Tidak Sesuai Yang Dibayangkan

2424 Words
Sejak kecil, Almahyra sudah terbiasa dengan kehidupan yang keras. Bahkan, ia sendiri sampai tak mengenali sosok sang ayah. Menurut cerita ibunya, sang ayah meninggalkan mereka tanpa alasan yang jelas. Dan tentu saja hal itu mempengaruhi pola pikir Almahyra. Hingga ia tumbuh menjadi sosok wanita yang tangguh. Tak mudah menyerah pada keadaan. Dia juga sudah terbiasa dengan pahitnya kenyataan hidup. Almahyra sangat ‘lah terlatih untuk menjadi wanita tangguh, pantang baginya menggantungkan hidup pada orang lain. Ia akan berusaha sekuat mungkin agar bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Almahyra tidak pernah merepotkan sosok ibunya. Terlebih demi kepentingan pribadinya. “Emil! Mama bukannya tidak sayang sama kamu. Ini semua untuk kebaikan kamu di masa depan,” terang Almahyra mendekati sang putri yang terlihat sesenggukan menahan tangis. “Mama enggak salah ‘kok, Emil saja yang sudah jadi anak yang nakal,” jawab Emilia dengan wajah lugunya. “Maafkan kekhilafan, Mama, ya, Sayang. Anak Mama ini tidaklah nakal, mungkin tadi anak Mama sedang lupa apa yang diajarkan tempo hari.” “Maafkan, Emil, Ma, sudah membuat Mama sedih dan tidak bisa menjalani hidup dengan baik.” “Tidak! Tidak! Kamu tidak salah anakku.” Almahyra memeluk Emilia dan langsung sedih. Ia terpukul mendengar perkataan sang anak, Emilia balas memeluk sang ibu dengan erat. Kini keduanya berpelukan. Almahyra terlihat sangat menyayangi anaknya. Sang nenek yang memperhatikan keduanya tersenyum bahagia. Almahyra sebenarnya tentu saja tidak berniat untuk membuat buah hatinya ketakutan atau terluka. Hanya saja terkadang ia harus memberikan pembelajaran yang baik untuk anaknya. Yang terkadang dianggap terlalu keras. Setelah mereka semua selesai membersihkan badan. Dikarenakan Emilia kelelahan ia tertidur kembali. Almahyra duduk di balkon yang langsung menghadap ke tengah laut. Pandangannya lurus menatap jauh ke tengah samudra. Dalam manik mata itu terlihat banyak kenangan hidup yang terjadi. Tampaknya angannya pun jauh melayang. Membawa segala perasaan yang tengah ia rasakan. Ia duduk dengan kaki yang terselonjor. Rambutnya tergerai indah ditiup angin sepoi-sepoi. Almahyra terlihat lelah bahkan sangat―. Ketika ia tengah menikmati pemandangan indah yang sajikan alam semesta. Tiba-tiba telepon genggamnya berbunyi. Dengan raut wajah yang malas Almahyra beranjak dari tempat santainya. Ia menuju tempat tidur yang ada di kamar. Lalu meraih benda itu. “Amran? Untuk apa dia menelepon?” gumam Almahyra. “Halo.” “Hai! Bagaimana kabar kalian?” tanya Amran dengan suara yang tampak ragu-ragu. “Baik. Kamu sendiri bagaimana?” balas Almahyra balik bertanya. Akan tetapi wajahnya terlihat enggan menanggapi pria yang sedang berbicara dengannya saat ini. “Aku baik. Apa, Emil baik-baik saja di sana?” “Iya semuanya baik. Kamu tidak perlu khawatir, semuanya telah disiapkan dengan sangat baik.” “Oh. Baguslah kalau begitu, setidaknya aku bisa sedikit lebih tenang.” Almahyra menggelengkan kepalanya sambil kembali pada kursi santai tempatnya terdahulu. Amran memang sejak awal perkenalan mereka sudah menunjukkan ketertarikannya pada Almahyra. Ia menjadikan Emilia sebagai tameng. Amran selalu beralasan dengan membawa nama Emilia ketika ia merasa rindu pada Almahyra. Sungguh cara klasik yang pasti hampir digunakan banyak orang. Ketika ingin mendekati seorang wanita, orang tersebut harus mendekati orang terdekatnya lebih dulu. “Syukurlah. Aku ikut lega kalau kalian semua selamat dan baik-baik saja,” ujar Amran. “Iya, terima kasih untuk perhatianmu. Aku sangat tersanjung mendapatkan perhatian yang besar dari seorang pria terhormat sepertimu, Amran,” balas Almahyra dengan nada terkesan menyindir. “Kamu bicara apa ‘sih Alma? Aku ini hanya pria biasa.” “Biasa dalam pandanganmu belum tentu biasa salam pandangan orang lain.” “Baiklah aku mengalah padamu. Apa kamu sedang sibuk?” “Iya. Aku harusnya melakukan virtual Meeting, sekarang.” “Oke kalau begitu, maaf telah mengganggumu Alma. Bey!” “Bey!” Tut! Tut! Sambungan telepon itu pun berakhir. Tak ada basa-basi atau pun rayuan penuh canda. Semuanya berlangsung singkat. Almahyra menanggapinya dengan dingin. Sejak pertama dia memang tak pernah memberikan ruang pada, Amran. Hanya saja pria itu tetap kekeh mendekatinya. Berulang kali sang ibu membujuknya membuka hati untuk Arman. Akan tetapi dengan tegas ia menolak. Almahyra telah berkata jujur ia tak bisa membuka hati untuk pria lain. Namun Amran memohon agar membiarkannya tetap berjuang. Akhirnya, Almahyra bertindak masa bodoh. Sebuah tindakkan menyerah dari seorang wanita adalah masa bodoh. Ketika seorang wanita sudah diam, cuek, masa bodoh, dan tak peduli. Tandanya ia benar-benar jenuh dan sudah lelah menghadapi pria tersebut. Almahyra menyambar sebuah Sweeter cokelat muda di kursi. Ia berniat pergi meninggalkan ibu dan anaknya. Namun tangannya dihentikan oleh sang ibu. Beliau meminta, Almahyra duduk sebentar. Dahinya mengerut karena tidak pernah mendapatkan hal seperti ini. Bisa dikatakan dia tidak menyukai kontak fisik secara langsung. Meskipun itu dengan orang yang paling dia cinta sekali pun. “Ke sini, sebentar, Nak. Apa, Ibu bisa berbicara denganmu?” tanya sang ibu dengan raut wajah seolah membuat penasaran. “Tentu saja boleh, Ibuku tercinta,” sahut Almahyra seraya memeluk tubuh sang ibu. “Apa kamu mencintai, Amran? Dia pemuda yang baik untuk kamu bahkan menurut Ibu ia sangat pantas denganmu.” “Ibu sudah kukatakan berapa kali. Perasaanku padanya tidak akan lebih dari seorang teman!” “Tapi, Sayang. Kamu harus tahu ini terlebih dulu.” Dahi wanita dengan paras ayu nan menyejukkan hati itu, kembali berkerut. Ia terlihat benar-benar bingung terhadap sang ibu yang selalu membela Amran. Pria yang cukup tampan dengan kekayaan yang tidak jauh berbeda dengan Abizard. Amran juga berstatus lajang, dengan sikap baiknya. Namun itu semua tidak membuat Almahyra merasa takjub. Bahkan dia dengan lantang berjanji pada semua orang untuk tidak menerima pria bernama Amran. “Aku akan melakukan berbagai cara agar semuanya tetap baik. Dan tidak membutuh sosok lelaki mana pun untuk menemaniku dalam hidup ini, kecuali yang memiliki tempat tersendiri di dalam hatiku,” gumam Almahyra. Dengan perlahan ia melangkah. Seraya menikmati angin malam serta hamparan air yang kini berwarna gelap pekat. Roman wajahnya mengatakan bahwa ia kini tengah merasa bimbang. Dan ada rasa bimbang dan keraguan yang menyelimuti hati kecilnya. Di atas sana taburan bintang membuat suasa semakin terasa indah. Ia terus saja melangkah menyusuri susunan papan kecil yang diatur sangat rapi. Segala objek yang terpampang di sana. Seakan menambah nilai tambah keindahan yang sedari awal sudah di bangun oleh semesta pusaka. Ada banyak cara yang dilakukan seseorang ketika ingin menghilangkan rasa suntuknya. Ada yang melakukan, liburan di pantai, gunung, taman hiburan, mencari menu makan baru dan lainnya. Tapi biasanya, Almahyra akan melewati segala rasa jenuh dan bosannya dengan melakukan sebuah hal baru. “Aku rindu, sangat rindu bisa bermain layang-layang di Luas Pandang,” gumamnya seraya terus menyusur jalanan. “Entah kapan semua itu bisa aku rasakan lagi. Atau mungkin tidak akan aku rasakan lagi? Ya, karena semuanya telah berakhir.” “Ah! sudahlah tidak ada yang bisa kuharapkan lagi. Semuanya hanyalah anganku saja, sejak awal aku sudah tahu tak ada tempat untukku yang bukan siapa-siapa ini.” Almahyra memandang langit dengan segala rahasianya. Segala yang ada di alam semesta ini memiliki rahasianya masing-masing, dan tentu saja cara untuk menyelesaikannya berbeda-beda. Almahyra sebagai wanita dengan kebiasaan hidup mandiri. Sudah sangat terbiasa menikmati sunyi malam sendirian. Bahkan cara untuknya menghilangkan pikiran yang menyiksa adalah dengan bercerita pada nirwana yang membentang nyata. Meski ia terbiasa mandiri. Tapi, ia tidak memiliki banyak teman untuk diajak bercerita. Karena terkadang memiliki seorang teman wanita sama saja seperti ia menaruh bom waktu, di bawah tempat tidurnya. Suatu saat bom itu pasti meledak dan menghancurkannya. Dan sudah pasti ia akan luluh berkeping karenanya. Wajah wanita tua itu kini tampak khawatir dengan status putrinya yang sering dipertanyakan orang-orang. Almahyra benar-benar tidak ingin membuka hatinya lagi. Itulah yang membuat sang ibu semakin dilanda pikiran yang berkecamuk. Kini wanita teguh itu sudah keluar dengan alasan ingin mencari angin segar. Dia tampak berjalan perlahan sambil menikmati hangatnya matahari yang tampak mulai bergerak kembali ke persembunyiannya. Rambutnya terurai beterbangan tertiup angin. Kilauannya menambah indahnya mahkota wanita yang menjadikan wanita tampil lebih anggun dengan rambut yang panjang. Almahyra menghirup udara lalu menghembuskannya dengan kuat. Ia kembali berjalan setelah berhenti sejenak. Kini kaki jenjangnya membawa wanita cantik ini pada tepi pantai. Ia duduk di atas pasir putih. “Kamu ini memang tidak pernah berubah,” ujar Abizard yang datang dari belakangnya. “Abi! Bagaimana kamu bisa tahu kalau aku di sini?” tanya Almahyra dengan tersenyum kecil. “Aku selalu tahu semua tentangmu, Sayang. Itu karena hanya kamu yang penting di hidupku.” “Abi, apa yang akan kamu lakukan?” “Sesuatu yang akan membuatmu dan anak kita bahagia.” Abizard duduk di sebelah Almahyra. Matanya tertuju pada bola mata Almahyra. Segala rasa rindu seakan terucap dengan sangat baik di dalam sana. Sungguh! Selama ini keduanya sama-sama merindukan akan tetapi tak dapat menyatakannya. Sungguh hati keduanya sudah terpaut satu sama lainnya. Tak ada celah lagi untuk yang lain. Baik Almahyra maupun Abizard, keduanya sama-sama keras kepala. Tak mudah untuk dikalahkan. Keduanya sama-sama tak memiliki sifat ingin tahu yang berlebih. Mereka juga lebih memilih menyimpan semua keluh di hati mereka, dibandingkan harus membuat orang lain kecewa atau terluka. Sudah banyak Almahyra mengalah dan merelakan kebahagiaannya direnggut. Ia selalu mengalah dan tak ingin orang melihatnya sebagai wanita lemah. Ia selalu terlihat tegar dan kuat. Namun, nyatanya ia hanyalah seorang wanita yang juga memiliki hati. Ia sebenarnya juga ingin menangis dan mengungkapkan kekesalannya. Sayangnya tak pernah dilakukannya karena ia memilih bungkam. “Apa kamu ingat dulu saat kita suka menikmati waktu bersama?” tanya Abizard. “Tentu saja aku ingat. Sedikit pun tak ada yang aku lupakan kenangan tentang kita,” sahut Almahyra dengan senyuman tipis. “Alma. Aku mohon kembalilah padaku.” “Haruskah aku menjadi sepertinya? Apa aku bisa sejahat itu, Bi?” “Alma, kamu dan dia sangat ‘lah berbeda! Maka dari itu aku tak pernah bisa bersama dengannya.” Almahyra terdiam membisu. Wajahnya ditundukkan ke pasir dengan jemari yang memainkan butiran berwarna putih bak permata tersebut, semuanya tampak berkilau dalam telapak tangannya. Abizard meraih wajah Almahyra dengan lembut. Membuat kedua pasang mata mereka saling beradu. “Alma, please,” pinta Abizard dengan menggenggam kedua tangan Almahyra. “Abi, aku takut. Takut semuanya akan berakhir semakin menyedihkan,” ujar Almahyra dengan mata yang berkaca-kaca. “Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, Alma. Semuanya akan baik saja.” “Bagaimana bila pihak istrimu tahu yang sebenarnya? Mereka pasti tidak akan terima.” “Biar aku yang mengurus hal itu.” Almahyra kembali terdiam setelah mendengar jawaban yang dilontarkan oleh Abizard. Terlihat dengan sangat jelas bahwa ia masih memiliki rasa yang sangat besar untuk Abizard. Hanya saja ia masih memiliki keraguan untuk kembali pada pria yang selama ini dirindukannya. Bukan dia tidak ingin membina hubungan yang indah. Dan memulai segalanya dengan lembaran yang baru. Namun Almahyra sendiri telah mengetahui bagaimana kejamnya, Haifa Ayda. Ia juga beberapa kali bertemu Haifa yang sangat membencinya. Almahyra sendiri tak pernah memiliki dendam kepada wanita itu, meski beberapa kali dengan jelas Haifa berusaha menyingkirkannya. Akan tetapi dengan tulus Almahyra tak pernah berniat membalasnya. Dalam beberapa kesempatan Haifa juga membayar orang untuk menghilangkan Almahyra. “Dengan jelas aku masih ingat bagaimana istrimu dengan nekat mendorongku dari lantai 4 Mall Mentari,” kenang Almahyra, “untung saja aksinya digagalkan oleh teman kerjaku yang menyadarinya mengikutiku sejak pertama.” “Jadi kamu sudah mengenal Haifa sedari kita masih menjalin hubungan?” tanya Abizard penasaran. “Benar aku mengenal dia sewaktu kami mengadakan bazar di hari kemerdekaan. Dan dia datang sebagai pelanggan kami yang dikenal sangat royal.” “Lalu bagaimana kamu yakin kalau wanita itu adalah Haifa yang akhirnya menikah denganku?” “Foto pernikahan kalian! Aku memilikinya yang kuambil dari media sosialnya. Saat itu aku―” Almahyra secara tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Air matanya menetes tanpa dikomando. Mengalir begitu saja bagaikan mata air di atas gunung. Namun air ini menunjukkan betapa hancurnya hati Almahyra saat itu, hingga ia memilih menghilang untuk selama-lamanya dari kehidupan baru Abizard. Ia juga berusaha menutup segala akses yang memiliki kemungkinan untuk Abizard menemukannya. “Kamu menyimpan foto itu?” tanya Abizard pelan. “Iya. Foto itu aku simpan di dalam buku yang kamu berikan dulu,” sahut Almahyra dengan sura yang serak. “Alma. Aku benar-benar ingin marah padamu saat ini!” “Marah saja, Bi. Aku tidak akan menuntutmu.” Abizard langsung memeluk wanita yang ada di hadapannya tersebut, dekapan erat itu berbalut dengan rindu yang tak mampu terlukiskan. Abizard seakan enggan melepaskan kembali pelukannya.  Kini pria yang terlihat tegas itu juga terlihat melembut. Bola matanya mulai berkaca-kaca. Hingga akhirnya ia benar-benar menangis dalam pelukannya. Hembusan angin pantai menambah indahnya suasana. Matahari kini hanya menyisakan sebagian kecil dari bentuk bulat sempurna. Langit berwarna jingga merona. Angkasa kini tampak mendukung persatuan antar keduanya. Almahyra sangat menikmati hangatnya dekapan sang kekasih. Ia terbuai angan berselimut rindu. “Aku sangat mencintai kamu, Almahyra Mahari. Aku tidak akan bisa jika harus berpisah denganmu lagi,” ungkap Abizard dengan melonggarkan dekapannya. “Aku bahkan lebih mencintaimu, Abi. Namun aku tak ingin merebutmu dari orang yang sudah jelas ada pemiliknya,” sahut Almahyra lirih. “Alma perlu kamu tahu bahwa aku dan dia tidak pernah hidup layaknya sepasang suami istri.” “Bagaimana bisa begitu, Abi.” “Itu semua bisa terjadi karena aku tak mencintainya! Bahkan aku belum pernah menyentuhnya sedikit pun.” Almahyra menatap sayu wajah pria yang sangat dicintainya. Perlahan tangannya membelai mesra wajah sang kekasih. Sentuhan lembut telapak tangan, Almahyra mampu membuat Abiard memejamkan matanya menikmati betapa indahnya sentuhan sang kekasih. Almahyra memperhatikan inci demi inci bentuk dan setiap lekuk wajah lelakinya. Almahyra tersenyum lebar. Ia tampak sangat merindukan masa-masa indah saat mereka masih bersama. Almahyra juga membiarkan satu tangannya di genggam. Kemudian perlahan dicium oleh Abizard dengan sentuhan yang sangat mesra. Kedua insan yang sudah tidak muda lagi ini. Sungguh menikmati momen langka yang mampu mereka rasakan. “Almahyra aku mohon kembalilah padaku, dan jadilah istriku,” pinta Abizard, “aku ingin kita bertiga hidup damai bersama.” “Bertiga? Maksud kamu aku akan dimadu dengan istrimu?” tanya Almahyra dengan dahi berkerut. “Gila kamu! Mana mungkin aku melakukan hal bodoh itu.” “Lalu bertiga bersama siapa?” “Aku, kamu, dan anak kita.” Almahyra tersenyum lega mendengar kalimat yang diungkapkan oleh Abizard kali ini. Ia juga terlihat tersipu karena telah salah dalam menanggapi omongan kekasihnya. Abizard ikut terseyum. Keduanya kembali berpelukan untuk beberapa saat, Abizard terlihat lebih tenang dan bahagia kali ini. Tidak seperti dulu, ia selalu terlihat kaku dan dingin. Seakan kini ia telah menemukan kembali separuh nyawanya. Dan itu yang membuatnya mampu bertahan hidup lebih lama. Ia juga lebih sering tersenyum. Sungguh perubahan yang besar telah terjadi. Abizard, Almahyra adalah dua hati yang sebenarnya tak bisa dipisahkan. Kalau dipaksakan akan membunuh keduanya dengan cara yang pelan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD