3. Kemarahan Teman-Teman

1012 Words
Sudah lebih dari tiga pekan, aku tinggal di rumah lama. Rindu dengan Davin? Itu pasti. Namun, mau bagaimana lagi? Inilah konsekuensi yang harus kuterima, karena telah berani mengajukan gugatan cerai pada Mas Ferdi. Dengan uang yang dimiliki, Mas Ferdi dan Mami bisa membayar dua orang pengacara kondang nan hebat. Sehingga hak asuh Davin jatuh ke tangan mereka. Bahkan para advokat itu mampu memutar balikan fakta yang sesungguhnya. Dalam kasus perceraian kemarin, para pengacara itu menjadikan Mas Ferdi dan anak-anak sebagai korban. Sedang aku malah menjadi pihak yang bersalah. Mereka menuduh kalau aku tak layak mendapat hak asuh anak, karena telah tega menelantarkan Davin dan Abella dengan ke luar dari rumah tanpa seizin Mas Ferdi. Jadi waktu itu, selepas memergoki Mas Ferdi dan Nella, aku memang pergi dari rumah. Sekitar sepekan menginap di rumah Evi sang sahabat untuk menjernihkan pikiran yang kalut. Baru setelah merasa tenang, aku pulang dan langsung menggugat cerai Mas Ferdi. Tentu saja Mas Ferdi menolak mentah-mentah keinginanku untuk bercerai dengannya. Dia dengan segala pesonanya mencoba membujuk agar aku mau memaafkan kesalahan. Namun, aku bergeming. Karena dihianati sampai dua kali itu, rasanya sungguh teramat sakit. Apalagi oleh kawan sendiri. Itu luar biasa perih. Maka aku tetap pada pendirian, yaitu berpisah darinya. Bahkan dengan gagahnya aku menolak uang santunan dan harta gono-gini yang Mas Ferdi berikan, asal hak asuh kedua anak jatuh ke tangan. Sayang aku kalah dalam sidang. Para pengacara b******k itu mampu memisahkan aku dengan putra kesayangan. Terzholimi! Ya ... sungguh aku merasa benar-benar dijahati. Dengan teganya, para pengacara itu menuduhku sebagai seorang istri yang pencemburu berat. Terlalu cinta buta pada Mas Ferdi, sehingga tidak bisa membedakan antara persahabatan dengan perselingkuhan. Terlalu! Jelas-jelas aku mempergoki Mas Ferdi dan Nella telah berbuat m***m. Namun, apalah daya. Hingga kini uang tetap menjadi dewa bagi kebanyakan orang. Siapa yang memiliki banyak harta, dia akan mudah memenangkan perkara. Dan aku yang tidak punya uang harus siap menelan pil pahit kekalahan sidang. Dengan merelakan hak asuh Davin jatuh ke tangan Mas Ferdi. Sungguh sidang perceraian kemarin benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Mediasi yang digagas oleh hakim selalu gagal. Benar-benar alot. Hampir setahun masa terberat itu kujalani. Lalu kini awal babak baru dalam hidup sudah menanti di depan mata. Babak baru menjadi seorang single parent. Tak terasa air mata kembali menitik bila mengingat semua kejadian pahit itu. Bodoh! Bukankah aku sudah berjanji tidak akan menangis lagi untuk Mas Ferdi. Dengan secarik tisue kuhapus air mata ini. Lalu mulai memoles muka dan bibir dengan sedikit riasan. Tak mau terlihat sembap, area mata sengaja kuhias secantik mungkin. Karena hari ini aku berencana menemui teman-teman arisan di Star Buck Coffe. Tadinya enggan dengan acara kumpul-kumpul seperti itu, karena tengah berhemat. Apalagi saldo ATM mulai menipis. Sementara pekerjaan belum juga kudapatkan. Akan tetapi, sejak tadi pagi ponsel terus saja berdering. Teman-teman di WAG mendesak terus agar aku bisa datang. Maka, mau tak mau aku harus memenuhi kemauan mereka. Sekalian minta tolong pada Ria untuk mencarikan pekerjaan. Dari sekian banyak teman di grup arisan, hanya dia yang masih bekerja dan betah melajang. Jadi dulu, sebelum menikah dengan Mas Ferdi, aku dan Ria sama-sama seorang analis di HSBC kawasan jl. Gatot Subroto, Jakarta. Kemudian setelah menikah dan hamil Davin, aku mengundurkan diri dari situ. Setelah merasa cukup manis dengan make-up serta tunik motif kotak-kotak merah, aku telah siap untuk ke luar kamar. Setelah sebelumnya telah mencium kening Abella yang tengah terlelap tidur siang. Ah ... putri bungsuku yang malang. Dari pertama kali datang ke mari, dia terus saja merengek minta pulang ke rumah Mas Ferdi. Kangen sama Ayah dan Kakak, katanya. Dia juga memprotes kenapa aku tidak mengantarkan dia ke sekolah. Aku memang berniat memindahkan sekolah Abella, dari SD Polisi 4 ke Bina Insani. Ini kulakukan agar dia dan Davin tidak saling bertemu. Sehingga rasa rindu mereka tidak terlalu menggebu. Biarlah aku dianggap sebagai seorang ibu yang kejam. Karena tega memisahkan antara kakak dan adik. Tapi bukankah itu semua demi kebaikan mereka? Sebenarnya alasan utama pemindahan sekolah Abella adalah Davin. Aku takut bila nanti bertemu dengan Davin di SD Polisi 4, hatiku akan goyah untuk kembali ke rumah Mas Ferdi. Dengan jingkat-jingkat kecil, aku ke luar kamar. Kemudian ketika melewati ruang tengah, terlihat ibu tiri tengah asyik membaca majalah. Tampak pula adik tiriku sedang menemani putrinya yang seusia Abell bermain. Aku berhenti sejenak. "Aku pergi ke luar sebentar. Tolong titip Abell, ya," pamitku sembari menaruh selembar uang lima puluh ribuan di meja. Wanita itu menghentikan aktivitasnya untuk menatapku sekilas. "Hemm ...." Dia menyahut setelah melirik uang yang kutaruh. Lalu kembali membaca majalah. "Makasih." Aku pun bergegas ke luar rumah. Dengan langkah yang tergesa, aku menyusuri jalan. Padahal dulu paling malas yang namanya jalan kaki. Namun, sekarang terpaksa dilakukan karena sedang berhemat uang. Kemudian tidak lebih dari sepuluh menit, aku telah sampai di tempat yang dituju. Begitu tiba, semua teman segera menyambut hangat kedatangan. Mereka turut prihatin dengan nasib pernikahanku. Lalu ada juga yang memberi motivasi agar aku kuat menjalani masa depan. Ketika tengah asyik bercengkerama dengan teman-teman, tak disangka Nella menampakan batang hidungnya. Dia juga salah satu member grup arisan ini, tapi bukankah sudah dikeluarkan oleh Evi? Ya ... begitu mengetahui Nella telah mengkhianati aku, Evi sebagai sang sahabat pernah melabrak wanita itu. Apalagi saat aku kabur dan menginap dirumahnya akibat ulah Nella, Evi begitu meradang. Karena aku, Evi, Ria, dan juga Nella adalah sahabat dari SMA. "Hei ... SUND*L! Masih berani nampakin diri, ya?!" tegur Evi sinis "Iya. Lu udah bukan member ini lagi, PELAKOR MURAHAN!" Ria pun tak kalah kasar menimpali. Beberapa teman yang lain pun turut mengumpat wanita laknat itu. Namun, tidak denganku. "Ngapain kamu ke mari?" tanyaku dingin. Dengan tangan yang terlipat di d**a, kutatap matanya dengan tajam. Membuat wajah Nella kian pias ketakutan. "Ma-maafkan aku, Ay!" Tak disangka Nella bersimpuh dan memegangi kedua kakiku. "Cih! Itu air mata buaya, Ay. Gak usah tertipu tangisannya," ujar Devi salah satu temanku juga. Dirinya mencibir Nella dengan sinis. "Aya, a-aku mo-mohon tolong maafkan diriku!" Nella masih tetap bersujud di kaki. "Tolong juga sampaikan pa-pada Mas Rudi, kalo aku kangen Keyra," pinta Nella mengiba tersedu-sedu. Tangannya terus memeluk kaki ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD