Tuan Javier-"
"Tak usah seformal itu, kau sudah memanggilku Jason sebelumnya." Ia memotong perkataan yang belum sempat kuselesaikan. Aku tak mau ia merasa kami dekat, Atas apa yang terjadi sebelumnya, apa itu wajar? Ia seakan mengenalku padahal aku dan mom tidak mengenalnya.
"Terserah apa katamu ... " Aku bergumam kecil dengan mengalihkan pandanganku, berada di hadapan lelaki ini benar- benar menguji kesabaran. "Mengapa kau meminta untuk menemuiku?" sambungku dengan kembali menatap wajahnya.
"Kenapa kau terlihat marah?" jawabnya berbalik bertanya.
"Jason, aku bertany-"
"Aku juga bertanya Savannah"
Aku menatapnya dengan jengkel, merutuk kesal di dalam hati. Jason tertawa kecil, mengabaikan reaksiku yang menurutnya sesuatu yang lucu.
"Aku bercanda ... " Ia mengangkat kedua bahunya acuh, menetralkan gelak tawa yang terdengar dari bibir lelaki itu. "Aku datang ke sini, dan aku melihatmu, jadi aku menemuimu, bukankah itu sesuatu yang normal?"
Aku memandangnya dengan menyipitkan pandangan mataku, netra biruku memicing, aku tak sebodoh itu untuk mempercayai jawabannya. Aku mengetahui jelas tipe tipe pengunjung yang datang kesini. Tak mungkin Seorang Jason Javier, pengusaha muda terkenal yang bahkan diundang ke kampusku karena berbagai macam prestasinya datang kesebuah teater kecil seperti ini. Ini theater pinggir jalan. Sama sekali tidak terkenal dikalangan orang seperti Jason.
Aku berdecih kesal, lalu memutar bola mataku terang terangan di hadapan lelaki ini. Aku tak peduli ini sopan atau tidak. Ini bukan di wilayah kampusku. Dan kurasa kami sedang tidak berada di sebuah tempat yang formal.
"Manner," ucapnya datar dengan
Memandang mataku lekat. "Your attitude young Lady" ulangnya sekali lagi dengan tersenyum miring. Aku benci senyum itu, senyum Jason menunjukan sesuatu yang membuatku merasa bahwa ada hal lain yang ia fikirkan.
"Terserah apa katamu ... aku tak bisa berlama lama dan aku akan pulang sekarang karena ini sudah malam, Bila tak ada hal penting lagi yang akan kau katakan aku akan kembali kebalik panggung,"
"Aku akan mengantarmu pulang ... " Aku hampir memutar tubuhku saat perkataan itu meluncur dari bibirnya, aku menautkan alisku erat, sedangkan Jason tampak menunjukkan raut wajah tanpa emosi.
"Aku bisa pulang-"
"Aku bilang aku akan mengantarmu ... apa salahnya?"
Aku menarik nafasku panjang, lalu berbalik dengan mengabaikan pernyatannya tadi. Aku tak peduli, apa ia merasa seakan ia mengenalku? Maksudku, apa yang ia lakukan membuatku takut. Aku merasa ia seperti penguntit atau semacamnya. Lagi pula aku bisa pulang sendiri, itu lebih baik dibanding berada satu mobil dengannya.
Aku masuk ke ruang ganti lalu mengganti pakaian ballet yang sebelumnya kukenakan dengan celana jeans panjang juga mantel cokelat tebal, setidaknya ini bisa melindungi tubuhku dari terpaan angin malam. Aku memasukkan perlengkapanku tas selempang kecil yang kubawa, memakainya lalu berjalan keluar dari ruang ganti.
Biasanya aku pulang menggunakan taxi, jalan menuju rumahku cukup jauh dan ini sudah terlalu malam. Aku sedikit takut berjalan di malam hari sendirian. Tapi menerima tawaran Jason bukan pilihan, aku hanya berharap bisa mendapatkan taxi dengan cepat dan berpisah dengan lelaki itu.
Aku mendorong pintu bagian depan lalu membiarkan terpaan angin malam menerpa wajahku. Malam ini benar benar dingin, kurasa, akan turun hujan sebentar lagi.
"Aku menunggumu"
Aku tersentak dan hampir terjungkal saat menemukan eksistensi Jason yang kini bersandar pada sisi tembok, ia menegakkan tubuhnya, menghembuskan kepulan asap dari cerutu kecil yang terselip di sela bibirnya. Aku tak tahu ia seorang perokok.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.
"Aku sudah bilang aku akan mengantarmu pulang, Mrs. Carson," jawabnya dengan menekan kata di bagian akhir kalimatnya.
Aku menatap ke sekeliling, kufikir ia sudah pulang terlebih dahulu mengingat aku menghabiskan waktu yang cukup lama di ruang ganti, tapi ternyata ia masih di sini. Menunggu di pintu masuk utama para pengunjung.
"Aku bisa pulang sendiri," ucapku dengan memandang wajahnya. Aku tahu ia akan segera lekas berucap, jadi aku memotong perkataan yang belum sempat keluar dari bibirnya "Dengarkan aku Jason, Kau membuatku tak nyaman. Aku tak mengenalmu bahkan mom juga tidak mengenalmu, dan semua yang kau lakukan justru membuatku semakin takut pada-"
"Kau berbicara terlalu banyak silly." Jason berucap dengan kembali menghembuskan asap dari cerutu yang terselip di bibirnya, aku memundurkan tubuhku, menjaga jarakku dari asap yang ia hembuskan di udara.
"Kau tak akan mendapatkan taxi, sekalipun ya, kau harus menunggu lebih dari 30 menit. Dan hujan akan turun sebentar lagi"
Jason merogoh sebuah kunci dari saku celananya, menekan tombolnya yang membuat sebuah mobil berbunyi di depan sana. Itu mobilnya. Terparkir di sudut jalan sana.
"Masuklah ke mobil terlebih dahulu, aku akan menjelaskan beberapa hal disana," tambahnya cuek dengan berbalik menjauhiku, berjalan ke arah mobil hitamnya yang terparkir tak jauh di sudut jalan.
Aku menatapnya, mencoba menimbang-nimbang tawaran yang ia berikan. Ya, perkataannya benar, aku akan kesulitan mendapat tumpangan pulang, ditambah hujan akan turun sebentar lagi. Namun aku juga tak mau pulang bersamanya, berada di dekatnya masih terasa menakutkan bagiku.
"Bagaimana aku bisa percaya denganmu?"
Ia menghentikan langkah kakinya, memutar kepalanya hingga kini ia benar-benar menatapku, "Demi tuhan Savannah, apa aku terlihat seperti orang jahat?"
Ya, kau benar benar terlihat seperti seorang penguntit yang jahat.
Aku tersentak saat gemuruh petir tampak terdengar di atas sana, aku menghela nafas panjang, rasanya cuaca sangat mendukung diriku untuk masuk ke mobil sialan itu. Kakiku melangkah cepat, masuk lalu duduk bersebelahan dengan Jason. Aku tak memiliki pilihan, daerah disekitar sini sangat sepi dan aku belum juga menemui taxi, aku tak mau mengambil resiko untuk bermalam di dalam teater.
"Boleh kunyalakan radio?" Aku bertanya tanpa memandang ke arahnya.
"Tidak ... aku suka keheningan"
Aku menghela nafas kemudian memutar bola mataku dengan jenuh, typical lelaki membosankan.
"Kau bilang kau mau menceritakan tentang semuanya," ucapku lagi dengan memandang hamparan jalan melalui jendela mobil, jalanan di luar mulai basah. Tanda hujan semakin deras mengguyur.
"Tentang?"
"Semuanya Jason, mengapa kau dapat berada di sana. Mengapa kau dapat mengetahui siapa ibuku, mengapa kau dapat mengetahui rumahku bahkan sekalipun aku tak pernah mengatakannya padamu. Dan ... ibuku bahkan tidak mengenalmu, siapa kau sebenarnya?"
Ia terkekeh kecil, seakan semua hal yang kukatakan adalah sesuatu yang berlebihan. Mengapa ia benar-benar senang berbasa-basi?
"Sudah kubilang ... " Ia melirik kearahku melalui kaca di bagian atas mobil ini. "Aku hanya mampir ke teather itu dan aku melihatmu di sana, jadi aku menemuimu"
"Kau tahu bukan jawaban itu yang kuinginkan" Aku menoleh, memandangnya yang kini menatap lurus kehamparan jalan. Ia seakan mempermainkanku dengan jawabannya. Aku tahu, ia jelas mengerti jawaban apa yang sebenarnya kuinginkan.
"Bila kau ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi ... " Ia melirik kearahku beberapa saat, sebelum kembali melanjutkan perkataannya yang sempat tertunda. "Mengapa kau tidak tanyakan saja kebenarannya pada ibumu?"
Aku menautkan alisku, Jason memasang raut wajah yang serius. Seakan tak ada keraguan yang tersirat di sana. Lelaki itu menyalakan radio mobil dengan jemarinya, memutar sebuah lagu klasik membosankan dengan kembali memusatkan pandangannya pada stir kemudi yang sedang ia genggam.
Bagaimana mungkin aku bertanya pada mom bila reaksi wanita itu saja aneh saat mendengar nama Jason Javier? Mom terlihat frustasi dan langsung mengurung diri. Aku tak tahu mengapa, namun yang pasti, ada suatu rahasia yang tidak diceritakan mom padaku.
Mobil yang kutumpangi mulai memperlambat lajunya, berhenti di sebuah rumah yang tak asing lagi bagiku. Ini rumahku, dan lagi lagi, Jason benar benar hafal jalan pulang kerumahku tanpa aku memberitahunya.
"Terimakasih." Aku berucap dengan melepas belt pengaman yang melingkar di tubuhku, lalu membuka pintu mobil disampingku, lekas keluar dari mobil yang sebelumnya kutumpangi.
"Savannah" Aku menghentikan niatku untuk menutup pintu mobil. Aku memandang Jason, menunggu lelaki itu untuk menyampaikan apa yang ingin ia katakan. "Bila ibumu mengatakan bahwa ia tak mengenaliku, dapat kupastikan bahwa itu sebuah kebohongan"
Aku menatapnya tanpa mengucapkan sepatah katapun, menutup pintu mobilnya lalu berbalik untuk memasuki rumahku. Kali ini, aku kembali merasa bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.
.
.
.
»»»»»»»» To be continue ««««««««