DERAP langkah kaki-kaki yang berlari menggema di lorong rumah sakit. Suara yang saling bersahut-sahutan dari kaki yang telanjang disertai teriakan dengan nada tinggi tak beraturan kini mulai akrab di telingaku. Belum lagi jika salah satu dari mereka berhenti dan mulai berbicara kepadaku. Pandangan mereka aneh, percakapan kami tidak jelas, membuatku lebih banyak diam memperhatikan alih-alih menanggapi. Pasalnya, meski mereka melempar pertanyaan normal seperti apa kabar, siapa namamu, apa yang sedang kau lakukan dan aku menjawabnya dengan kalimat yang tepat, mereka hanya akan menimpalinya dengan tertawa dan kemudian berlari lagi di lorong, seolah mendadak lupa. Ah, dasar orang gila.
Meski tidak semua orang gila bersikap liar dan agresif, tetapi kebanyakan dari mereka memang membuat para perawat sakit kepala. Beberapa dari mereka menjadi gila karena keinginan yang tidak dapat terpenuhi, beberapa lagi menjadi gila karena kenangan yang menyakitkan dan trauma yang tidak kunjung dapat disembuhkan, sedangkan sisanya menjadi gila karena penyakit bawaan. Mungkin aku masuk ke dalam kategori yang terakhir, gila karena penyakit bawaan, yang entah dibawa oleh siapa.
Louis berkata bahwa aku adalah seorang pengamat yang baik sejak kami bertemu. Aku pandai dalam melihat, menilai dan bahkan menyimpulkan sesuatu, termasuk menilai sebuah situasi maupun perasaan seseorang. Namun ketika pandanganku bertemu dengan netra gelap milik pria – detektif – aneh itu, aku tidak bisa melihat apapun di sana. Wajahnya terlihat tegas, tetapi ekspresinya lembut. Bibirnya merah muda, tidak seperti kebanyakan pria yang ada di kota ini. Mungkin ia tidak suka merokok dan sepertinya bukan pria yang pandai dalam bercinta. Detektif itu tampak tidak menggairahkan.
Rambutnya kecokelatan khas orang-orang Eropa, potongannya cukup pendek dan rapih. Sama rapihnya dengan pakaian yang sekarang ia pakai. Lihat saja, ia bahkan menurunkan pergelangan kemeja abu-abunya sampai bawah. Terlihat formal dan disiplin. Celana bahan hitamnya lurus tanpa lipatan seperti disetrika berulang kali. Lagi, dia menggunakan sepatu hitam yang mengkilap dan bersih. Benar-benar perfeksionis. Dan dengan penampilan tersebut, pemilik perusahaan mungkin akan langsung merekrutnya sebagai karyawan teladan selama beberapa pekan. Menurutku, dia masuk ke dalam tipikal anak buah penurut yang mudah digoyahkan. Kira-kira begitulah yang kupikirkan tentang dia, sampai akhirnya kutahu bahwa semua penilaianku tentang dia tidak ada yang benar.
"Rokok?"
Aku tercenung untuk beberapa saat begitu sampai di depan salah satu kursi taman, tempatnya duduk menungguku daritadi. Wajah polos itu benar-benar bisa berkamuflase rupanya. Ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemejanya dan memainkan korek gas dengan sangat apik. Seperti sedang mempertontonkan sebuah atraksi korek api, menarik atensi, sebelum kemudian benda kecil yang sudah dibakar itu dihisap dan asap mengebul di sana, mengenai sisi kiri wajahku yang masih diam memandanginya.
"Bagaimana dengan minum?"
Aku masih tidak menanggapi dan menatapnya dengan ekspresi apakah – kau sudah – gila – tuan – pria – aneh kepadanya.
Dan pada detik selanjutnya, dia kembali membuka suara. "Apa kau akan terus berdiri di sana sampai kiamat?"
Aku mendengus pendek dan menatapnya sinis. Pria ini suka sekali bicara. "Aku tidak akan bicara apapun kepadamu. Jadi, enyahlah dari hadapanku!"
Baru saja tubuhku berbalik, hendak meninggalkannya, tiba-tiba saja tubuh tinggi milik detektif itu bergerak menghalangiku. Terlalu dekat posisinya berdiri, hingga aku dapat mencium aroma dalam yang mungkin berasal dari parfum atau krim rambut di tubuhnya. Seperti blueberry, ditambah dengan anggur segar dan beberapa buah lainnya. Entahlah, apakah ada aroma bunga juga di dalam parfumnya?
"Namaku Dante." Kali ini pria itu hanya berdiri menghalangi jalan, tidak ada kontak fisik yang terjadi di antara kami sampai kemudian pria muda yang tampak seumuran dengan Louis itu menyodorkan tangannya kearahku. Apakah dia sedang bercanda sekarang? "Kurasa aku tidak bisa memulai ini dengan cara yang lebih baik. Uhm, setidaknya aku mencoba."
Satu-satunya persamaan yang kami miliki adalah ternyata dia juga tidak suka berbasa-basi. To the point sekali. Namun sebagai seorang polisi – terutama detektif – kota, sifat itu mungkin akan menjadi titik kelemahan terbesarnya. Ia benar-benar amatiran yang payah. Akupun menarik napas panjang sebelum kemudian menyilang kedua tanganku di dada dan mengangkat satu alis di hadapannya, menantang. "Dengar, aku ini orang gila. Inilah alasan mengapa aku berada di tempat terkutuk ini. Bisakah kau memahaminya? Tidak akan ada yang mempercayaiku. Entah itu perawat, dokter bahkan polisi sekalipun. Manusia hanya ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar, bukan kenyataan atau kebenaran yang sesungguhnya."
Aku bahkan mengulang dan menekankan kata-kataku di depan pria bodoh itu agar dia kembali berpikir dengan otak besarnya. Entah aku bicara atau tidak, mereka pasti akan tetap membawaku ke persidangan. Menjebakku dengan semua tuduhan tak mendasar hanya karena aku ada di sana, menyaksikan semua kematian yang tidak benar-benar kuinginkan. Bahkan Louis yang sudah beberapa bulan mendengar ceritaku saja, tidak sepenuhnya percaya. Bagaimana dengan detektif yang baru kutemui ini, dia bahkan berpihak pada kepolisian yang mungkin sengaja dibayar oleh keluarga Ethan untuk secepatnya menggiringku ke penjara.
"Tapi kau tidak gila," katanya dengan sangat jelas.
Membuat kedua alisku bertaut dalam dengan cepat. Aku mencoba mengulang kalimat itu dalam pikiranku sendiri, rasanya terdengar sangat aneh dan membingungkan.
"Kau bisa menjawab pertanyaanku dengan sangat baik." Ia menjelaskan. Kata-katanya lugas dan meyakinkan, tapi aku tidak ingin goyah sekarang. "Kau berbicara seperti orang sehat dan kupikir kau memang tidak sedang sakit, Ms. Arabelle. Seseorang pasti akan mempercayaimu jika kau memang bisa membuktikannya."
Pandangan kami bertemu, tapi aku tidak dapat mengartikan tatapannya yang begitu intens dan dalam.
"Aku akan mempercayaimu jika kau bisa meyakinkanku."
Aku tertawa. Suaranya nyaring dan tinggi, mungkin akan terdengar dipaksakan pada awalnya. Namun aku benar-benar tertawa setelah mendengar ucapan Dante. "Kau mempercayaiku? Ck! Ini gila. Apakah kau jauh-jauh datang ke sini hanya untuk melihatku dengan tatapan meremehkanmu itu lalu bersikap sebagai pahlawan, padahal sebenarnya yang kau lakukan adalah membodoh-bodohiku?"
"Aku sungguh berpikir bahwa kau tidak gila."
Dari sekian banyak pembelaan, mengapa hanya sebaris kalimat ambigu itu yang keluar dari mulutnya? Aku bahkan tidak dapat menilai dia serius dengan ucapannya atau tidak. Namun untuk pertama kalinya, sensasi menenangkan itu muncul di dalam tubuhku. Syaraf dan otot ditubuhku pastilah telah menerima kata-kata penuh tipuan itu dengan sangat buruk, sehingga aku merasa lebih baik sekarang. Sial!
Pria dengan mata cokelatnya yang khas itu pun melihat ke bawah sesaat. Menangkap rerumputan basah yang mengitari sepatu-sepatu bersihnya. Mungkin dia akan khawatir dengan tanah yang mengotori sepatunya atau sesuatu dan kurasa –
"Aku melihat catatanmu dan mengetahui bahwa kau disiksa selama ini." Wajahnya mendongak pelan, menatapku dengan perlahan. "Bukankah ... itu menyakitkan, Ivana?"