Ingatlah aku, cinta
Bidadari mu yang terluka..
Jesen menarik nafas sebelum melanjutkan langkah. Tepat seperti perkiraannya, Angel dan Dinda sudah tiba di tempat mereka berjanji akan bertemu. Kedua gadis itu tampak asik bicara. Sepertinya Dinda berhasil membuat Angel melupakan kesedihannya. Bahkan kedua gadis itu sudah memesan makanan. Angel terlihat tertawa gembira dengan mulut penuh.
"Kalian udah habisin semua?" Jesen memasang gaya shock, kedua tangan memegang kepala dengan mulut terbuka.
Angel dan Dinda yang melihatnya mengerjap, kemudian kedua gadis itu tertawa karena tingkah konyol pria berusia dua puluh lima tahun itu.
"Masih banyak kok, bang." Tawa kecil masih terdengar dari gadis blasteran Danish-Indonesia itu. Angel berdiri dan memeluk Jesen. "I missed you. Angel kangen bang Jesen." Angel mengurai pelukannya. "Abang nggak berubah, masih ganteng." Angel memandang takjub pria di depannya yang terlihat makin dewasa dan tampan.
Jesen terkekeh. "I miss you more." Pemuda tampan itu mengacak sayang rambut pirang Angel. "Angel juga nggak berubah. Pipinya masih chubby." Jesen mencubit pipi gembil Angel gemas.
Sementara Dinda hanya tersenyum manis melihat keakraban di depannya.
"Kalian nggak mau duduk?" Tanya Dinda. Gadis itu kembali menyuap es krim yang masih tersisa di gelas. Menepuk kursi kosong di sebelahnya untuk di duduki Jesen.
Jesen duduk di kursi kosong di seberang Angel, di sebelah tunangannya. Angel juga kembali ke kursinya. Hening memenuhi mereka. Jesen tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Dia yakin, Angel menunggunya untuk bicara.
"Honey..." Dinda menggenggam tangan besar Jesen. Gadis itu meminta Jesen menjelaskan pada Angel tentang apa sebenarnya yang terjadi pada Ken, dengan gestur tubuhnya.
Jesen menghembuskan nafas berat, pemuda itu menatap Angel yang sedang mengaduk es krimnya.
"Transient Global Amnesia..." Jesen menjilat bibirnya sebelum meneruskan. "Vonis dokter buat Ken-aro satu setengah tahun lalu..."
Angel menatap Jesen lekat tanpa berkedip. Seolah takut kalau dia tertinggal apa yang akan dikatakan Jesen kalau dia melakukan gerakan itu.
"Gilang udah bilang kan sama Angel kalo Ken-aro kecelakaan dua tahun lalu?"
Angel mengangguk. Gadis itu mencengkram erat sendok es krimnya.
"Ken-aro kritis trus koma delapan bulan." Jesen meneguk ludah kasar, rasanya sulit untuk menceritakan pada Angel tanpa membuat gadis itu merasa bersalah. Angel pasti menangis setelah mengetahui keadaan Ken. Lihatlah matanya yang sembab itu. Jesen tidak tega untuk meneruskan ceritanya.
"Honey..."
Genggaman tangan Dinda yang menguat membuat Jesen menatap calon istrinya itu.
"Angel berhak tau."
Jesen mengalihkan tatapannya pada Angel dan terkejut melihat gadis itu sudah berlinang air mata.
"Should I?"
Dinda mengangguk. "Just tell her. She deserves to know."
"Lanjutin aja. Angel nggak pa-pa kok." Angel mengelap ingusnya menggunakan tissue yang tersedia di atas meja. "I'm fine."
Jesen memejamkan matanya sejenak, kemudian melanjutkan ceritanya.
"Pas sadar Ken-aro langsung nanyain Rasya. Dia mengira kalo dia bangun setelah pingsan karena kecelakaan Rasya." Jesen menatap Angel yang terus menangis. Hati-hati pemuda itu meneruskan ceritanya. "Kata dokter Ken mengalami TGA. Dia trauma makanya otak depannya nolak buat ingat."
Angel menggeleng. Gadis itu merebahkan kepalanya di meja dengan beralaskan kedua tangannya. Dia berusaha meredam tangisnya.
Jesen menggenggam tangan gadis berambut pirang itu. Sungguh dia tidak tega melihat mata amber itu terus mengeluarkan air mata.
"Ngel, everything is okay. Ken-aro just fine as you see."
"But he didn't remember everything happened before that accident." Angel menyeka air matanya. "He didn't remember me." Lanjutnya lirih.
Telinga Jesen yang memiliki pendengaran tajam mendengarnya. Pemuda itu menunduk luruh.
"But it's the best." Senyum terbit di bibir peach itu. "He'll happy with no memories bout me."
Bulir bening kembali menuruni pipi mulus Angel. Mengapa sangat sakit mengatakan hal itu? Menyadari Ken tidak mengingatnya mengapa membuat dadanya serasa ditusuk ribuan jarum tak kasat mata? Angel menarik nafas panjang. Mungkin benar ini yang terbaik. Ken tak perlu berselisih dengan ibunya lagi kan?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Baby honey...
Ken bergerak gelisah dalam tidurnya. Keringat membanjiri tubuh tertutup selimut itu.
Baby honey, gendong!
Gerakan Ken makin tak teratur. Selimut yang menutupi tubuh toplessnya bahkan terjatuh ke lantai. Pemuda itu menarik nafas berat beberapa kali sebelum akhirnya terbangun dengan kepala yang terasa berputar. Pusing yang selalu menyergapnya setiap kali mimpi itu datang.
Pemuda itu memijit pelipisnya yang berdenyut. Mengambil air minum yang selalu tersedia di nakas, dan meminumnya sampai separuh gelas. Ada sedikit kesegaran ketika air dingin itu merembes di tenggorokannya. Pusingnya mulai berkurang. Ken kembali merebahkan tubuh lelahnya di tempat tidur tanpa selimut. Terlalu malas untuk mengambil kain hangat itu yang berserak di lantai. Toh dia tidak melanjutkan tidurnya lagi. Kantuknya hilang setelah mimpi itu.
Ken memejamkan mata birunya sejenak, berusaha mengingat potongan-potongan mimpi yang selalu datang di tiap tidurnya itu. Mimpi yang sama. Seorang gadis yang selalu memanggilnya dengan panggilan Egha untuknya. Tapi Ken tetap yakin, gadis di mimpinya bukan Egha. Dia hapal bagaimana suara gadis yang mengaku-ngaku sebagai tunangannya itu. Dan suaranya sangat berbeda dengan suara gadis dalam mimpinya. Seandainya bayangan gadis itu nyata, bukan hanya siluet saja. Ken pasti tidak akan penasaran seperti ini.
Apakah gadis itu ada hubungan dengannya? Mungkin saja. Tapi siapa? Gadis itu bukan Rasya. Kembaran Egha itu terlalu pemalu untuk bermanja-manja dengannya.
Ken membuka mata. Memijit pelipisnya yang kembali berdenyut karena terlalu berusaha mengingat memorinya yang hilang. Dia harus mengingatnya. Karena ada sesuatu yang penting di sana. Hatinya mengatakan itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Angel mengerutkan hidungnya. Bibir mungil itu juga mengerucut. Hari ini dia janji akan menemani Dinda untuk fitting busana pengantinnya. Tapi dia bingung harus mengenakan baju apa.
Sekali lagi Angel mengobrak-abrik isi walk-in-closetnya dan gadis itu menemukan sebuah sweater yang membuatnya harus menggigit bibir menahan sesak. Sweater berwarna merah pemberian Ken waktu di pantai Pangandaran waktu itu, sepasang dengan sweater pemuda itu. Ternyata dia masih menyimpannya. Angel membawa sweater ke dadanya, memeluk erat.
Dia memang sudah berdamai dengan hatinya dan menerima kenyataan. Toh dia tak berharap kalau Ken masih memiliki perasaan seperti dulu padanya. Lagipula, dia pulang ke Indonesia karena permintaan Dinda yang menginginkannya menjadi salah satu bridesmaid di pernikahannya nanti. Dan dia akan kembali ke Belanda lagi setelah acara pernikahan selesai. Tapi mengapa rasanya tetap menyakitkan? Mengapa hanya dia yang dilupakan Ken? Apakah trauma pemuda itu karenanya?
Angel menggeleng mengusir pikiran buruk itu. Dia harus bersiap segera. Kak Dinda akan menjemputnya sebentar lagi.