Bibir Bastian terasa kelu karena ucapan kakeknya. Dia tak berani menjawab karena takut salah, bahkan mengecewakan sang Kakek. Hingga lelaki tua itu memanggil nama Bastian dengan suara agak tinggi.
"Bastian ...?"
Bastian menatap kakeknya kemudian menjawab, "Aku mendengarnya, Kek!"
"Bagus! Sekarang pergilah! Urusan orang tuamu itu gampang. Persipakan saja cincin untuk melamar Rinjani nanti malam!"
"Baik, Kek!" Bastian berlalu dari hadapan kakeknya. Sedangkan Usman mulai menghubungi kepala pelayan agar memanggil istri, anak dan menantunya. Mereka ditunggu di ruang kerjanya untuk membicarakan lamaran Rinjani yang dadakan.
"Halo, panggilkan istriku, dan kedua orang tua Bastian. Aku menunggu di ruang kerjaku, bilang penting agar mereka secepatnya datang!" titah Usman dalam sambungan telepon.
"Baik, Tuan!"
Lelaki yang rambutnya sudah memutih itu duduk dengan mengangkat satu kakinya ditumpukan pada kaki satunya. Pikiran Usman sedang melayang entah kemana. Hingga menit berlalu, lamunan buyar karema ketukan pintu.
Tok Tok Tok
"Masuk!" seru Usman dengan nada bicara tegas.
Pintu muai terbuka, istrinya datang bersama sang menantu. Sebelum pintu tertutup, datang Papanya Bastian.
"Bagus, tidak ada yang terlambat!" Usman berseru senang.
"Ada hal penting apa, Pa?" tanya David menatap lekat ke arah wajah keriput Usman.
"Duduklah, dulu!" titah Usman memberikan isyarat dengan dagunya.
Semua duduk dan siap mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Usman.
"Bastian sudah mendapatkan wanita pengganti Alesya!" Aku Usman dengan nada santai.
Namun kesan berbeda terlihat di ketiga orang yang sedang duduk menghadap Usman.
"Siapa?" tanya mereka hampir bersamaan.
"Kalian ini ternyata sangat kompak," puji Usman dengan kekehan khasnya.
"Rinjani, sahabat yang rela mengubur rasa cintanya kepada cucuku demi melihat sahabat lainnya bahagia," jawab Usman menatap bergantian ke arah istri juga kedua orang tua Bastian.
"Benarkah? Rinjani mencintai Bastian?" tanya Fira tak percaya dengan kenyataan yang baru dia dengar.
Usman mengangguk yakin, "Ya, dan malam ini kita akan datang melamar gadis itu. Bastian sedang aku suruh untuk memilih cincin. Harusnya dia beli sekalian dua, karena lusa hari pernikahannya," jelas Usman.
"Wah, aku bakal punya menantu seperfect Rinjani, untuk Bastian tidak bersikap bodoh dengan menyewa gadis bar-bar untuk menjadi istrinya," celetuk Fira asal.
"Kalau sampai itu terjadi, aku tidak akan pernah menganggap dia sebagai ahli waris," sahut Usman.
"Apakah kedua orang tua Rinjani sudah tahu dengan semua ini, Pa?" tanya David.
"Sudah. Aku sudah memberitahu Latif. Harusnya, kabar ini sudah sampai kepada istrinya.
"Bagus, kalau semua sudah setuju, kita doakan saja, pernikahan dadakan ini langgeng dan Bastian bisa menata masa depan dengan baik bersama wanita pilihannya," ucap Widia dengan senyum tipisnya.
Semua mengaminkan apa yang menjadi doa dan harapan Widia. Mereka tidak akan berpikir dua kali kalau, pendamping hidup yang dipilih Bastian adalah Rinjani. Karena mereka sudah mengenal baik wanita itu sejak kecil. Bahkan keluarganya juga dekat bagaikan saudara.
*
Malam harinya, di kediaman Usman sedang sibuk menata seserahan yang akan dibawa ke rumah Latif dan Almira. Semua orang sedang bersiap. Bastian pun tak kalah antusias karena sebentar lagi dia akan menjadi menjadi CEO muda yang sudah lama Kakeknya janjikan.
"Aku tidak bermaksud membuat dirimu menjadi pengganti Alesya, Jani. Tetapi, aku masih penasaran dengan kecelakaan yang dialami calon istriku, sampai dia meninggal," gumam Bastian sambil bersiap di depan cermin.
Di kamar lelaki tampan itu masih ada beberapa foto kebersamaan dengan Alesya yang sengaja di abadikan. Entah foto itu akan disingkirkan, atau tetap ditempatnya, meski Bastian sudah menikahi Rinjani.
Suara pintu diketuk membuat Bastian menoleh ke sumber suara. Lelaki tampan itu mulai berjalan ke arah pintu, lalu membukanya.
"Mama ...!"
"Kamu sudah siap, Sayang?"
"Sudah, Ma!"
Fira berjalan masuk ke dalam kamar sang putra. Kamar yang masih banyak menyimpan kenangan tentang Alesya.
"Boleh Mama bicara sesuatu?"
"Tentu saja, Ma!"
"Lusa kamu dan Rinjani akan menikah, bukankah lebih baik kalau foto yang masih ada kaitannya dengan masa lalu itu kamu simpan saja?"
Bastian menatap kondisi kamarnya yang masih ada beberapa foto mantan kekasihnya.
"Besok suruh orang untuk menyimpannya, Ma! Lagi pula, setelah menikah, aku akan tinggal di apartemen saja,Ma!"
"Terserah kau saja, Bas! Tapi menghargai perasaan Rinjani juga penting. Kamu pasti disuruh tinggal di sini dulu beberapa hari, setelah Kakek memberikan izin baru kalian pindah ke apartemen."
Bastian mengangguk, "Baik, Ma! Yang di apartemen, juga akan aku suruh seseorang untuk mengambil dan menyimpannya di suatu tempat."
"Iya, Bas. Apa kamu sudah menyiapkan cincin?"
"Sudah, Ma!"
"Kalau sudah, ayo kita turun dan bersiap ke rumah Rinajni."
*
Di sebuah ruangan ada seorang wanita yang bersiap sendiri untuk hari lamaran yang dadakan. Jika bukan Bastian, Rinjani tak akan mau untuk menjadi pengantin pengganti sahabatnya yang sudah tiada.
Karena yang meminta tolong adalah Bastian, lelaki yang paling dia cinta, Rinjani tidak berani menolak. Kebaya warna biru wardah menjadi pilihannya. Rambut yang dia tata sendiri sehingga membentuk riasan yang sempurna. Setelah ayahnya bicara mengenai kabar yang dia terima dari Kakek, Rinjani mulai meyakinkan hatinya.
Kalau semua yang terjadi padanya ini memang sudah jalan yang ditentukan Tuhan untuknya. Luka diwajahnya sudah kering dan dia buka perbannya. Berbagai alat makeup menutupi luka itu sehingga wajahnya terlihat semakin cantik.
Dibalik persiapan dadakan itu, ada rasa sedih yang belum bisa hilang dari lubuk hati Rinjani. Bahkan wanita anggun itu belum bisa lepas dari bayang-bayang kejadian kecelakaan yang baru beberapa hari lalu terjadi.
"Alesya, maafkan aku jika tempatmu aku yang gantikan. Ini juga bukan inginku, meski dalam hatiku sangat mencintai Bastian. Tetapi calon suamimu yang datang dan memintaku untuk membantu menyelamatkannya dari aturan yang sudah dibuat oleh sang kakek," ucap Rinjani menatap pantulan di cermin.
Rinjani berdiri kemudian menarik nafas dalam, entah kenapa dia merasa ragu dengan jalan yang sudah dia pilih, bahkan dia inginkan jauh hari. Tatapan Rinjani menoleh ke arah pintu yang diketuk.
"Masuk!" seru Rinjani dari dalam kamarnya.
"Sayang, keluarga Bastian sudah datang. Ayo kita turun!" Alamira tersenyum tipis ke arah putrinya.
Rinjani membalas senyum itu meski di dalam pikirannya berperang dengan kenyataan yang membuat Rinjani penasaran, kenapa kedua orang tuanya setuju dengan lamaran hingga pernikahan dadakan ini?
"Kamu sangat cantik, Sayang! Lusa saat tubuhmu terbalut gaun pengantin, akan lebih cantik," puji Almira dengan senyum tulus.
"Mama bisa aja, aku cantik siapa ibunya dulu dong?" Rinjani mencoba mengubah ketegangan yang ada dengan candaan.
Keduanya tertawa, kemudian mereka keluar dari kamar menuju lantai bawah yang diubah menjadi tempat indah untuk prosesi lamaran. Denting hells yang beradu membuat semua orang tertuju pada tangga. Di mana dua wanita cantik turun ke arah orang-orang yang menunggu.
Bastian merasa ada yang aneh dengan keadaan jantungnya. Berdebar lebih kencang dan tatapan matanya tak ingin pindah dari wanita berkebaya biru.
'Ada yang aneh. Ini tidak benar!' Bastian mencoba mengelak dengan keadaan hatinya.
Lelaki itu menghembuskan nafas panjang, menetralkan degup jantung yang kian kencang.
'Ingat dengan semua rencanamu, Bas!' Bastian terus membuat alarm agar hatinya tak berlarut masuk ke Rinjani.
Rinjani menyapa Kakek dan Nenek Bastian, kedua orang tua Bastian dan beberapa anggota keluarga yang ikut datang. Rinjani mendapat pujian karena kecantikannya merias diri. Wanita itu hanya tersenyum menanggapi.
"Rinjani, kami datang karena keinginan Bastian yang ingin melamarmu. Mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi kalau sesuatu insiden tidak terjadi," ucap Usman membuka obrolan.
"Untungnya, lelaki yang duduk di sana itu tidak menyewa wanita untuk mendapatkan haknya," sambung Usman sambil menunjuk Bastian.
"Papaku benar, Nak. Kami akan mengucapkan terima kasih karena kesediaan kamu untuk menjadi pendamping putraku. Maka, agar lebih meyakinkan hatimu lagi, biarkan Bastian mengungkapkan keinginannya di depan kami semua," ucap David memandang teduh ke arah Rinjani.
Lelaki paruh baya itu memberikan kode kepada Bastian agar bediri dan menyampaikan tujuannya, di depan semua orang.
Rinjani menatap ragu ke arah lelaki tampan yang menjadi sahabatnya itu. Bastian pun sama, tatapannya terarah kepada wanita yang dulu dia tolak cintanya demi seseorang yang menjadi sahabatnya.
Cinta segitiga yang rumit, hanya saja, atas kebesaran hati seorang Rinjani, Bastian dan Alesya bisa menjalin cinta yang cukup lama. Tanpa ada hambatan atau kesalahpahaman. Karena semenjak cintanya ditolak, wanita itu tak pernah menceritakan kepada siapapun.
Bastian mulai bicara agar acara cepat selesai dan dia juga merasa lega.
"Pertama, saya akan mengucapkan permintaan maaf kepada Om Latif dan Tante Almira, karena saya tiba-tiba menginginkan putrinya. Dan kurang ajarnya saya, Rinjani saya akan persunting karena tiadanya seseorang."
"Saya berani datang dan meminta Rinjani untuk menjadi istri saya, karena dulu dia pernah mengutarakan perasannya terhadap saya. Sayangnya, saat itu saya sudah punya wanita lain."
"Maka, dengan alasan inilah saya akan meminta Rinjani kepada Anda, Om Latif, saya akan menjaganya, saya juga akan belajar mencintainya, semoga tidak ada kesulitan karena kita sudah dekat sejak kecil."
Bastian menghentikan ucapannya, menarik nafas dalam karena dia semakin merasa gugup. Setelah lebih baik, dia mulai bicara kembali.
"Om Latif, maka di kesempatan kali ini, saya akan meminta putri kebangaan Anda untuk menjadi pendamping saya, tentu untuk selamanya."
Bastian mengucapakan semua perkataan itu dengan lantang. Seolah tidak ada beban kesedihan di hatinya. Nyatanya, lelaki tampan itu hanya memanfaatkan Rinjani sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan.
Latif ayah dari Rinjani berdiri, meraih microfon kemudian mulai berbicara menatap keluarga Bastian, secara bergantian.
"Bastian, aku juga baru tahu kenyataan jika putriku mencintaimu tadi siang. Untuk itu, aku tidak bisa mengambil keputusan mengenai jawaban atas semua keinginanmu itu. Maka, aku akan memberikan kesempatan putriku, untuk menjawabnya sendiri."
"Meski keluarga kita sudah saling mengenal bahkan dekat, tetapi semua keputusan masalah masa depan Rinjani ada di tangannya."
Lelaki paruh baya itu menoleh ke arah putrinya yang sejak tadi hanya menundukkan wajah.
"Bagimana, Jani?" tanya Latif membuat Rinjani menaikkan pandangan ke arah Papanya.
Rinjani menatap Papanya dengan tatapan bingung, seolah dia juga mulai gamang dengan keseriusan Bastian yang mendadak. Apakah Rinjani akan berubah pikiran?