"Lebih baik diam dan menghampus dendam tak lagi bicara akankah Makin terluka~~~~"
***
"Marvel, istri kamu suruh di rumah ajalah nanti kecapean enggak hamil-hamil malah," ucap Dian kepada Shabiya. Mereka hari minggu besok memustukan untuk ke Villa ke luar ga mereka di daerah puncak. Tapi, mertuanya Dian melarang Shabiya untuk ikut dengan alasan nanti kecapean. Bhiya hanya diam menunggu respon suaminya, kalau memang dia tidak boleh ikut ya tidak apa-apa Asalkan dia boleh pulang ke rumahnya sendiri.
"Gimana, Bhiy? Kamu enggak papa kalau enggak ikut?" tanya Marvel membuat Bhiya kecewa. Ia Kira suaminya akan membelanya di hadapan mereka semua. Dia melirik Mario yang tersenyum sinis kepadanya, tapi dia berusaha untuk sabar dan tetap tersenyum tulus kepada suaminya.
"Enggak, Papa kok, Mas kalau emang Itu yang terbaik menurut, Mas dan juga Mama. Tapi, aku boleh pulang aja ke rumah orang tuaku aja? Aku bosen kalau di sini enggak ada orang, Mas," ucap Bhiya.
"Kamu ngapain pulang? Mau ngadu sama orang tua kamu karena enggak boleh ikut Kita ke Villa. Mau jelek-jelekin keluarga Kita di kampung kamu?"
"Astagfirullah, enggak kayak gitu,Ma. Aku cuma bosen aja kalau nanti kalian enggak ada di rumah aku harus ngapain?"
"Ya kamu 'kan bisa bantuin pembantu buat beres-beres rumah. Makanya kamu Itu hamil. Biar suami kamu juga Makin sayang sama kamu." Pembahasan Itu lagi yang makanya bawa padahal dia bukan tidak mau hamil memang Allah belum memberikan keturunan untuknya.
"Aku juga maunya hamil, Ma tapi aku udah usaha belum juga dapet tanda-tanda hamil."
"Udahlah, Mah enggak usaha bahas Itu mulu nanti Bhiya malah makin stress. Yaudah, Bhiya kamu enggak usah pulang ke rumah kamu ikut Kita aja ke Villa liburan."
"Dih, Kak. Dia Itu biar di rumah aja! Ngapain si diajak juga. Enggak muat mobilnya, Kak."
"Kakak biar berdua sama Shabiya bawa mobil, kamu sama istri dan Mama."
"Apa-apaan sih masa lo berdua sama istri lo sedangkan gue sama Mama."
"Mario kamu apa-apaan sih masa ngajak Mama aja kamu perhitungan," ucap Dian sewot karena anaknya malah tidak ada yang menganggapny.
"Bukan perhitungan, Mah. Tapi, Kakak Aja berdua sama istrinya aku juga mau berduaan sama istriku. Lagian, Mama sama Kakak Aja lah Kakak kan belum punya anak. Istrinya hamil Aja belom."
"Mario enggak ada hubungannya sama sekali. Kenapa kamu malah iri sama Kakak," ucap Marvel kesal dengan adiknya. Mario Itu selalu seenaknya sejak dulu.
"Ah serahlah!" Mario meninggalkan meja makan dari sana. Seakan makan mereka setiap harinya tidak pernah nikmat karena selalu diisi dengan keributan dan mereka menganggap semua karena Bhiya.
"Maafin, suamiku ya Ma aku susul Mas Mario dulu," pamit Veni dari hadapan mereka semua.
"Shabiya kamu kenapa sih bikin keluarga saya Makin rumyam astaga Bhiya nyesel Saya jadinya ngangkat kamu jadi menantu Saya kalau ujung-ujungnya bikin masalah keluarga saya mulu, Bhiy." Bhiya hanya diam tidak tahu harus mengatakan apa, Bhiya juga tahu semua salahnya tapi kenapa selalu dia terus yang disalahkan.
"Maafin, Bhiya, Mah."
"Mah udahlah ini perihal sepele aja kalau emang Mario enggak mau ya Mama kan bisa sama aku. Enggak usah salahin, Bhiya terus, Mah. Bhiya emang salah tapi yaudahlah mau gimana lagi kan udah terjadi, Mah."
"Ya makanya kamu bilangin istri kamu terus. Coba Aja tadi kamu nurut Bhiya di rumah aja enggak usah segala jawab harus ke rumah orang tua kamu. Lagian kamu juga mau ngapain ke sana. Bikin malu aja tahu kalau kamu belum hamil juga. Kalau udah malu yang nanggung siapa? Keluarga Kita Bhiya. Kamu mikir enggak sih!"
"Mah udah, Mah. Enggak usah salahin, Bhiya terus. Kasihan dia aku enggak bela Mama aku juga enggak bela Bhiya tapi ya udah aku udah bilang enggak perlu dibahas lagi itu udah masa lalu, 'kan."
"Masa lalu tapi kesalnya Mama Masih sampe sekarang tahu enggak kalau lihat Bhiya bawaannya tuh Bhiya sumber masalah mulu."
"Maafin, Bhiya, Mah." Bhiya bangkit dari duduknya tidak kuat mendengar sindiran Ibu mertuanya terus menerus.
"Tuhkan ... Tuhkan ... Kalau dibilangin orang tua malah pergi. Kayak gitu gimana mau pinter, istri kamu mau coba ngelawan Mama Itu, makanya main pergi Aja," ucap Dian kesal. Bhiya pergi dalam keadaan menangis, ini bukan kemauannya tapi selalu saja dia yang disalahkan. Dia juga punya hati punya rasa sakit juga kalau terus menerus disalahkan seperti ini.
"Udahlah, Mah. Makan aja sekarang enggak usah marah-marah mulu."
"Hmm...." Marvel dan Dian melanjutkan makan berdua. Marvel juga tidak berniat mengejar Bhiya paling juga Bhiya ke kamar jadi biar nanti aja dia urus istrinya nanti juga pasti baikan lagi.
"Gimana sama perusahaan, Vel?"
"Baik-baik aja, Mah."
"Inget perusahaan Itu harus kamu jaga. Oh iya adik kamu juga ajarin untuk ada diposisi kamu biar nanti dia ajarin anaknya kalau udah lahir. Biar perusahaan Kita turun temurun."
"Kenapa harus anaknya Mario sih, Ma. Akukan juga bisa handle Itu sendiri. Lagian perusahaan cabang aja Mario Masih suka keteteran gimana di kasih perusahaan pusat."
"Ya suruh siapa kamu enggak punya anak juga. Wajar kalau nanti jatohnya ke tangan anaknya Mario."
"Aku Masih bisa urus Itu sendiri biarin Mario pegang cabang."
"Terus kalau kamu nanti enggak ada siapa yang megang perusahaan pusat kalau adik kamu enggak diajarin dari sekarang."
"Mama doain aku cepet, Mati?"
"Ya enggak gitu. Kamu tahu kan perusahaan Itu susah banget dibangun kalau salah sedikit hancurnya bisa fatal. Kamu mau jadi gembel."
"Enggak mungkin Kita jadi gembel. Perusahaan Itu enggak akan bangkrut selama Masih aku yang pegang perusahaan Itu dan Mario tetap di perusahaan cabang."
"Tergantung kamu punya anak atau enggak. Kalau kamu sampe tua enggak punya anak terpaksa perusahaan Itu Mama kasih ke Mario selama mama Masih hidup."
"Mama apa-apaan sih. Aku ini anak pertama semua yang Bantu Papa Itu aku. Mama inget waktu Mama nikah sama Papanya Mario perusahaan Kita hampir berantakan juga, Ma. Mama mau kalau nanti perusahaan Itu dipegang Mario juga sama kayak dipegang Papanya."
"Mama lebih tahu soal perusahaan, Marvel. Jadi, kamu mending urus aja soal kamu punya anak enggak usah mikirin Itu. Biar warisan ataupun perusahaan Itu Mama yang nentuin bukan kamu. Karena sampe sekarang Perusahaan Itu Masih Mama yang megang kamu yang menjalankan." Marvel hanya diam dan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya menuruti ucapan Mamanya.
....
Bhiya di kamar mendudukan dirinya mengelus perutnya, dia merindukan ada kehidupan di dalam perutnya supaya dia tidak terus disalahkan, tidak terus disindir apalagi Mario. Bhiya yakin Mario berniat dendam dengannya karena menikah dengan sang Kakak.
Tapi, ini semua juga sudah takdir. Dia dulu menunggu Mario untuk pulang tapi, tidak ada kabar apapun tentang laki-laki Itu. Bhiya juga tidak tahu kalau akhirnya dia menikah dengan Marvel Itu Adalah Kakak dari Mario. Bhiya sama sekali tidak tahu. Keluarga Bhiya pun sama terkejutnya saat tahu kalau keluarga Marvel adalah keluarga Mario juga.
Dulu orang tuanya beranggapan jika memang sudah jodoh dengan keluarga Mario pasti mereka akan tetap berkumpul nantinya. Ucapan orang tuanya ada benarnya dia berkumpul tapi tidak dengan status sebagai istri Mario melainkan menjadi Kakak ipar Mario. Bhiya berfikir apa Mario memang sengaja membuat dia tekanan bathing dalam keluarganya, karena dia lihat Mamanya selalu membela Mario dan memanjakan Mario.
"Kamu kenapa pergi padahal makan belum selesai?" tanya Marvel yang datang membawa piring makan dan segelas air minum di tangannya.
"Aku capek, Mas selalu aja Mamanya nyalahin aku kalau aku belum hamil padahal ini kan bukan kemauan aku juga, Mas."
"Ya udahlah Mama kan cuma nasihatin kamu aja biar kamu usahanya Makin keras enggak usah diambil hati gitu. Namanya orang tua mau anaknya yang terbaik."
"Ya tapi 'kan Mas—"
"Udah kamu makan aja nih tadi kamu belum sempet makan 'kan? Makanya kamu emosi kali laper." Shabiya menghembuskan nafasnya kasar. Kapan suaminya ini peka dengan perasaan istrinya. Kenapa suaminya terus-terusan membela Ibunya padahal dia juga wanita apalagi sekarang istrinya kenapa tidak pernah juga Marvel mengerti perasaannya sebagai seorang istri. Apa menurut Marvel istri Itu hanya sebuah pasangan untuk terus menerus Dituntut untuk ini dan itu.
"Udah kenapa malah diem? Itu makan dulu udah aku bawain juga."
"Aku lagi enggak pengen makan, Mas. Aku banyak pikiran gara-gara disalahin terus."
"Ya makanya kan udah aku bilang enggak usah dipikirin ucapan, Mama kenapa Masih kamu pikirin aja. Santai aja kenapa Bhiya. Kamu malah susah hamil kalau apa-apa kamu pikirin terus udah besok minggu Kita kan liburan refreshing kamu biar kamu Makin dewasa mikirnya. Maksud Mama Itu baik," jelas Marvel sambil membuka laptopnya untuk bekerja mengecek kerjaan yang belum selesai.
Bhiya memandang Marvel sendu. Dia seperti tidak memiliki tempat curhat sebagai istri. Suaminya selalu membela Ibunya lalu apa gunanya istri di mata suaminya Itu.
"Makan Bhiya. Udah aku ambilin kamu susah banget sih dibilangin sama suami. Kapan coba kamu nurut gitu dibilangin sama suami entar keguguran lagi enggak mau disalahin," sindir Marvel. Bhiya akhirnya mengalah dia makan-makannya yang dibawa oleh suaminya tadi.
Melihat Bhiya sudah memakan makanan yang dibawanya tadi membuat Marvel menganggukan kepalanya lalu kembali fokus ke layar laptop di depannya. "Mas kamu yakin, aku ikut aja ke Villa keluarga kamu. Aku takut malah buat masalah di sana apalagi Mama juga enggak seneng banget sama aku."
"Mama bukan enggak seneng sama kamu, Mama cuma nasihatin kamu aja biar jadi istri yang baik. Mama kan lebih berpengalaman jadi istri, Bhiy makanya dia suka nasihatin kamu," ucap Marvel tanpa mengalihkan pandangannya dari laptopnya.
"Aku cuma takut nanti malah makin bermasalah, Mas jadi aku mending ke rumah aja."
"Kalau kamu ke rumah bener kata Mama nanti Makin banyak masalah. Apalagi kamu belum hamil juga."
"Tapi, kan orang tua aku enggak papa, Mas."
"Orang tua kamu enggak papa. Tapi, nanti gosip 'eh Itu kok istrinya Marvel belum hamil juga ya. Padahal orang kaya masa bikin anak Aja enggak bisa' kalau ada ucapan kayak gitu gimana? Kamu enggak malu emang?"
"Orang tua aku enggak mungkin nyebar aib anaknya, Mas."
"Mereka enggak nyebar emang. Tapi kalau kamu pulang pasti di tanya udah punya momongan apa belum? Terus kamu jawab belum sama aja kan. Kadang aku merasa ucapan Mama bener juga, Bhiy," ucap Marvel tanpa rasa bersalah. Sedangkan perasaan Shabiya rasanya sudah hancur berantakan. Makan saja dia menangis sampai rasa makanannya asin karena tercampur air matanya.
Mendengar Bhiya yang menangis, Marvel pun menengok ke arah Bhiya. "Kamu ngapain makan aja nangis? Kayak anak kecil aja makan harus nangis. Hadeuh Bhiya, Bhiya kelakuan kamu ada-ada aja," ucap Marvel lagi. Marvel ini benar-benar manusia atau bukan kenapa dia tidak memiliki hati sama sekali.
"Mas sadar enggak sih dari tadi, Mas ittu cuma belain Mama terus Mas enggak tahu rasanya hati aku gimana, Mas. Aku capek, aku sakit, Mas kamu sepelein terus."
"Aku enggak nyepelein kamu, Bhiya. Kamu ini sensitif banget deh. Lagi pms ya kamu?" tanya Marvel. Bhiya memilih untuk diam tidak menyahuti ucapan suaminya percuma. Suaminya tidak akan pernah peduli dan menganggap perasaan Bhiya hanya mainan yang tidak memiliki perasaan. Padahal, mati-matian Bhiya menahan sesak di dadanya karena suaminya yang menyepelekan dirinya.
"Kenapa enggak dihabisin makannya?" tanya Marvel lalu mendekat ke arah Bhiya.
"Aku enggak nafsu, makan, Mas. Aku capek mau tidur."
"Makan dulu. Kalau kamu makan enggak dihabisin percuma aku ambilin ke sini. Lagian 'kan aku emang enggak tahu porsi kamu."
"Yaudah nanti aku makan setelah bangun tidur aja," ucap Bhiya berusaha sabar. Tolong. Bhiya ingin melihat adakah istri yang sanggup seperti dirinya menahan semua rasa sakit hatinya sendiri. Suaminya menyepelekan perasaannya, mertuanya menjatuhkan mental ya terus menerus dan adik iparnya yang selalu mencari masalah dengan Mama dan berakhir Bhiya juga yang terkenal imbasnya. Kenapa menyedihkan sekali menikah dengan orang kaya.
Bhiya padahal bukan cewe matre waktu memilih menikah dengan Marvel. Dia memilih menikah dengan Marvel karena memang Cinta tapi kenapa semakin ke sini perasaannya hanya semakin sakit dan terus menerus merasakan sakit. Sebenernya suaminya Itu benar mencintainya atau memang terpaksa kenapa setiap ada permasalah suaminya hanya membela Ibunya tidak memikirkan perasaannya sebagai istri. Bhiya ingin bercerita kepada Ibunya tapi dia tidak mau membuat Ibunya berfikir keras bahwa anaknya di sini tidak bahagia. Memang semua materi tercukupi tapi batinnya sama sekali tidak tercukupi yang ada hanya rasa sakit yang terus menerus yang ia dapat. Berusaha sabar tapi sampai kapan kesabarannya ini di uji. Kenapa hanya awal pernikahannya saja yang bahagia tapi semakin lama dia semakin tersakiti.
.....