Dua Hati Yang Terpaut

1826 Words
Ketika Emilia ingin menaiki berbatuan yang sedikit curam, akan tetapi ia tidak berani meminta izin pada sang ibu. Dengan hanya melihat sang anak menatap terpaku, menyaksikan wisatawan lain berfoto ria di atas berbatuan curam. Abizard seakan memahami keinginan sang anak. Ia perlahan mendekati bocah itu, dan mengajaknya bicara. “Hai, gadis cantik. Lagi apa? ‘kok bengong begitu?” sapa Abizard seraya memegangi kedua bahu Emilia. “Eh, ada Om Ganteng! Itu, Om kayaknya asyik banget mereka lompat dari sana,” sahut Emilia seraya menunjuk ke arah bebatuan curam dengan lubuk air jernih di bawahnya. “Oh, kamu mau ke sana, Sayang?” “Mau banget, Om. Tapi ... pasti, Mama enggak akan mengizinkan.” “Kalau soal itu, biarkan menjadi urusan Om saja.” “Yang benar, Om Ganteng?” Abizard menyipitkan mata kanannya dengan kedua alis terangkat ke atas. Pada sudut bibirnya terlihat tertarik ke atas, menandakan pria itu tengah tersenyum penuh arti. Emilia melompat kegirangan. Keduanya terlihat melakukan tos tanda keduanya telah menjadi satu tim. Almahyra duduk di bawah pohon dengan mata berkaca-kaca. Tentu saja, segala yang telah terjadi akan membuat wanita dengan bulu mata lentik itu akan sangat terharu. Sang ibu yang berada tidak jauh darinya, perlahan mendekat lalu duduk di sisi kirinya. Almahyra melirik ke arah sang ibu, dengan tersenyum simpul. “Keduanya terlihat kompak dan jelas sekali keduanya bagai pinang dibelah dua,” ujar sang ibu dengan pandangan yang terarah pada Abizard dan Emilia. “Ibu benar. Aku sendiri tidak menyangka bahwa keduanya sangat mirip,” sahut Almahyra lirih. “Akhirnya Ibu melakukan hal yang benar. Kini Ibu bisa melihat mimpi yang selama ini diharapkan oleh, cucu dan anakku terwujud.” “Ibu, Alma sangat percaya bahwa suatu saat Ibu akan mengetahui siapa sebenarnya Arman. Selama ini, Alma sudah tahu bahwa dia itu hanya bersandiwara. Hanya saja, Alma enggak mau membuat Emili sedih kehilangan sosok pria dewasa yang sudah dekat dengannya.” “Kamu selalu saja mengorbankan hatimu, demi kebaikan semua orang. Kamu tidak pernah berubah sedikit pun, Nak.” “Ibu―” Kalimat Almahyra terpotong. Karena secara tiba-tiba Emilia sudah ada di hadapan mereka. Bocah itu, memperlihatkan raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi gemas. Akan tetapi, Almahyra tampaknya memahami sesuatu dari tingkah anaknya. “Ayo mau minta apa?” tanya Almahyra dengan menarik anaknya ke dalam dekapannya. “Hehehe, Mama ‘kok tahu ada yang mau Emil pinta,” sahut Emilia lugu. “Mama ini orang yang sudah melahirkan, dan membesarkan kamu selama ini. Jadi mana mungkin, Mama tidak paham kelakuan anak Mama sendiri.” “Hehehe.” “Jadi mau minta apa?” “Mau ke sana.” Emilia menunjuk ke arah tempat yang sejak tadi ia perhatikan. Almahyra mengalihkan pandangannya pada titik yang maksud sang anak. Namun, seketika mata wanita cantik itu terbelalak. Sejurus kemudian raut wajahnya berubah menjadi datar. Almahyra menatap tajam ke arah Emilia. “Ka―” Baru saja Almahyra ingin mengucapkan sesuatu pada sang anak. Saat itu juga Abizard menghampiri mereka, dari raut wajahnya Almahyra langsung tidak mampu berkata-kata.  Abizard membalas tatapan tajam Almahyra. Emilia tersenyum riang karena sang pahlawan telah datang. “Mama Alma yang cantik. Bolehkan, Emilia ke sana sama Om Abi,” ujar Abizard sambil menatap wajah Almahyra. “Tapi, di sana ‘kan agak ....” Almahyra tidak dapat melanjutkan kalimatnya, ketika dia menatap wajah pria yang ada di hadapannya. “Jadi bagaimana? Boleh, ‘kan?” desak Abizard. “Hmm. Ya sudah hati-hati. Emil harus pegangan sama, Pa, eh! Om Abi.” “Hore!” Semua orang terlihat tersenyum melihat Emilia yang sangat riang. Setelah itu keduanya langsung menuju tempat yang dimaksud. Almahyra dari kejauhan hanya bisa tertegun. Baru kali ini dia melihat anaknya sangat bahagia. Dan itu terjadi mengalir, dia menundukkan wajahnya. “Ada apa, Anak?” tanya sang ibu. “Ibu, apa yang akan terjadi kalau Emilia tahu yang sebenarnya,” sahut Almahyra lirih. “Sudah pasti dia akan sangat senang. Kenapa, karena sudah lama dia menantikan sosok sang ayah untuk datang menemuinya.” “Akan dia menerima Abi, begitu saja, Bu?” “Sudah pasti. Emilia adalah anak yang sangat baik dan pengertian. Dia sangat memahami keadaan orang-orang di sekitarnya, jadi kamu jangan khawatir.” Almahyra mengangguk setuju. Tidak lama Amir sudah kembali dari menerima telepon dari keluarganya. Saat ini Amir sendiri sudah memiliki seorang istri. Meski dulunya dia dikenal sebagai pria yang hobi bergonta-ganti pasangan. Akan tetapi setelah dia menemukan wanita terakhirnya, dia langsung ingin menikahinya tanpa, tapi. Amir berhasil mendapat wanita yang dicintainya berkat bantuan Abizard. Sebenarnya wanita itu tidak akan masuk ke dalam kriteria yang diinginkan oleh ibu dari Abizard dan Amir. Namun karena Abizard tidak mau nasib adiknya sama dengan dirinya, dia rela melakukan perombakan total pada gadis itu dan keluarganya. Dan hal itulah yang membuat Amir berhutang budi pada kakak kandungnya. “Mana yang lain?” tanya Amir. “Itu, biasalah kayak enggak tahu saja. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya,” sahut Almahyra yang membuat Amir tertawa. “Yang harus kamu tahu, Alma. Selama ini, Kak Abi tidak pernah tertawa selepas itu.” “Aku tahu itu, karena aku yakin Abi bukan ‘lah orang yang buruk, aku percaya bahwa dia sangat mencintaiku.” “Kamu benar. Cinta di antara kalian berdua memang sungguh sangat kuat. Bahkan aku sendiri kagum dengan hubungan yang terjalin antara kalian berdua.” Almahyra tersenyum, sang ibu menyerahkan sepiring rujak buah pada Amir. Tentu saja, pria itu menyambutnya dengan sangat baik. Amir tersenyum tulus kepada sang calon ibu mertuanya juga, meski sebenarnya lebih tepatnya mertua sang kakak. “Anak, Amir ini apa sudah punya istri?” tanya sang ibu. “Sudah, Bu. Tapi dia sedang mengandung saat ini, jadi saya tidak bisa membawanya ke sini,” jawab Amir dengan tenang. “Wah, anak ke berapa itu, Anak?” “ Baru anak pertama Bu, karena pernikahan kami baru berlangsung satu tahun terakhir.” “Berarti masih baru juga, ya.” “Iya, Bu.” Pada akhirnya, ketiganya terlibat perbincangan ringan. Sedangkan Abizard bermain dengan sang putri dengan segala canda tawa. Hari ini segalanya terasa indah. Ditambah lagi dengan sinar matahari yang begitu menyengat. Dan membuat seisi bumi ini menjadi gerah. Dan rasanya ingin menceburkan diri ke dalam tempat air yang sejuk. Setelah lelah satu harian jalan-jalan dan menikmati indahnya pemandangan. Almahyra, Emilia dan sang nenek langsung tergeletak tidak berdaya di atas tempat tidur. Semuanya terlihat lelah dan ingin istirahat. Dikarenakan Almahyra terbiasa tidak pernah tidur lama. Akhirnya dia terbangun pada pukul 20.32 WIT, dan dari sana ia langsung menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Ting! Ting! Nada pesan singkat dari telepon selulernya. Almahyra berjalan mengendap-endap agar tidak membangunkan anak dan ibunya. Akhirnya dia mampu mendapatkan ponsel tersebut, dan dengan cepat ia mengambilnya dan berlari menuju ruang tamu. Sesampainya di sana, wanita itu langsung membantingkan tubuhnya pada sofa yang sudah tersedia. “Hah? Ada apa malam-malam begini, Abi mengajak ketemu,” gumam Almahyra kebingungan. Almahyra bangkit, sedikit mematut penampilannya di depan cermin, menyambar jaket, lalu keluar dari kamar yang disewakan untuk mereka. Sekitar 100 meter dia berjalan. Di sana telah berdiri sesosok pria dengan badan atletis, dan juga penampilan khas. Almahyra tertegun. Ia sangat mengenal lelaki tersebut, dia adalah Abizard Esser. “Alma!” Abizard langsung mendekap tubuh Almahyra dengan erat. Saking terkejutnya, Almahyra hanya bisa terdiam tertegun. Ia seakan tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi, mengapa lelakinya tiba-tiba berlaku demikian. “Abi, kamu kenapa?” tanya Almahyra lirih. “Aku enggak mau kehilangan kamu lagi, jadi aku mohon besok kita harus menikah!” tegas Abizard tanpa kompromi. “Besok? Apa kamu enggak salah, Bi? Kenapa harus buru-buru begini?” “Aduh bagaimana, ya caranya aku menjelaskannya sama kamu.” “Aku menunggu jawabanmu!” “Haifa Ayda sudah mengetahui pertemuan kita di sini, yang aku takutkan akan datang masalah baru. Dan membuat kebahagiaan kita akan berantakan.” Mata Almahyra terbelalak. Sebuah kabar yang terdengar menyeramkan. Sebelumnya Almahyra memang sudah memikirkan ini semua. Akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menghindari perkara ini lebih lama lagi, bukankah sebaiknya memang harus segera diselesaikan. Justru semakin lama sebuah masalah dibiarkan berlarut. Maka akan menimbulkan dampak yang semakin besar pula. Pandangannya jauh menerawang. Seakan ia tengah memikirkan sesuatu yang sangat serius, dia juga terlihat tengah menimbang segala kemungkinan. Almahyra bukanlah wanita lemah dan gampang ditindas. Ia akan melawan menggunakan caranya sendiri. Meski terkesan ia takut, akan tetapi tiba pada masanya dia akan menunjukkan wujud aslinya. “Aku sudah tahu ini akan terjadi, Bi. Maka dari itu, aku telah memikirkan bagaimana caranya menghadapi Ayda kali ini,” ujar Almahyra dengan sorot mata terfokus pada satu titik. “Tidak! Aku tidak akan melibatkan kamu lagi, dalam masalah yang akan terjadi kali ini. Aku akan menghadapinya sendiri,” bantah Abizard dengan wajah yang datar. “Tolong, Bi, biarkan aku bersamamu untuk kali ini.” “Tidak Alma! Aku akan menghadapi mereka sendiri.” Almahyara terdiam mendengar keputusan Abizard, akan tetapi tampaknya dia sudah menyiapkan segalanya. Dia telah mengatur rencananya dengan matang. Kali ini Almahyra bukanlah, wanita biasa yang dengan mudahnya dapat ditindas. Setelah perbincangan itu, Abizard langsung meminta semua orang berkemas. Emilia dan sang ibu yang terkejut karena Almahyra meminta mereka bersiap saat itu juga. Keduanya yang masih dilanda kebingungan, seketika terdiam saat melihat selembar kertas yang tergeletak di meja ruang tamu. “Malaikat maut akan menjemput kalian semua!!” isi yang tertulis menggunakan tinta berwarna merah seperti darah. “Nenek apa itu?” tanya Emilia yang ikut membaca tulisan tersebut. “Bukan apa-apa, Sayang. Ini hanya salah satu properti yang dibutuhkan ibu kamu untuk pekerjaannya,” dusta sang nenek lagi dan lagi, untuk menyembunyikan yang sebenarnya dari pandangan sang cucu tercinta. Almahyra datang dengan menarik dua buah koper besar milik mereka, dilihatnya surat ancaman tersebut dan dia mendekatinya. Almahyra mendekati kertas itu, lalu membacanya dengan seksama. Dahinya tampak berkerut. Almahyra pasti sudah menyadari bahwa itu, awal dari teror yang diberikan Ayda padanya. Sama seperti dulu. Ayda memang akan terlebih dahulu memberikan peringatan kepada semua korban yang ditujunya. Almahyra tersenyum sinis. Matanya nanar memandangi kertas putih dengan ancaman yang terlihat menyeramkan. Bukan pertama kali ia mendapatkan ancaman seperti itu, entah ini ke berapa kalinya. Yang pasti sudah kerap kali Almahyra menerima perlakuan demikian. Terlebih kali ini dia akan melawan dan tidak akan menyerahkan apa yang seharusnya menjadi miliki dia sedari awal. “Mungkin dulu aku memilih mengalah, akan tetapi kali ini aku tidak akan gentar sedikit pun,” ujar Almahyra seraya meremukkan kertas tersebut dalam genggamannya. “Sayang, apa ini semua perbuatan mereka?” tanya sang ibu lirih. “Pastinya, Bu. Tidak ada yang akan melakukan ini semua kecuali wanita itu dengan semua kaki tagannya. Sudahlah, kita harus segera menjauh dari tempat ini.” “Ayo, Sayang. Kamu harus tetap berada di sisi Nenek,” ujar sang nenek kepada cucunya. “Kita akan ke mana, Nek? Kenapa buru-buru? Bukannya kemarin, Mama bilang kita akan berlibur selama seminggu penuh?” “Iya, Sayang. Tapi, kita cari tempat yang baru saja, soalnya di sini sudah kita jelajahi.” “Baiklah, Nek.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD