Entah itu tangisan asli atau cuma tangisan pura-puranya Nella seperti yang dituduhkan Devi. Aku sendiri tidak tahu. Hanya saja suara wanita itu terdengar tergetar saat mengucap nama Keyra sang putri. Nella memang sudah resmi bercerai dengan Mas Rudi tiga bulan yang lalu.
Mas Rudi memang langsung menggugat cerai Nella begitu mengetahui kelakuan tercela istrinya dengan Mas Ferdi. Proses sidang perceraian mereka juga terbilang cepat. Sama sekali tidak berbelit-belit seperti sidangku dan Mas Ferdi.
Itu karena Nella pasrah saja saat hak asuh Keyra jatuh ke tangan Mas Rudi. Terlebih pula memang dirinya ketahuan selingkuh. Kata Mas Rudi, andai tidak memandang Nella sebagai ibu kandung dari Keyra, mungkin Mas Rudi sudah menjebloskan perempuan itu ke penjara dengan tuduhan zina.
"Bangun, Nell! Aku bukan Tuhan yang patut disembah," ujarku begitu terbuyar dari renungan. Tangan ini membimbing wanita itu untuk berdiri.
Namun, perempuan itu menolak. Entah tulus atau tidak Nella tetap saja bersujud di kakiku. Ketika aku memaksanya untuk berdiri, dirinya semakin mengeraskan isak tangisnya. Hal itu justru memancing cibiran sinis dari teman-teman. Mereka bilang kalau aksi Nella sangatlah lebay.
"Kamu pikir dengan menangis hebat seperti itu, semua akan kembali seperti biasa? Tidak!" Kembali kupaksa Nella untuk berdiri. Akhirnya, wanita itu mau berdiri, akan tetapi masih saja tersedu dengan bahu yang terguncang.
"Terus kamu pikir cuma kamu saja yang rindu sama anak? Big no! Aku juga sama, Nell. Berpisah dengan Davin itu sakit, TAU!" tegasku dengan tenang. "Sekarang jawab pertanyaanku tadi! Kenapa tiba-tiba kamu datang ke mari?" imbuhku kemudian.
Sengaja kubulatkan mata, agar Nella lekas menjawab pertanyaan. Hati ini sudah muak melihatnya. Kalau tidak ingat sedang berada di tempat umum, mungkin sudah kutampar mukanya yang pura-pura memelas itu.
"Mas Rudi tidak akan pernah mengijinkanku menemui Keyra, sebelum aku mendapat maaf darimu. Sementara aku dengar dari pengasuhnya, kalo anak itu tengah sakit, Ay," jawab Nella lirih. Terlihat dia mengelap sudut matanya dengan tisue.
"Biarin aja, Ay! Gak usah ditolongin wanita busuk itu. Biar dia tau rasa," suruh Evi sembari berkacak pinggang melotot ke Nella.
Namun, tak kugubris perintahnya. Segera ponsel pintar berlogo buah apel dari dalam tas LV aku ke luarkan. Kemudian nama Mas Rudi kuusap. Sengaja loudspeaker pun dinyalakan.
"Hallo ... selamat siang. Ada apa, Ay?" sapa Mas Rudi terdengar hangat dari seberang.
"Ini si Nella dateng sambil nangis-nangis. Dia bilang kangen sama Keyra yang lagi sakit. Ijinkan dia menemui Keyra, Mas." Aku meminta dengan tenang.
"Oh." Hening beberapa saat. "Ya udah, suruh dia ke rumah!" imbuh Mas Rudi kemudian.
"Oke. Makasih, Mas."
"Sama-sama."
Tombol merah pun kuusap.
"Terima kasih, Aya. Terima kasih. Kamu memang orang berhati mulia. Sekali terima kasih," ucap Nella bahagia usai aku memasukan ponsel ke tas.
Sebelum hengkang, Nella mengulurkan tangan. Namun, aku bergeming. Mungkin merasa malu karena jabatan tangannya kudiamkan, Nella pun beranjak ke luar kafe.
"Kenapa lu maafin si jalang itu, Ay? Gak seru ah!" protes Ria gemas usai Nella pergi.
"Apa yang Nella rasakan, aku pun tengah mengalaminya, Ria. Berpisah dengan anak itu menyedihkan." Aku beralasan.
"Tapi kan emang dia pantes mendapatkannya," sergah Ria masih terlihat bete. Gadis itu bergegas duduk kembali.
Lalu acara arisan pun kembali diteruskan. Sebenarnya Ria yang mendapat undian. Tetapi, karena merasa kasihan dengan kondisi keuanganku, dengan ikhlas hati dia menyerahkan uang itu padaku.
Aku bersyukur. Terima kasih Tuhan ... atas anugerah teman-teman yang luar biasa baik ini. Mereka selalu ada di saat aku butuh dukungan.
Merasa acara inti telah usai, aku bergegas pamit undur diri. Sebenarnya teman-teman melarang. Akan tetapi saat kuberi alasan bahwa Abella sendiri, mereka paham.
Begitu mendapat anggukan setuju dari teman-teman, aku segera beranjak pulang. Dengan langkah yang ringan seringan sepatu flat warna putih yang dipakai, aku menyusuri jalan. Entah mengapa hati ini ingin lekas sampai peraduan.
Kemudian rasanya tengah dalam mimpi, saat di teras rumah kujumpai Davin sedang tergelak riang bersama Abella. Untuk memastikan bahwa sedang tidak berhalusinasi, aku menampar pipi sendiri.
Auww ... sakit! Ini sungguh nyata! Davin ada di depan mata.
"Davin?" sapaku penuh haru sembari merentangkan kedua tangan. Putra kesayangan reflek menoleh.
"Bundaaa ...."
Davin menghambur dalam pelukan. Dia mendekap erat perutku. Aku sendiri menghujani pipinya dengan kecupan rindu. Abella pun tak mau ketinggalan. Gadis kecil itu ikut memeluk tubuhku. Kami jadi saling berpelukan bertiga.
"Davin kangen Bunda." Anak itu kembali mengeratkan pelukan.
Jleb!
Air mataku langsung meleleh mendengar ucapan polosnya.
"Davin ke sini sudah ijin sana Ayah?" tanyaku selirik usai melepas pelukan.
Davin menggeleng.
Kutengok sekeliling, tidak tampak seseorang yang mengantar Davin ke mari.
"Davin ----"
"Kalo Davin minta ijin sama Ayah, pasti gak dibolehin!" sela Davin memotong perkataanku. "Davin baru selesai les kumon. Karena sudah sangat kangen Bunda, makanya Davin minta tolong Abang ojek buat anterin ke sini," tutur Davin dengan polos.
Hati ini kembali trenyuh mendengar penuturan anak itu. Kembali pula kuraih kepala Davin dalam pelukan.
"Bunda ... Abell laper."
Ungkapan polos Abella membuat aku melepas pelukan.
"Memang Nenek belum ngasih ma'mam buat Abell?" tanyaku lembut. Abella menggeleng.
Seketika hatiku menjadi kesal pada ibu tiri. Terlalu! Wanita itu masih saja mengabaikan Abella. Padahal sudah kuberi mandat padanya agar menjaga Abella sebentar. Bagaimana nanti kalau kutinggal Abella kerja seharian?
"Davin juga laper, Bun. Tadi males makan waktu pergi les. Gak suka sama masakannya Mbak Leha." Davin berterus terang.
"Ya udah, bunda akan bikin makanan buat kalian. Yuk ke dapur!"
Anak-anak mengangguk semangat. Mereka berlarian menuju dapur. Tersenyum bahagia aku melihatnya dan lekas menyusul mereka. Namun, betapa terkejutnya diri ini, saat mendapati lemari pendingin tanpa isi.
"Risa!" Aku memanggil anak dari ibu tiri.
"Risaaa!"
Baru diteriakan kencang, wanita yang lebih muda tiga tahun dariku itu muncul.
"Apa, Teh?" tanya dia cuek.
Aku menunjuk isi kulkas yang kosong melompong. "Bukankah belum ada seminggu, aku ngasih uang belanjaan? Masa sekarang udah kosong lagi?!" protesku kesal.
"Emang Teh Aya ngasih uang berapa ke aku? Mikir dong harga sembako lagi mahal!" ujarnya sinis dengan bibir yang dibuat miring-miring.
"Kamu pikir aku gak pernah belanja sayur?" tukasku kesal. Namun, ketika mulut hendak berbicara lagi, Abell menarik-narik ujung pashminaku.
"Abell laper, Bun! Ayo cepat buat makanan!" rengek Abell.
"Makan di luar aja yuk, Bun!" Davin menimpali.
Tidak mau urusan dengan Risa menjadi panjang, kusetujui usulan Davin. Kami bertiga segera berlalu meninggalkan wanita montok itu.
Kembali aku dibuat terkesiap. Karena saat membuka pintu sudah ada Mas Ferdi berdiri mematung di depan pintu.
"Davin. Ayo pulang!"