PENDOSA 9

1310 Words
Tersisa hari ini dan masa cutiku pun usai. Sedih sejujurnya, harus meninggalkan Putik untuk bekerja. Tetapi, aku butuh pemasukan agar uang tabunganku tidak terkuras habis. Aku tidak ingin merepotkan siapa pun, termasuk Wisnu. Uang dari pria itu, masih utuh di dalam amplop, sama sekali tidak kuambil selembar pun. Aku masih berkeinginan untuk mengembalikan uang tersebut. Sayangnya, ketika Wisnu menjenguk Alia yang masih berumur seminggu, Wisnu datang bersama Handini dan Semeru, sehingga aku tak memiliki kesempatan untuk mengembalikan uang miliknya. Bisa saja aku mentransfer uang tersebut ke rekening Wisnu, tapi aku takut tindakanku menjadi pemicu pertengkaran Wisnu dan Handini. Kutatap Alia yang tertidur pulas setelah menyusu lama. Aku sendiri tengah merapikan kos. Tadi sudah mengepel lantai, merapikan barang-barang yang kadang kuletakkan tidak pada tempatnya. Dan saat ini aku tengah melipat pakaianku, juga milik Alia. Alia tumbuh dengan semestinya. Berat badannya normal dan sangat jarang rewel, seolah bayiku ini mengerti jika kami tinggal hanya berdua. Ketika aku mulai bekerja nanti, Alia akan kutitipkan pada salah satu tetangga kos yang menawarkan diri untuk merawat Alia selama aku bekerja. Aku jelas setuju, karena tak mungkin membawa Alia ke binatu. Meski itu artinya, aku harus merogoh tabunganku, untuk membayar pengasuh Alia. Karena gaji dari binatu jelas tak akan cukup untuk memenuhi segala kebutuhanku dan Alia. Aku pun bekerja seperti biasa. Diawali dengan bangun pukul setengah lima pagi. Setelah menyiapkan segala keperluanku dan Alia, kubawa Alia ke tempat pengasuhnya. Terpaksa Alia kuberi s**u formula selama aku bekerja, agar tidak merepotkan Bu Salem. Hari-hari kujalani seperti biasa. Bekerja, sepulang bekerja kujemput Alia di tempat Bu Salem. Lantas aku pulang ke kos. Beruntungnya Alia sangat jarang menangis dan rewel. Tidurnya pun mudah, dengan jam tidur yang teratur. Akan tetapi, setelah dua bulan bekerja pasca cuti melahirkan, gaji dari binatu benar-benar minus. Tabunganku terpakai cukup banyak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku dan juga Alia. Aku merenung sembari menyusui Alia. Memikirkan rencana ke depanku harus bagaimana. Jika aku terus bertahan di binatu tersebut, maka tabunganku akan semakin menipis, bahkan bisa saja habis. Dan aku tidak akan memiliki apa-apa lagi. Lalu pada siapa nanti aku harus meminta bantuan? Mencari pekerjaan baru menjadi rencana terdekatku saat ini. Kucoba browsing lowongan yang ada di daerah sekitar sini sembari kusiapkan CV-ku. Namun kebanyakan lowongan yang ada hanya di peruntukkan untuk usia dibawah 30 tahun. Sedangkan usiaku saja satu bulan lagi sudah 31 tahun. …. Sore ini aku duduk-duduk dengan Sela di ruang tamu kos, sembari mengasuh Alia, dan kuceritakan pula rencanaku yang ingin mencari pekerjaan baru. “Bukan saya tidak bersyukur Sela. Tetapi kalau terus minus seperti ini, tabungan saya lama-lama akan habis.” Kutumpahkan keluh kesahku pada Sela. Aku sudah berusaha hemat dengan tidak membeli barang-barang yang tidak penting, asal makananku bergizi karena saat malam Alia masih meminum ASI. “Nanti Sela coba carikan ya, Kak. Kakak sabar aja, pasti nanti ada pekerjaan baru untuk Kakak,” ucap Sela dengan optimis yang membuat semangatku semakin tumbuh. “Sela punya banyak kenalan, salah satu dari mereka pasti ada yang bersedia menerima Kakak sebagai pekerjanya nanti.” “Terima kasih banyak, Sela,” ucapku tersenyum haru. Ah, berysukur sekali aku bertemu dengan Sela di kota ini. Pekerjaan Sela yang sebagai pemandu lagu mungkin dianggap rendah oleh sebagian orang, tapi Sela adalah gadis baik yang bagiku saat ini adalah seperti malaikat tanpa sayap. … Sela menepati janjinya. Satu minggu kemudian, Sela mengabari, jika ada lowongan pekerjaan di sebuah kafe di pusat kota. Karena pagi hingga sore aku bekerja, manajer kafe mengizinkanku datang pada sore hari. Sore harinya, setelah berganti pakaian dengan kemeja putih dan celana pipa, kulangkahkan kaki menuju kafe tersebut. Jaraknya sekitar 5 km dari kos dan aku memesan ojek daring untuk tiba di sana. Tiba di lokasi aku segera diarahkan menuju sebuah ruangan. Rupanya, bukan hanya aku yang akan diwawancara pada sore hari ini. Ada sekitar lima gadis yang sepertinya juga baru lulus sekolah, yang akan bertemu dengan manajer kafe. Sesi wawancara dimulai dengan memperkenalkan diri. Dan sesuai tebakanku, ketiga dari para gadis itu baru saja lulus SMA dan dua lainnya masih berkuliah. Dalam hati aku ingin tertawa, aku menjadi yang paling tua di sini, seperti tante untuk para gadis-gadis ini. Tiga puluh menit setelah sesi wawancara selesai, manajer kafe mengumumkan siapa diantara kami yang akan diterima untuk menjadi karyawan di kafe ini. Hasilnya, aku menjadi satu-satunya yang tidak diterima. Alasan pertama, karena aku sedang memiliki bayi, kedua karena umurku yang sudah lebih dari 31 tahun. Dengan sedikit perasaan kecewa, aku pulang menggunakan ojek daring. Hari sudah malam begitu aku tiba di bangunan kos. Baru saja aku membuka gerbang utama, Sela berlari kecil menghampiriku. “Kak Putik, ada tamu,” beritahu Sela. Kukunci lebih dulu gerbang utama, lalu bertanya pada Sela, “Tamu untuk saya? Siapa?” “Kak Wisnu,” jawab Sela yang seketika membuat dadaku berdebar. “Sendiri? Atau dengan siapa?” tanyaku penasaran. “Sendirian,” jawab Sela. Dan kami beriringan berjalan menuju ruang tamu kos. “Bukannya Kak Wisnu sudah menikah lagi kan, Kak? Kenapa masih suka ke sini sendirian? Memang istrinya nggak marah kalau tahu Kak Wisnu datang ke sini?” “Saya juga tidak tahu, Sela,” jawabku pasrah. Sama seperti Sela, aku pun penasaran dengan sikap Wisnu yang seperti ini. Mengapa dia datang lagi ke sini sendiri? Apakah Handini tahu hal ini? Atau Wisnu tidak memberitahunya? “Ya sudah, Kakak temui Kak Wisnu. Biar Alia sama Sela. Tadi Alia masih tidur di tempat Bu Salem.” “Makasih, Sel,” kataku tersenyum menyentuh pundaknya. Kehela napas sebelum berjalan mendekat pada Wisnu. Kulihat Wisnu tengah sibuk dengan ponselnya, di hadapannya tersedia minuman kemasan, yang kuyakin Sela yang sudah menyediakannya. “Nu,” sapaku, lalu duduk di salah satu tempat duduk yang kosong. “Sudah lama menunggu?” tanyaku berbasa-basi. “Belum terlalu lama.” Wisnu menjawab dengan tenang, lantas meletakkan ponselnya di atas meja. “Kamu sedang emncari pekerjaan baru?” tanya Wisnu kemudian. “Iya, Nu.” Aku mengangguk pelan. “Sekarang sudah ada Alia, kalau mengandalkan gaji dari binatu tentu tidak akan cukup, Nu,” ujarku berterus terang. “Aku paham. Semoga secepatnya kamu mendapatkan pekerjaan baru,” kata Wisnu terdengar begitu tulus. “Terima kasih, Nu. Eee, lalu ada perlu apa kamu kemari, Nu?” Wisnu menghela napas lebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku, “Saya ingin meminta izin untuk melakukan tes DNA pada Alia. Apa kamu mengizinkan, Putik?” “Ka—kamu serius, Nu?” tanyaku terkejut. Kupikir Wisnu benar-benar tak peduli dengan Alia, karena aku sendiri yakin, jika Alia adalah darah daging Bhumika. Meskipun ada kemungkinan Alia adalah darah daging Wisnu, namun sangat kecil sekali kemungkinan itu. “Apa saya terlihat sedang bercanda, Putik?” tegasnya yang segera kujawab dengan gelengan. “Beberapa waktu terakhir ini, aku terpikir untuk melakukan tes DNA, supaya jelas, siapa ayah dari Alia sebenarnya. Kalau memang Alia adalah anak saya, maka saya akan bertanggung jawab untuk membantumu dari segi finansial. Dan kalau memang bukan, mungkin saya akan membantumu meminta pertanggungjawaban pada laki-laki itu.” Mataku berkaca-kaca seketika mendengar penjelasan Wisnu. Bagaimana bisa Wisnu masih sebaik ini, setelah kusakiti sedemikian rupa. “Nu, terima kasih banyak,” isakku. Bagaimana bisa, aku menyakiti pria sebaik Wisnu dan justru jatuh hati pada pria berengsek seperti Bhumika. Bodoh sekali kamu Putik! “Apa kamu sudah mencoba menghubungi laki-laki itu?” Aku menggeleng lemah. “Aku sudah bertekad akan membesarkan Alia seorang diri, Nu.” “Kenapa? Apa dia benar-benar tidak pernah menghubungimu lagi?” Kening Wisnu berkerung dalam. “Apa aku belum pernah mengatakan padamu, Nu, jika dia justru memintaku untuk menggugurkan kandungan?” “b******n sekali laki-laki itu!” Wisnu berkata geram. Rahangnya terlihat menegang. Wisnu terlihat sangat murka. “Dan kamu, kenapa bisa sebodoh ini, Putik? Kenapa bisa kamu jatuh cinta dan menyerahkan harga dirimu pada laki-laki b******n seperti dia? Kenapa?!” teriaknya marah. Ditengah isakku, aku menggeleng lemah. “Aku juga tidak tahu, Nu. Maafkan aku, Nu. Maaf.” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD