Jelita berjalan di koridor klinik tempatnya bekerja dan memasukkan file pasien terakhir di mejanya. Ia mengurut kening dan berpikir tentang apa yang harus ia lakukan lagi. Kejadian tadi pagi membuat ia makin sedih. Bukannya membuat Samuel jadi cemburu, ia malah membuat kesalahan dengan kepergok berpura-pura.
Jelita lantas mengambil ponselnya dan mulai mode seperti seorang mantan yang tak bisa move on yaitu dengan mencari jejak di media sosial. Tujuannya ia ingin melihat dimana Samuel sekarang. Samuel adalah orang yang selalu update tentang dirinya.
Bibir cantiknya makin maju saat Samuel mengupdate foto dirinya dengan wanita yang sekarang menjadi kekasihnya. Mereka tengah makan malam di luar dengan pemandangan malam kota New York yang luar biasa. Ia bahkan memposting video pendek dan mereka berciuman.
Hati Jelita jadi makin sakit dan ia bahkan separuh melempar ponsel ke atas meja. Sambil separuh meremas rambutnya yang sedikit kecokelatan, Jelita jadi makin stress. Samuel kembali mengupdate statusnya memperlihatkan pada dunia bahwa dirinya sudah jatuh cinta dan kembali menikmati hidup.
“Kenapa kamu tega banget sama aku?” rengek Jelita meneteskan air matanya. Ia kesal dan hanya bisa menangis sendirian. Tiba-tiba ia bangun dan langsung mengambil tisu dan menyeka air mata dengan menepuk pelan.
“Gak, aku gak boleh menyerah! Aku harus bisa buat Sam balik sama aku!” ujar Jelita lagi. Ia melihat jam tangan dan jam tugasnya akan selesai dalam tiga puluh menit. Jelita jadi makin stres. Rasanya ia ingin menghampiri Sam dan melabrak wanita yang bersamanya.
“Ihh, sebel!” pekik Jelita makin kesal dan meneteskan air matanya.
***
“Apa kabar, Dek?” tanya Jupiter tersenyum lalu duduk di samping Putri. Putri memindahkan helai rambutnya ke balik telinga bermaksud untuk sedikit merapikan rambutnya.
“Kak Jupiter baru datang?” Jupiter mengangguk.
“Baru dari kamar Ares. Apa kalian udah ketemu?” Putri tertegun menatap Jupiter dan menggeleng. Jupiter mengangguk dan menggesekkan kedua tangannya bersamaan.
“Gimana kabar kamu?”
“Lebih baik, Kak!” jawab Putri dengan suara kecilnya. Jupiter mengangguk mengerti.
“Let’s talk, will you?” Putri hanya diam saja dan memilih untuk meluruskan posisi duduknya dengan buku yang ia baca dibawa ke dadanya. Sebelah tangannya meremas sisi buku itu. Rasa tak enak langsung menyelimuti hatinya. Ia tahu jika Jupiter pasti akan mengatakan hal yang kurang lebih sama namun meskipun begitu Putri menghormati dengan tetap mengangguk dan sedikit tersenyum.
“Bagaimana semuanya? Apa kamu masih marah sama Kakak?” tanya Jupiter dengan nada lembut. Putri tak menoleh dan hanya menundukkan pandangannya. Ia menggeleng pelan saja.
“Putri gak pernah marah sama Kakak. Justru Putri yang harus minta maaf. Selama ini Putri terlalu banyak salah sama Kakak,” jawab Putri dengan nada lembut. Ia menahan sebisa mungkin rasa rindunya pada Jupiter. Jupiter sempat memandang sedikit lekat pada Putri. Ada rasa bersalah menyelinap di dadanya. Seandainya ia bisa memutar waktu kembali, Jupiter tidak akan tergesa-gesa melamar Putri menjadi kekasih dan tunangannya.
“Kamu gak pernah salah sama Kakak. Kak Jupiter hanya terlalu sering meninggalkan kamu. Kamu gak seharusnya diperlakukan seperti itu.” Putri sedikit menoleh pada Jupiter dan tersenyum miris.
“Maafin Kakak, Sayang. Kakak terlalu cepat mengambil keputusan.” Putri tertegun sejenak. Jupiter kembali mengalihkan pandangan ke arah lain, ia harus menyusun kalimat sebaik mungkin.
“Maksud Kakak apa?” tanya Putri kemudian. Jupiter menggesekkan kedua tangannya bersamaan sambil tersenyum.
“Harusnya Kakak gak terburu-buru meminta kamu menjadi kekasih dan malah bertunangan dengan kamu. Kakak gak memberi kesempatan kamu untuk berpikir,” ujar Jupiter memupuskan semua harapan Putri. Putri melirik pada jemari Jupiter dan ia sudah tak lagi memakai cincin pertunangan mereka lagi. Sayangnya Putri masih memakai cincin itu. Putri pun menarik cardigan yang ia pakai agar tangannya tak terlihat. Rasanya ingin menangis tapi Putri tak ingin Jupiter mengetahuinya.
“Putri ngerti Kak,” jawab Putri pelan.
“Kakak gak mau kamu terus menerus bersedih bahkan sampai sakit seperti ini. Kak Jupiter sedih melihatnya,” ujar Jupiter tulus dan menyesal.
“Putri cuma kecapean, Kak. Bukan karena masalah kita. Putri gak mikirin itu kok!” ucap Putri berbohong tapi ia menoleh ke arah lain. Jupiter hanya tersenyum saja. ia tahu tak bisa memaksa Putri untuk mengaku. Yang penting bagi Jupiter, bahwa Putri bisa kembali pulih dan keluar dari rasa sedihnya.
“Kita masih temenan kok! Kamu masih bisa curhat atau cerita sama Kakak kayak dulu. Kakak pasti akan dengerin!” sambung Jupiter lagi. Putri hanya tersenyum saja. Ia tak mengangguk atau mengiyakan. Yang jelas ia tahu satu hal, Jupiter tak akan kembali.
“Kamu masih mau kan berbagi cerita sama Kakak?” Putri tersenyum dan mengangguk. Jupiter ikut tersenyum dan meraih tangan Putri lalu menggenggamnya.
Putri hanya membiarkan saja dan ikut tersenyum. Ponsel Jupiter bergetar beberapa saat kemudian. Jupiter menyengir pada Putri yang tersenyum. Ia melepaskan tangan Putri lalu merogoh ponsel di dalam saku jasnya. Mata dan alis Jupiter sama naik membesar melihat siapa yang meneleponnya. Jelita menghubungi di saat yang tak tepat sama sekali. Jupiter ragu mengangkatnya di tengah ia sedang bicara dengan Putri.
“Angkat aja, Kak. Gak apa!” ujar Putri kemudian. Jupiter tersenyum mengangguk. Ia mengambil panggilan telepon itu dan pekikan Jelita adalah yang pertama terdengar.
“Uhh ... kenapa kamu baru angkat sekarang!” pekik Jelita dengan kesal. Jupiter sampai terkesiap dan melirik pada Putri yang masih sesekali melihatnya.
“Aku baru tahu kamu menelepon!” jawab Jupiter dengan suara lebih rendah.
“Datang sekarang!” Jupiter mengernyitkan keningnya. Ternyata bekerja sampingan kadang merepotkan juga. Padahal Jupiter mengira ia bisa bersenang-senang menjadi kekasih bayaran.
“Ke mana?”
“Island Port!” kening Jupiter makin mengernyit. Untuk apa Jelita pergi sejauh itu sampai ke daerah dekat dermaga di sungai Hudson?
“Untuk apa ke sana?”
“Sudah datang saja!” rengek Jelita lagi. Suara itu yang membuat Jupiter luluh. Jupiter mengurut sejenak keningnya.
“Oke, beri aku 20 menit!”
“Sekarang?”
“Iya sekarang!” dengan cepat Jelita mematikan ponselnya sementara Jupiter harus mengelus d**a karena ia selalu jadi pihak yang dimatikan sambungannya.
Setelah menghela napas sambil memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jas, Jupiter ingin berbicara kembali pada Putri.
“Kakak mau pergi ya?” tanya Putri bertanya lebih dulu sebelum Jupiter bicara. Jupiter mengatupkan bibirnya dan mengangguk.
“Ya, ada urusan sedikit.” Jupiter tersenyum lagi dan membelai rambut Putri dengan lembut.
“Asal kamu tahu, rasa sayang Kakak gak berubah sama kamu. Tapi untuk saat ini dan seterusnya, kita hanya bisa menjadi saudara ... sama seperti dulu. Kakak beneran sayang sama kamu. Cepat sembuh ya, Sayang. Hubungi Kakak kapan pun!” ucap Jupiter terus memastikan jika dirinya akan terus bersama Putri apa pun keadaan mereka. Putri hanya tersenyum dan Jupiter mendekat untuk memeluk lalu mencium keningnya. Putri memejamkan matanya saat Jupiter memeluk sambil meremas buku yang tengah ia peluk. Bukan rasa hangat yang ia rasakan tapi seperti luka hatinya disiram oleh air garam. Putri menahan sekuat mungkin agar tak menangis sampai Jupiter melepaskan pelukan dan ciumannya.
“Kakak pulang dulu?” Putri mengangguk lagi dan hanya bisa melihat Jupiter berjalan membuka pintu penghubung dan kembali ke kamar Ares. Baru setelah itu air mata Putri berlomba jatuh ke pangkuannya.