PENDOSA 10

1149 Words
Sejak pagi, aku sudah menunggu dengan gelisah kedatangan Wisnu. Pria itu berjanji akan datang sore ini, untuk memberitahukan hasil tes DNA Putik dengan dirinya. Sebenarnya aku sudah meminta Wisnu untuk mengatakannya melalui telefon saja atau memfoto hasil tes tersebut, tetapi pria itu bersikukuh untuk datang kemari. Kutatap Alia yang sedang asyik menggigiti teether-nya. Aku tersenyum pada bayi kecil ini. Sebentar lagi akan semakin jelas siapa sebenarnya ayah dari Alia sebenarnya. Entah Wisnu atau Bhumika yang ternyata adalah ayah dari Alia, sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam hidupku. Karena aku akan tetap membesarkan Alia seorang diri. “Anak, Mama.” Kuciumi pipi montok Alia. Gemas sekali rasanya pada bayi ini. Wajah Alia begitu cantik. Matanya kecil, bulu mata dan alisnya lebat. Hidungnya mancung, sementara bibirnya tipis dan kecil. Jika kuamati dari proporsi wajahnya, wajah Alia lebih mirip pada wajah Bhumika ketimbang wajah Wisnu. Tetapi ya, aku akan menunggu hasil yang dibawakan Wisnu nanti. Tepat pukul tiga sore, Wisnu mengabariku jika pria itu telah tiba. Dengan d**a berdebar, aku menuju gerbang utama sembari membawa Alia dalam gendongan. Kubuka gerbang dan kupersilakan Wisnu masuk ke dalam area kos, lalu mengunci gerbangnya kembali. Kami duduk berhadapan di ruang tamu kos dengan terhalang meja kayu. Sementara Alia duduk tenang di pangkuanku masih dengan teether-nya di genggaman. “Alia,” gumam Wisnu tersenyum tipis pada bayiku. “Apa kamu sudah meminta izin pada Handini untuk datang kemari, Nu?” tanyaku padanya. Aku tidak ingin Handini salah paham dengan seringnya Wisnu datang kemari. Bagaimana pun saat ini wanita itu adalah istrinya, sedangkan aku hanya mantan istri Wisnu. “Sudah. Tadinya saya ingin mengajak Handini dan Semeru, tapi berhubung Semeru sedang flu, ya jadi saya ke sini sendiri,” ujar Wisnu. Sedih rasanya mendengar Semeru sedang sakit, sementara aku tidak bisa merawatnya. Seandainya semua ini tidak terjadi, tentu saat ini aku yang tengah merawat Semeru, bukan Handini. “Jangan khawatir, Semeru hanya sedikit demam dan sudah saya bawa ke dokter,” ucap Wisnu menenangkanku. “Terima kasih, Nu.” Meski sedih, aku mencoba untuk tetap tersenyum. Wisnu mengangguk dan meraih tas tangannya. Ia membuka tas hitam tersebut dan mengambil sebuah amplop putih dari dalam sana. “Semuanya terjawab di sini.” Wisnu menyerahkan amplop tersebut padaku. Kupandangi amplop putih yang Wisnu letakkan di atas meja. Kupandangi selama beberapa saat dengan perasaan tak karuan. Jawaban siapa ayah dari Alia akan terjawab di sana. Meski tidak akan berpengaruh dalam kehidupanku selanjutnya, tapi setidaknya kami semua akan tahu siapa sesungguhnya ayah Alia. Tanganku bergetar meraih amplop tersebut. Meski aku yakin, Bhumika adalah ayah dari Alia, tetapi tidak menutup kemungkinan Wisnu adalah ayah dari bayi yang sekarang sedang kupangku ini. Bagaimana pun, aku sudah melakukan hubungan badan dengan kedua pria itu di waktu yang hampir bersamaan. “Bacalah, Putik,” perintah Wisnu. Kubuka amplop tersebut, meraih isi di dalamnya berupa selembar surat. Dengan tangan yang semakin bergetar dan debaran d**a yang semakin menggila kubuka lembaran surat tersebut. k****a dengan teliti dari bagian teratas surat, hingga bagian terbawah. k****a ulang sekali lagi untuk memastikan jika aku tak salah membaca. Ada perasaan lega tersendiri, ketika membaca hasil tes DNA tersebut; probabilitas Wisnu Narendra sebagai ayah biologis dari Inggita Alia Senabhumika adalah 0%. Keputusanku menamai Alia dengan nama Senabhumika, yang kuambil dari nama Arsena Bhumika rupanya tepat. Alia memang darah daging pria itu. Meski Bhumika tidak mengakuinya, tak apa. Dibandingkan Alia ternyata adalah darah daging Wisnu, semuanya akan menjadi rumit. Wisnu yang sudah menikah lagi dengan Handini. Keluarga Wisnu yang belum tentu juga akan mengakui Alia. Lebih baik begini, Alia adalah darah daging Bhumika, meski pria itu tidak mengakuinya. Pada saatnya nanti, aku bisa saja mengatakan ayahnya telah meninggal dunia. “Saya bisa membantumu untu mencari keberadaan pria itu, Putik.” Wisnu kembali menawarkan bantuan. “Aku tidak ingin mengemis, Nu. Biar saja, Alia kuurus sendiri.” Aku tersenyum pedih. Bohong, bila aku tak merasa kesepian dan lelah. Tapi mau bagaimana lagi? Ini semua bagian dari karma yang harus kujalani atas dosa yang telah kulakukan. “Mengurus anak seorang diri tidak mudah, Putik. Terlebih kamu juga harus bekerja untuk menghidupi kalian. Setidaknya jika laki-laki itu tahu tentang keberadaan Alia, dia bisa membantumu dari segi finansial, meski mungkin tidak bisa menikahimu.” Wisnu memberikan solusi. Kudekap Alia lebih erat dan tak mampu menahan lelehan bening yang perlahan meluncur membasahi pipi. Sesak rasanya membayangkan bagaimana nanti aku harus menjalani kehidupanku berdua saja dengan Alia. Tapi sekali lagi, aku tak ingin mengemis pada Bhumika. “Meski sulit, aku yakin, aku mampu melewatinya, Nu,” ucapku terisak. “Ah, sebentar Nu, aku ingin mengembalikan sesuatu.” Aku kemudian berdiri dan bergegas ke kamar. Aku belum sempat mengembalikan amplop berisi uang milik Wisnu. Minggu lalu saat pria itu meminta izin untuk melakukan tes DNA, aku melupakan amplop tersebut. “Nu, maaf hanya ada ini.” Kuhidangkan sebotol minuman kemasan dan setoples biskuit. Terlalu fokus pada hasil tes DNA, membuatku lupa untuk menghidangkan suguhan untuk Wisnu sebagai tamuku. “Apa yang ingin kamu kembalikan?” tanya Wisnu setelah mengucapkan terima kasih. Kuambil amplop yang kusembunyikan di dalam gendongan, kemudian kuletakkan di atas meja. “Maaf, Nu, aku tidak bisa menerima ini. Aku rasa aku tidak pantas menerimanya. Lebih baik, kamu gunakan uang ini untuk sekolah Semeru saja, karena aku tak bisa membantu apa-apa selain mendoakannya,” ujarku dengan hati-hati. Kulihat rahang Wisnu mengeras. Pria itu terlihat marah atas penolakanku. “Kamu sendiri yang mengatakan kehidupanmu nanti tidak akan mudah. Dan kamu ingin mengembalikan uang itu, Putik?” tanya Wisnu dengan marah. “Kamu tidak perlu memusingkan bagaimana Semeru. Semua kebutuhannya mampu kupenuhi dengan baik. Handini juga sangat sayang padanya.” “Nu, aku hanya merasa tidak pantas mendapat kebaikan darimu setelah apa yang telah kulakukan padamu, Nu. Kamu tidak perlu mengasihani Pendosa sepertiku ini, Nu.” Kutelan saliva yang sepahit empedu karena menahan gelombang tangis yang siap pecah kembali. Wisnu tidak berkata-kata untuk beberapa saat. Pria itu menatapku lekat, sebelum memejamkan mata dalam hitungan detik, dan akhirnya berdiri. “Saya hanya melakukan tugas saya sebagai sesama manusia yang saling tolong menolong. Tidak lebih dari itu, Putik. Terima uang itu, anggap saja itu tanda terima kasih saya atas kebaikanmu selama menjadi istri saya. Saya pamit.” Dengan langkah lebar, Wisnu meninggalkan tempat ini. Aku termenung memandangi amplop cokelat yang tergeletak di meja. Wisnu benar-benar tidak ingin aku mengembalikan uang ini. Betapa baiknya pria itu, setelah kusakiti hatinya, masih bersedia membantuku di tengah kesulitanku. Aku memang tak mendapat harta gono-gini atas pernikahan kami. Karena sesuai perjanjian pra nikah yang kami sepakati dulu, siapapun di antara kami yang berselingkuh, tak akan mendapat bagian harta gono-gini, juga tak mendapat hak asuh Semeru. Dan ini lah kemudian yang terjadi padaku. Kehilangan rumah dua lantai dengan fasilitas lengkap, motor, mobil, juga Semeru. Kuhela napas sebelum meraih uang tersebut dan menyimpannya kembali di dalam gendongan. Mungkin aku akan menggunakan uang ini, jika keadaan benar-benar mendesak. “Terima kasih, Nu. Terima kasih,” gumamku seorang diri. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD