"Ini sudah satu minggu sejak calon istrimu meninggal, Bas! Lalu, bagaimana dengan rencana pernikahanmu?" tanya Usman kakek Bastian.
Bastian hanya menatap kakeknya dengan tatapan sendu. Rasa berdukanya saja belum hilang. Kini, sudah ditanya mengenai pernikahan.
"Seperti yang sudah aku janjikan sejak awal, kalau tahta itu jatuh ditangan kamu kalau umurmu sudah dua puluh lima tahun dan kamu sudah memiliki pendamping," jelas Usman dengan tatapan lekat ke arah sang cucu.
"Soal pernikahan, apakah tidak bisa diundur, Kek? Setidaknya sampai seratus hari kematian Alesya. Bagaimana aku menjelaskan semua rencana pernikahanku kepada keluarganya? Mereka masih berduka, dan aku harus melanjutkan hidup dengan pesta pernikahan?"
Rentetan pertanyaan dari Bastian membuat semuanya terdiam. Benar, semua masih berduka, tetapi, keluarganya juga tak ada waktu lagi untuk menunda pernikahan. Karena sesuai perjanjian tertulis yang dibuat Usman.
"Lanjutkan pernikahan itu atau kamu selamanya tidak akan pernah menjadi pewaris utama keluarga kita, Bastian!"
Ucapan Usman bukan lagi sekadar peringatan, namun sebuah perintah yang harus segera dilaksanakan. David ayah Bastian seketika tegang. Bukan masalah harta dan takut miskin. Alasan Bastian dipilih menjadi pewaris utama karena, hanya putranya yang layak untuk menjadi seorang pemimpin.
Cucu lain dari Usman Prayoga dan Widia Larasati tak ada yang bisa bertanggung jawab. Mereka hanya tahu bagaimana hidup mewah dan bersenang-senang.
"Tapi, Yah?" David mencoba membantu Bastian untuk bernegosiasi dengan Usman.
"Tapi apa, Vid? Semua keputusanku sudah bulat sejak putramu lahir. Apa kamu lupa ingatan?" sanggah Usman dengan tatapan tak bersahabat.
Semua hanya diam, Widia nenek Bastian pun tak bisa mengubah keputusan suaminya. Apalagi sang anak. Usman adalah tipikal orang yang tegas dan perfect dalam segala hal.
"Baiklah, aku akan bawakan calon pengantin untuk pengganti Alesya, Kek!" Bastian berdiri kemudian meninggalkan semua orang.
"Bastian, mau kemana?" teriak Fira menatap khawatir ke arah punggung putranya yang sudah menjauh.
"Biarkan saja dia pergi! Aku ingin lihat, siapa yang akan dibawa untuk menggantikan Alesya!" Usman tersenyum tipis hampir tak terlihat.
'Jika dia dalam sepemikiran denganku, pasti wanita itu yang akan dibawa!' Usman bicara dalam hati.
*
Sedangkan Bastian merenung dalam perjalanan yang tak tahu dia akan ke mana. Galih sesekali hanya melirik dari kaca miror, tanpa berani bertanya apa masalah yang sedang dialami bosnya.
'Aku akan menemui Rinjani saja. Hanya dia yang bisa membantu masalahku sekarang. Kalau dia mau, aku pun bisa lebih mudah untuk menyelediki kasus kecelakaan itu.'
Bastian ke rumah orang tua Rinjani, setelah sampai, lelaki tampan itu di persilakan masuk oleh asisten rumah.
"Rinjani ada Bi?"
"Ada, Den. Silakan duduk dulu, saya panggilkan sebentar."
Bastian mengangguk, lelaki tampan itu beberapa kali menarik nafas kemudian menghembuskan secara perlahan. Berharap Rinjani mau menolongnya. Namun diballik itu dia juga ingin egois. Bastian ingin meyelidiki kasus kematian Alesya.
"Ha-hai Bas!" Rinjani berhenti di ujung tangga. Wanita itu merasa takut kepada sahabatnya karena kematian sahabatnya. Pasti ada beberapa orang yang menyalahkannya.
Hanya saja, kedua orang tua Rinjani tidak pernah menyinggung soal kecelakaan itu dihadapan putrinya. Tatapan Bastian tertuju pada wanita yang berdiri dengan perban di bagian wajah.
"Hai, kemarilah! Aku butuh bicara berdua denganmu!" Bastian menatap Rinjani dengan serius.
Rinjani melangkah mendekat, duduk di sofa single di depan Bastian. "Ada apa?"
"Maaf, aku belum sempat mengunjungimu lagi setelah kamu pulang dari rumah sakit," ucap Bastian penuh sesal.
"Iya. Tidak apa-apa. Aku tahu dengan kondisimu juga," jawab Rinjani.
"Apakah luka di wajahmu serius?"
"Masih belum kering, jadi memang harus diperban, sampai lukanya sembuh."
Asisten rumah datang membawakan minuman, sehingga obrolan ke duanya terjeda.
"Terima kasih, Bi!" Bastian tersenyum tipis ke arah Bi Asih.
"Sama-sama, Den." Bi Asih pergi ke dapur.
"Katakan Bas, selain ingin tahu keadaanku, sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja!" Rinjani tahu, kalau sahabatnya sedang kacau.
"Kakek baru saja memberitahu kalau pernikahanku tidak bisa dibatalkan. Dia ingin aku menikah, dan kamu tahu sendiri kalau Alesya sudah tiada," aku Bastian dengan nada bicara sedih.
Rinjani menatap Bastian dengan tatapan tak tega, wanita itu ingin sekali mengatakan kalau dia rela menjadi pengganti cinta sahabatnya. Hanya saja, dia malu untuk mengatakannya. Bagaimana kalau dia mendapatkan penolakan untuk ke dua kali?
Yang ada, dia tak berani menampakkan wajahnya di depan Bastian lagi.
"Masih ada beberapa hari sampai kamu menemukan wanitanya, Bas!"
Akhirnya, hanya kalimat itu yang bisa keluar dari bibirnya. Bastian menatap Rinjani dengan pandangan lekat yang membuat wanita itu gugup dan ingin lari dari situasi yang membuat dia mati kutu.
"Apa kamu masih mencintaiku?" tanya Bastian dengan penuh harap.
Dan bodohnya, Rinjani mengangguk lemah. Bastian tersenyum tipis saat mendapatkan jawaban.
"Kalau begitu, ayo menikah denganku!" Bastian melamar langsung tanpa ada rencana ini dan itu.
"Bercandamu itu tidak lucu!" Rinjani menatap kesal ke arah Bastian.
"Aku serius, Rinjani! Kemana aku mencari calon istri yang tinggal menghitung hari?" tanya Bastian dengan tatapan meyakinkan.
"Tapi, bagaimana ke dua orang tua kita saat mereka tahu kalau kita akan menikah?" tanya Rinjani dengan tatapan bingung.
"Masalah itu aku yang akan urus. Yang penting kamu setuju dengan pernikahan ini dulu. Urusan orang tua, Kakek yang akan bicara," jelas Bastian.
Rinjani terdiam, saking kagetnya dengan ajakan menikah yang dadakan, wanita itu langsung meminum jus hingga sisa sedikit.
"Bagaimana? Apakah kamu bersedia menjadi istriku?" tanya Bastian mengulang pertanyaannya.
"Jika Kakek dan keluarga kita setuju, aku juga setuju, Bas!" Rinjani memang masih mencintai lelaki tampan ini. Hanya saja, dia tak akan menjatuhkan harga dirinya untuk rasa cintanya.
Pernikahan untuk seumur hidup, dan Rinjani ingin langkahnya mendapat restu semua keluarga. Dia tidak ingin egois meski cintanya kepada Bastian begitu besar.
"Kalau begitu, aku akan bicara dengan Kakek dan keluargaku. Jangan kaget, kalau nanti malam, kami datang untuk melamarmu secara resmi!" Bastian bediri kemudian melangkah mendekat ke arah Rinjani.
Tatapan ke duanya beradu, Rinjani seolah terhinoptis dengan mata hitam bak jelaga itu.
"Persiapkan dirimu! Aku pergi dulu!" Bastian menepuk pelan pucuk kepala Rinjani sebelum akhirnya dia pergi dari rumah megah itu.
Setelah Bastian tak terlihat lagi, Rinjani menoleh dengab tatapan berkaca-kaca.
"Mimpikah ini, Tuhan?"
Rinjani duduk, wanita itu bingung ingin melakukan apa. Badannya gemetar dengan air mata berlinang.
'Salahkah aku menjadi wanita pengganti dalam pernikahan sahabatku yang sudah tiada? Apa yang akan dikatakan oleh orang tua mendiang Alesya saat pelaminan putrinya, aku yang menduduki?'
Rinjani merasa bersalah, tentu saja. Siapa yang tak sedih dengan kematian sahabatnya. Apalagi, dia juga akan menjadi pengantin pengganti.
'Alesya, semua ini bukan mauku. Bastianlah yang ingin aku menggantikanmu,' ucap Rinjani dalam hati.
*
"Ada apa? Kenapa kamu datang ke mari?" tanya Usman sambil memegang cerutunya.
"Aku sudah mendapatkan calonnya, Kek!" Bastian duduk di kursi yang ada di depan sang Kakek.
"Siapa orangnya?"
"Rinjani!"
"Kau yakin?" tanya Usman menatap lekat sang cucu.
Bastian mengangguk. "Aku sudah bicara dengannya, Kek!"
"Dan dia menyetujuinya. Menurutmu, kalau tidak ada perasaan terhadapmu, apakah semua teman mau berkorban untukmu?" tanya Usman dengan senyum tipis pandangan memicing ke arah Bastian.
"Dia memang mencintaiku sejak dulu, Kek. Hanya saja, aku tidak mencintainya. Aku lebih memilih Alesya dibanding dia," jawab Bastian
"Kau ini lelaki si alan! Sudah menolak cinta Rinjani malah pacaran dengan teman wanita satunya! Setidaknya jaga perasaan wanita Bas!"
"Lupakan masalah perasaan, Kek. Aku ingin Kakek menghubungi ke dua orang tua Rinjani kalau malam ini kita akan ke rumahnya untuk melakuan lamaran."
"Jadi, kamu yakin dengan Rinjani?" tanya Usman dengan kekehan khasnya.
"Yakin, Kek! Aku akan menikahinya karena hanya dia yang bisa menolongku. Aku tidak percaya dengan wanita lain."
"Baiklah kalau kamu yakin, kita akan bicara lagi nanti setelah Papamu kembali! Sekarang, aku akan menelfon kedua orang tua Rinjani dulu."
Usman mengambil ponselnya mencari kontak orang tua Rinjani. Sebenarnya, lelaki tua sejak dulu ingin melihat Bastian menikah dengan wanita itu. Hanya saja, cucunya memilih Alesya sebagai pendamping hidupnya.
Nyatanya takdir seseorang tidak ada yang tahu, Bastian harus kehilangan wanita yang dicintainya satu minggu sebelum hari pernikahannya. Dan kejamnya takdir, lelaki itu memilih sahabatnya menggantikan mempelai wanitanya untuk tercapainya sebuah tujuan.
Adilkan untuk Rinjani? Menikah dengan lelaki yang dia cinta hanya untuk sebuah misi. Apakah Bastian akan mencintai Rinjani dengan sepenuh hati, atau hanya menjadikan alat keberhasilan untuk sebuah impian.
"Selamat siang, Latif!" Suara Kakek menyapa lembut indra pendengar papanya Rinjani.
"Siang, Tuan Usman. Ada apa? Tumben sekali siang begini Anda menghubungi saya?" tanya Latif terdengar heran.
"Pernikahan Bastian akan terus kami lakukan meski Alesya telah tiada, Latif. Setelah pembicaraan dengan Bastian, kami sepakat memilih putri Anda sebagai calon menantu kami, Latif."
Sejenak hening, dari Latif pun tak ada jawaban apa pun. Hingga Usman memanggil nama ayah kandung Rinjani untuk memastikan kembali.
"Latif ...."
"Iya, Tuan. Saya mendengarnya. Hanya saja, saya tak siap dengan permintaan Anda," jawab Latif.
"Iya, ini memang mendadak. Dan aku lebih setuju kalau cucuku menikahi putrimu daripada menikahi wanita lain, yang belum jelas latar belakangnya," jelas Usman dengan nada bicara serius.
"Apakah Bastian sudah bertemu dengan putriku, Tuan?" tanya Latif.
"Sudah. Hal yang sebenarnya adalah, Rinjani memandam rasa kepada Bastian, Latif! Jika kamu menolak, maka kebahagiaan putrimu akan sirna!"
"Apa maksud Anda Tuan Usman?" Latif merasa tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh lelaki tua yang masih punya karismatik itu.
"Kebenaran mengenai perasaan Rinjani terhadap Bastian, Latif! Malam ini, aku dan ke dua orang tua cucuku akan datang ke rumahmu! Sampai jumpa!"
Usman mengakhiri percakapan lewat telepon. Tatapan matanya tertuju kepada sang cucu yang hanya diam mendengarkan.
"Jika Rinjani menjadi pilihanmu, mau sehancur apa perasaanmu sekarang, jangan pernah membuat dia terluka untuk ke sekian kalinya, Bas!"
Usman sedang memberikan ultimatum kepada cucunya.