PATAH

1329 Words
                “Kalau kita tidak bisa menikah , kenapa kamu masih di sini sekarang? Aku… aku juga mau menikah seperti teman – teman ku yang lain, aku mau punya anak , punya keluarga yang bahagia, aku mau kamu jadi suami aku!” Ucap Areta sembari mengusap air mata di kedua pipi nya, ia berteriak hingga suaranya memenuhi ruang kamar itu.                 “Perbedaan yang gak bisa nyatuin kita Areta!” Gertak Arta, Seketika Reta diam dengan napas yang tersenggal – senggal.                 “Perbedaan bukan alasan untuk tidak membangun rumah tangga” Jawab Arta kemudian menyambar baju nya yang terlipat rapih di sofa dekat meja kerja nya.                 Reta melihat punggung Arta tenggelam dari balik pintu, ingatannya tentang delapan tahun kebersamaan mereka dan seberapa banyak malam panjang yang telah mereka lewati bersama sungguh membuat Areta merasa frustasi. Bagaimana mungkin ia bisa menikah jika tubuh nya saja sudah pernah di jamah habis – habisan oleh Arta. Ia tidak akan menemukan pria lain jika saja Arta tidak bisa meresmikan hubungan mereka. *****                 “Mau sampai kapan lo sembunyiin itu dari Areta? Lo gak mikir apa kalau semakin lama , lo sembunyiin itu maka akibatnya bakalan jauh lebih mengerikan dari yang sekarang lo pikirin?” Sekarang , Natasya – kakak Arta sedang berdiri , di hadapan adik laki – laki nya itu sembari berdecak pinggang.                 “Ya terus, what should I do? Gua sayang sama Areta, tapi gua juga gak bisa nolak apa yang mama pengen. Lo tau sejak kecil gua udah bikin mama seneng, mama gak pernah minta apa – apa dari gua. Sekalinya dia ada permintaan, ya Cuma nikahin Thalia. Gua harus apa selain bilang iya? Lagi pula mama gak suka sama Areta, seandainya mama suka udah dari kapan tau , gua nikahin tuh orang” Jawab Arta dengan nada yang terdengar begitu frustasi, ia mengacak rambutnya sendiri karena saat ini kakak nya telah mendesak untuk segera memberitahu Areta.                 “Itu terjadi karena lo gak tegas sama pilihan lo sendiri, selesaiin hubungan lo sama Areta secepatnya, gua gak mau ada masalah menjelang hari pernikahan lo sendiri, dan… segera pisah rumah dengan Areta. Lo gak mau kan masuk lambe turah karena kedapatan sama mama lagi making love padahal lo udah punya calon istri” Ucap Natasya, setelah itu ia pergi, meninggalkan Arta sendirian di ruang makan dengan makanan yang memenuhi meja.                 Arta di sini, sejak semalam ia bertengkar dengan Areta. Pertengkaran yang selalu saja tak berujung. Setiap kali Areta meminta Arta untuk menikahi nya, maka pertengkaran tak akan bisa lagi di hindari. Mereka berdua akan tetap pada pendapat mereka masing – masing, hingga semuanya akan berjalan normal seperti biasanya.                 Berbicara mengenai calon istri Arta, dia adalah seorang perempuan yang merupakan teman masa kecilnya, wajah nya cantik , lulusan S2 di universitas Indonesia, dan sekarang dia sedang bekerja sebagai di salah satu kantor Akuntan Publik yang cukup terkenal, seorang wanita karir yang bisa di bilang sebelas dua belas dengan Areta. Namanya Thalia  Adelia Ariesta.  Atau mereka semua biasa memanggilnya dengan sebutan Thalia. Arta benar – benar gak tau gimana bisa mama nya dan orang tua Thalia memiliki perjanjian konyol di masa lalu, sehingga sekarang Thalia dan juga Arta harus terikat dalam hubungan tanpa cinta.                 Arta gak tau apa – apa tentang Thalia, apa dia sudah punya pacar , yang ia tahu hanya sebatas Thalia lulusan apa dan kerja dimana. Udah. Selebihnya gak tau. Sedangkan Thalia? Thalia adalah tipikal gadis yang Careable banget. Arta gak tau kalau sifat pedulinya itu adalah bawaan dari sifat Thalia apa Cuma Thalia lagi berhadapan sama Arta. Yang jelas di mata Arta, Thalia adalah sosok yang begitu perhatian.                 “Mbak Thalia sudah datang mas” Ucap salah seorang asisten rumah tangga kepada Arta, Arta mendengus kesal kemudian mengangguk. Thalia datang, dan duduk tepat di kursi yang berhadapan dengan Arta.                 “Kenapa?” Tanya Thalia, Arta hanya menggeleng. Sebenarnya tidak usah di jelaskan lagi Thalia sudah paham dengan keadaan Arta sekarang.                 “Mending nikah nya gak jadi aja” Ucap gadis itu spontan. Arta yang tadinya sedang menunduk tiba – tiba mendongkakan kepalanya , menatap Thalia dengan tatapan yang seolah – olah berkata Gak jelas banget lo.                 “Kenapa ngomong nya kayak gitu? Kasian mama papa” Ucap Arta , sebenarnya jika saja mama nya tidak memintanya untuk menikahi Thalia, mungkin saat ini ia sudah berpesta akibat ucapan Thalia.                 “Aku gak mau nikah sama pacar orang. Sekalipun kita nanti menikah bukan karena kita sama – sama cinta, ya tetap aja. Aku gak mau. Kalau kamu masih mau ngelanjutin hubungan kamu, yaudah. Kamu diem aja, nanti aku yang ngomong ke mama kamu” Ucap Thalia sembari menegak segelas es jeruk yang baru saja di antarkan oleh asisten rumah tangga.                 “Gak! Enggak , oke kamu gak bakalan nikah sama pacar orang. Aku … aku secepatnya, bakal segera mutusin Areta. I’ll tell her about us, I promise” Jawab Arta panik, bagaimana mungkin ia akan membiarkan Thalia membuat mama nya kecewa? Apapun yang bisa Arta lakukan untuk mama nya, ia akan lakukan, sekalipun itu mengorbankan perasaannya sendiri. Thalia mengangguk, kemudian merogoh tas nya , mengeluarkan sepuluh sample undangan pernikahan untuk Arta                 “Pilih salah satunya, kasih tau aku nanti sore” Ucap Thalia, gadis itu berdiri kemudian bersiap melangkah menuju pintu keluar                 “Thal, mau kemana?” Tanya Arta                 “Kerja, kamu gak kerja?” Thalia justru bertanya balik kepada Arta                 “Ini mau” Jawab Arta, Thalia mengangguk, saat hendak melangkah, tangannya di tahan oleh Arta.                 “Ayo berangkat bareng, kamu gak bawa mobil kan” Thalia mengangguk. Jadilah mereka berangkat bersama menuju kantor. *****                 Areta menunggu Arta dengan perasaan harap – harap cemas, sudah hampir pukul sembilan pagi, namun pria itu belum juga menunjukan batang hidung nya.                 “Mas Arta sudah datang dari tadi mba Reta” ucap Satpam yang sedang berjaga di pintu masuk, Areta mengerutkan keningnya. Apa se-marah itu? kenapa gak ngabarin? Areta mengangguk , mengucapkan terimakasih kepada Satpam yang berjaga. Kemudian ia melenggang pergi , mencari Arta di ruangannya.                 Benar saja kata Satpam tadi, bahwa Arta sudah berada di kantor sejak tadi. Buktinya sekarang ia sedang berkutat dengan sejuta laporan – laporan keuangan di atas meja nya. Reta membuka pintu ruangan Arta, berdiri di hadapan pria itu dengan tangan yang terlipat di depan d**a.                 “Kamu marah sampai segitunya?” Tanya Areta, ia masih tak terima jika saja Arta mendiaminya sampai seharian penuh. Biasanya jika mereka bertengkar, paling lama Arta akan mendiami nya selama tiga jam , dan setelah itu biasanya semuanya akan kembali  baik – baik saja.                 “Areta, kamu selalu menjunjung tinggi profesionalitasnya kamu kan? Ini jam kerja, kalau mau berdebat, nanti siang. And I have to tell you ‘something’ “ Ucap Arta , Areta membelakan matanya tidak percaya, bahwa pertengkaran mereka kali ini terasa lebih jauh dari yang ia pikirkan.                 Areta pergi , meninggalkan Arta sendirian di ruangannya dengan wajah masam, banyak mata yang memandangnya heran setelah keluar dari ruangan Arta, padahal hampir seluruh orang tau, bagaimana serasinya ArtaReta di kantor. Mereka terbilang sangat mesra, bahkan hampir tak pernah terlihat bertengkar.                 Areta harap – harap cemas menunggu Arta keluar dari ruangan kerjanya , sebab jam makan siang telah berlalu sepuluh menit lamanya, dan di menit ke lima belas. Areta melihat kekasihnya itu berjalan menghampiri dirinya.                 “Ikut aku yuk” Ucap Arta pelan, tangannya menggenggam tangan Areta hangat, perasaan khawatir dalam diri Areta seketika sirna termakan oleh hangatnya genggaman Arta. Arta membawa Areta ke atas Rooftop kantor, membiarkan diri mereka berdua di terpa kencangnya angin pada siang itu. langit juga seakan mendukung, cuacanya tidak panas, dan juga terkesan akan hujan. Namun hanya mendung belaka.                 “Kok… tumben , ngajak aku kesini?” Tanya Areta, ia menatap mata Arta dalam – dalam. Arta menarik napas panjang, kemudian mengeluarkan tangan kanannya yang sedari tadi ia sembunyikan di balik kantung celana nya. Arta mengangkat tangan , menunjukan sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya. Areta diam sejenak , berusaha memahami apa yang di maksud oleh Arta                 “Maksud kamu?” Tanya Areta tidak mengerti                 “I'm going to marry a girl named Thalia” Ucap Arta dengan suara yang pelan, suaranya bahkan semakin pelan ketika Areta mendengar semuanya dengan jelas.                 Areta terdiam beberapa saat , kemudian tanpa ia sadari , air matanaya telah jatuh membasahi kedua pipi nya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD