16. Calon Suami Masa Depan

1836 Words
"MIA!" Hani berteriak heboh ketika melihat Mia berjalan memasuki kelas. Ia langsung berdiri dan menghambur memeluk Mia. "Akhirnya lo balik lagi ke sekolah!" Riri juga mendekat, tapi dengan sikap yang jauh lebih tenang. "Udah sehat?" Lalu menyusul pula teman-teman perempuan lain memberondong Mia dengan berbagai pertanyaan. "Sakit apa?" "Pulang ke Bandung?" "Siapa yang ngurus pas sakit?" Memang teman dekat Mia adalah Riri dan Hani, tapi dengan yang lain pun ia cukup akrab. Apalagi mengingat Mia ini salah satu sosok primadona di SMA Pelita Persada, tidak heran jika banyak anak yang ingin berakrab-akrab dengannya. Ketika tahun lalu berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah, Mia tidak pernah membayangkan jika kehidupan SMA-nya akan semenarik ini.  Sejak kecil, Mia hanya bersekolah di tempat sederhana. Maklum, di Ciwidey tidak ada sekolah elit macam Pelita Persada. Itu pula yang membuat Radian dan Mariana memutuskan mengirim anak-anak mereka ke Jakarta untuk mendapatkan pendidikan terbaik. Empat tahun lalu Martin sudah lebih dulu ke Jakarta saat masuk kelas X, tahun lalu Mia yang menyusul. Awalnya Mia datang dengan perasaan gentar dan minder. Bagaimana caranya ia beradaptasi dengan kehidupan perkotaan dan bergaul dengan anak-anak kota padahal selama ini ia hidup di pelosok. Peternakan sapi milik Radian letaknya memang jauh dari kota, maka tidak heran jika kehidupan Mia tidak tersentuh gemerlap perkotaan. Namun, beruntung Mia bisa beradaptasi dengan mudah dan diterima baik. Bahkan gadis itu menjadi incaran para murid lelaki, banyak yang berlomba-lomba menarik hati mojang Bandung ini. Mia tersenyum bahagia melihat sambutan teman-temannya. "Baru juga seminggu enggak masuk." "Seminggu tuh lama tau!" gerutu Hani yang masih tidak mau melepaskan rangkulannya. "Kan sekarang udah masuk," sahut Mia geli. "Sehat-sehat, ya! Jangan sakit lagi," ujar Hani sungguh-sungguh. Setelah interogasi beberapa saat lagi, barulah Mia diizinkan berjalan menuju tempat duduknya. Begitu duduk dan hendak menyimpan tas di laci meja, Mia terkejut. Lacinya penuh barang, padahal biasa selalu kosong. Refleks Mia membungkuk untuk memeriksa dan tercenganglah gadis itu. Berbagai barang aneka bentuk ada di dalam sana, mulai dari cokelat, kue kering, pernak-pernik, komik, DVD lagu, dan masih banyak lagi, memenuhi lacinya. "Ri." Mia memanggil Riri yang duduk di meja sebelah kirinya. "Ya?" Mia menjulurkan badan sedikit lebih dekat ke meja Riri lalu berbisik. "Laci gue kok penuh barang-barang?" Hani yang duduk di depan Riri langsung menoleh dan menjawab. "Dari para fan lo yang bersedih karena pujaan hati mereka enggak masuk-masuk." Mia mengangguk paham. Namun, masih ada satu yang membuatnya heran. Ada sebuah buku tulis dengan cover berwarna biru muda, persis warna kesukaannya, bergambar gadis mungil bertopi putih. Mia sudah melihat isinya, hanya catatan pelajaran yang dicatat dengan sangat rapi, tulisannya pun sangat indah.  Mia mengambil buku itu dan memperlihatkannya. "Yang ini?" "Itu dari Kak Arcel. Isinya semua catatan pelajaran selama lo sakit. Dia pinjem catetan gue terus bikinin buat lo," jawab Riri. "Wah!" Mia berguman takjub. "Luar biasa ya, dia!" puji Hani kagum. "Caranya ngasih perhatian tuh beda. Dewasa." Riri mengangguk setuju. "Di saat yang lain ngasih perhatian dengan cara beliin lo hal-hal konyol enggak guna, Kak Arcel bisa-bisanya kepikiran bikinin salinan catatan supaya lo enggak keteteran." Tanpa sadar, Mia tersenyum. Ia merasa tersanjung dengan perhatian manis yang Lio berikan. Rasa kangennya melihat sosok cowok itu semakin membubung. Namun, ia belum melihat Lio sama sekali sejak tiba di sekolah. "Lio mana ya?” “Cie, nyariin!” goda Hani. Mia tidak mengelak. “Enggak boleh?” “Cie, ngaku!” ejek Hani makin menjadi. “Ledek terus!” gerutu Mia. “Tadi kayaknya udah dateng, tapi enggak keliatan nongol di sekitar sini,” ujar Riri. “Tumben. Biasanya ….” Mia tidak jadi mengucapkan kelanjutannya. “Biasanya selalu beredar di sekitar kelas kita?” sambung Hani. “Eh?” Mia mengerjap kaget. “Dia enggak tau lo bakal masuk hari ini kali,” ujar Riri. “Iya kali ya.” “Lo udah sarapan?” tanya Riri sambil melirik jam tangannya. Bel masuk akan berbunyi sekitar tujuh menit lagi. “Udah.” “Gue belum, nih! Gue ke bawah dulu ya, beli roti bentar.” “Gue ikut, dong!” seru Hani. “Lo ikut, Mi?” tanya Riri. “Enggak, deh!” “Mau nitip sesuatu?” tawar Riri. Mia menggeleng. “Makasih.” Hanya berselang beberapa detik setelah Riri dan Hani keluar kelas, Lio datang. Cowok itu berjalan tenang ke mejanya, tersenyum lembut seperti biasa lalu menyapa Mia. “Udah sehat?” Jantung Mia bergemuruh hebat. Alih-alih bicara banyak, ia hanya mengangguk kecil. “Jangan sakit lagi,” ujar Lio. “Iya.” Mia mengangguk kemudian teringat buku biru yang masih dipegangnya. “Li ….” “Ya?” “Makasih catatannya,” ujar Mia tulus. “Kembali kasih.” Suguhan pagi Mia hari ini begitu memuaskan dahaga. Suara lembut Lio, tatapan hangatnya, dan senyum ramah cowok itu merupakan perpaduan sempurna untuk buat jantung Mia salto. Namun, kesenangan Mia tidak bertahan lama. Jika biasanya Lio akan menghabiskan waktu berbincang dengan Mia, pagi ini tidak. Lio hanya mampir sesaat lalu segera meninggalkan kelas Mia.  *** Siang harinya, saat jam istirahat kedua, tiba-tiba muncul seorang guru yang belum pernah Mia kenal. Maksudnya Mia tahu guru ini, Pak Ridwan namanya, mengajar Fisika kelas XII, tapi guru ini tidak pernah mengajar kelas mereka. “Di sini ada yang namanya Mikaela Winona?” Ridwan melongok di pintu kelas dan bertanya dengan suara kencang. “Mi, dicariin!” bisik Ririn. Buru-buru Mia mengangkat tangan. “Saya, Pak!” “Tolong kamu ke ruang guru dan ambil sesuatu,” ujar Ridwan tanpa berniat memelankan suaranya. “Ambil apa ya, Pak?” “Ada kiriman dari seseorang yang katanya spesial.” Siulan dan celetukan usil segera terdengar dari anak-anak lain yang kebetulan ada di kelas juga pada jam istirahat. “Baik, Pak. Saya ke bawah.” Mia berdiri cepat lalu menyambar tangan kedua temannya. “Ri, Han, temenin!” Tanpa rewel, keduanya menemani Mia mengekori langkah Ridwan. Turun dua lantai untuk menuju ruang guru. “Nah, Mikaela!" ujar Ridwan ketika tiba dekat ruang guru. Ia menunjuk ke meja piket di depan ruang guru. "Silakan ambil, itu kirimannya. Maaf tidak dibawa ke dalam, meja-meja guru pada penuh.” Di atas meja piket itu, tampaklah buket bunga cantik berukuran besar yang terlihat sangat mencolok. “WOW!” Hani berdecak kagum melihat paket yang dikirimkan untuk Mia. “Mi! Lo banyak fan banget sih!”  “Dari siapa, tuh?” celetuk Riri penasaran. “Enggak tau.”  “Coba liat di kartunya," usul Riri. Mia mendekat dan mencari-cari kartu ucapan dari sang pengirim. Tanpa curiga, dibacanya cepat. “Teruntuk Mia yang cantik. Senang rasanya mendengar kamu sudah sehat kembali. Jangan sakit lagi ya. Aku harap kamu selalu sehat agar kita bisa segera bertemu. Dari aku yang selalu mengkhawatirkanmu. Calon suami masa depan. Mas B.” Sampai di bagian 'Mas B.' bergidiklah Mia. Langsung tahulah dia ulah siapa gerangan. “Gile! Bahasanya norak banget!” Hani terlihat mual. “Sweet sih, tapi berlebihan enggak sih?! Masa iya ngirim ke sekolah?” ujar Riri tidak suka. “Mi, ini penggemar lo?” tanya Hani sambil membaca kembali tulisan di kartu. “Atau bener calon suami?” “Mas B. Siapa sih?” Riri juga tidak kalah penasarannya. “Bukan siapa-siapa.” Cepat-cepat Mia menjejalkan asal kartu itu ke saku, lalu menyambar kasar buket bunga dari meja. Pikirannya penuh. Kesal sekali membayangkan berani-beraninya Broto menunjukkan eksistensinya seperti ini! “Kok, gue jadi penasaran ya?” gumam Hani sambil mengiringi langkah cepat Mia kembali menuju lantai 3. “Enggak usah penasaran. Orang enggak penting,” sahut Mia ketus.  “Berarti lo tau orangnya?” tanya Riri curiga. Mia menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan, langkahnya semakin tergesa. “Mi?” desak Riri. Mia tiba-tiba berhenti melangkah, kebetulan lorong dekat tangga lantai 2 ini biasanya sepi karena merupakan ruang penyimpanan karya anak-anak yang jarang dikunjungi. “Gue tau.” “Siapa?” ujar Hani. “Anak sini?” tebak Riri. “Bukan.” “Terus?” Hani semakin penasaran. “Anaknya temen nyokap gue.“ “Terus urusannya sama lo apaan?” tanya Hani tidak mengerti. Riri memicingkan mata. “Dia naksir lo?” “Jangan bilang lo sama dia ini dijodoh-jodohin kayak cerita-cerita sinetron gitu?” celetuk Hani asal. Namun, tidak disangka Mia malah mengangguk, membuat kedua temannya melongo hebat. Hani mengerjap bodoh. “Beneran?”  Mia mengangguk kecil. “Wah, enggak bener!” seru Riri tidak percaya. “Masa hari gini masih main jodoh-jodohan?” “Enggak taulah! Gue aja udah putus asa mikirinnya.” “Jadi beneran, Mi?” desak Riri memastikan. “Sebenernya minggu lalu gue sampe sakit gitu tuh gara-gara mikirin ini. Sabtu kemarin keluarga temennya nyokap dateng ke apartemen dan ngadain pertemuan keluarga gitu buat ngeresmiin ikatan di antara gue sama orang itu.” Hani bergidik ngeri. “Terus lo mau?”  “Ya, enggaklah! Tapi nyokap enggak mau tau.” “Lo udah ketemu orangnya?” tanya Riri hati-hati. “Gue enggak mau. Cuma liat fotonya aja.” “Cakep?” Entah mengapa juga Hani harus bertanya demikian. “Jangan tanya deh!” seru Mia gusar. “Terus ini bunga mau lo apain?” Riri melirik buket yang masih Mia pegang sejak tadi. “Buang,” ujar Mia kejam. “Enggak sayang?” tanya Hani. “Enggaklah! Ngapain juga pake sayang?!” Sekeras Mia berseru kesal, seperti itu juga ia membanting buket ke lantai bahkan menginjaknya, melampiaskan kekesalannya pada sosok Mas B dan Ratu Tega.  Kedua temannya membiarkan saja Mia meluapkan kekesalan, sampai tiba-tiba pintu ruang pemajangan karya terbuka dari dalam. Mia menatap ngeri pada sosok cowok yang berdiri di ambang pintu. “Lio?” Hani pun tidak kalah terkejut. “Sejak kapan Kakak di situ?” “Udah lumayan lama?” tanya Riri hampir bersamaan. Lio hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. “Lagi ngapain, Kak?” tanya Hani. Lio mengangkat kamera di tangannya lalu menunjuk ke dalam. “Fotoin karya anak-anak science club.” Riri menatap Mia yang terlihat pucat, lalu kembali bertanya. “Kak Arcel denger obrolan kita bertiga?”  “Enggak niat curi dengar, tapi terdengar.” “Kakak denger tentang Mia dijodohin?” ujar Hani. Lio tidak menjawab, hanya tersenyum tenang. Setelah itu ia menutup pintu lalu berjalan menuju tangga. "Lanjutkan lagi aja ngobrolnya, aku udah selesai di sini.” Ketiganya terdiam beberapa saat lagi sampai yakin Lio sudah cukup jauh. “Gawat!” desis Hani. “Kenapa?” Mia yang sejak tadi kehilangan kata, akhirnya bisa bicara lagi. “Kalo gara-gara ini dia jadi mundur deketin lo gimana?” tanya Hani. Mia mengembuskan napas kencang. “Gue emang udah mikirin ini.” “Maksudnya?” Mia tersenyum sumbang. “Yah, jujur aja gue sedih banget. Kalian tau kan, gue tuh ngerasain sekolah di Jakarta baru setahun. Ngerasain sekolah di sekolah populer, punya temen-temen yang seru kayak kalian, ditaksir cowok ganteng juga, tapi baru juga gue nikmatin itu sebentaran, nyokap gue bikin semua berantakan. Kalo anak-anak lain tau gue dijodohin, gimana hebohnya coba? Belum lagi kalo cowok yang gue juga taksir tau, apa dia enggak bakal menjauh? Eh, sekarang Lio malah liat gue dikirimin bunga begini. Apa dia enggak jadi mikir aneh-aneh?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD