PENDOSA 7

1409 Words
“Kak Putik tidak apa-apa?” Sela bertanya padaku dengan ekspresi prihatin. Wajahku pasti sangat menyedihkan saat ini. Ah, betapa bodohnya kamu Putik! Kamu berharap apa pada Bhumika? Pria itu jelas-jelas tak pernah menganggap kehadiranmu berharga di hidupnya. “Saya tidak apa-apa, Putik.” Kucoba untuk tersenyum, meski yang kurasakan kaku pada bibirku. “Ayo, kita pulang,” ajakku pada Putik. Kemudian aku membayar minuman yang sudah kupesan, namun sama sekali tidak kusentuh. Akhirnya kami pulang. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang bicara diantara kami. Sela fokus dengan kemudinya, sedangkan aku tengah meratapi kebodohanku. Bodoh karena kugadaikan pernikahan suciku pada sebuah cinta semu. Meski pernikahanku dan Wisnu tidak sempurna, setidaknya Wisnu adalah pria bertanggung jawab dan pernah mencintaiku dengan tulus. Sayangnya, aku terlalu kufur nikmat, tidak mensyukuri nikmat luar biasa yang sudah Tuhan beri padaku dan keluarga kecilku. Hati dan pikiranku dibutakan oleh bujuk rayu dan janji manis dari seorang lelaki bernama Arsena Bhumika. Kurebahkan diri di tempat tidur setelah membersihkan diri. Tubuhku lelah, terlebih bantinku yang remuk redam. Melihat Bhumika yang sepertinya hidup bahagia dengan perempuan itu, membuatku semakin sadar, jika aku hanya sebuah boneka yang dimainkan di kala waktu luangnya. Betapa aku terlalu naif, yang percaya jika seorang lajang dengan paras rupawan dan kemapanan yang dimiliki, akan mencintaiku secara utuh. “Makannya pelan-pelan.” Bhumika mengusap ujung bibirku yang terkena saus. Kami sedang menikmati burger di kamar hotel, setelah sesi percintaan kami. Sekelebat kenangan bersamanya tiba-tiba melintas begitu saja di kepalaku. Aku selalu tersipu dengan setiap perhatian kecil yang selalu Bhumika berikan padaku. Jujur saja, Wisnu tidak pernah bersikap demikian. Namun Bhumika, setiap kami makan bersama saja, ia yang memastikan tempat dan peralatan makan kami bersih. Bhumika juga selalu menanyakan kenyamananku ketika berada di mobilnya, dan memastikanku tiba di rumah tanpa kurang suatu apapun, seusai pertemuan kami. Lalu dilain kesempatan, Bhumika akan diam-diam mengirimkan bunga, makanan dan hadiah ke kantorku. Pernah beberapa kali Bhumika mengirimkan cincin dan kalung emas ke kantorku. Memang bukan berlian mahal, tapi itu saja sudah cukup membuatku merasa dispesialkan. Perhiasan dari Bhumika masih kusimpan baik di lemari. Kelak akan aku berikan perhiasan itu pada bayi kami. Bayi yang tidak pernah diharapkan kehadirannya olehnya. Rupanya aku terlelap setelah menangis, dan terbangun pada tengah malam. Kepalaku pening dan kurasakan tenggorokanku kering. Aku pun beranjak dari tempat tidur untuk mengambil air minum. Meraih gelas plastik dan kuisi dengan air mineral kemasan, kemudian kuteguk hingga tandas. Seketika dahagaku terobati. Sepi sekali rasanya hidup seorang diri begini. Tapi aku bisa apa, selain berusaha menjalaninya dengan tabah? Aku kembali ke tempat tidur setelahnya. Kuraih ponsel, membuka galeri foto dan kupandangi foto Semeru ketika masih bayi. Pipinya merah, rambut hitam lebat dan hidungnya sudah tampak mancung mirip dengan ayahnya. Bibirku tertarik ke atas membentuk bulan sabit, teringat setiap kenangan indah bersama Semeru. Semeru Agung Narendra Putro—putraku tercinta. “Maafkan Mama ya, Nak,” gumamku mengusap potret Semeru pada layar ponsel. Aku sudah berjanji untuk memberikan keluarga yang utuh pada Semeru, tapi nyatanya aku sendiri yang menghancurkannya. Aku pernah berjanji, agar Semeru tidak merasakan apa yang aku rasakan, yakni hidup bersama ibu sambung. Tapi aku sendiri yang menjadi penyebab Semeru hidup bersama ayah dan ibu sambungnya. Kuhela napas dalam, untuk mengurai sesak di d**a. Seharusnya sebentar lagi aku akan menemani Semeru di hari pertamanya bersekolah. Menemani lelaki kecilku bertemu dengan guru dan teman-temannya. Sayangnya, semua itu hanya tingal sebuah angan-angan semata. … Pagi harinya, aku pergi bekerja seperti biasa. Bertemu dengan orang-orang yang kukenal, menyapanya dan saling bertukar senyum. Di tempat bekerja, kukerjakan pekerjaan dengan baik. Menyetrika pakaian pelanggan dengan hati-hati, sesekali menyambut mereka yang ingin menyetorkan pakaian kotornya atau mengambil pakaian yang telah bersih. Sore harinya aku pulang, melewati jalanan seperti biasa. Sebelum pulang ke kos, aku mampir lebih dulu ke warung nasi untuk membeli lauk untuk makan malamku nanti. Kembali kuberjalan pulang. Jalanan cukup ramai sore ini, karena bertepatan dengan lalu lalang pekerja pulang bekerja. Bangunan kosku sudah di depan mata, ketika manik mataku melihat mobil milik seseorang yang kukenal. Kupastikan lagi penglihatanku, dan benar, mobil tersebut adalah milik Wisnu. Untuk apa pria itu datang ke sini? Batinku bertanya-tanya. Seketika teringat permintaan Handini, jika Wisnu kemari, aku harus memberitahunya. Kuhampiri kendaraan tersebut untuk memastikan, pemiliknya benar Wisnu atau bukan. Dan sosok di dalamnya keluar, begitu aku tiba di depan mobil. “Putik,” sapa Wisnu tersenyum dan menutup kembali pintu mobilnya. “Mas ….” Aku hampir saja keceplosan. Handini sudah melarangku untuk memanggil Wisnu dengan sebutan Mas. “Ke … kenapa kamu ada di sini?” tanyaku kaku. “Saya membawa perlengkapan bayi punya Semeru dulu. Siapa tahu kamu membutuhkannya. Sebentar lagi kamu melahirkan, bukan?” sahut Wisnu dengan senyuman tipis. Aku mengangguk kaku, sekaligus tertegun dengan sikap Wisnu. Kenapa pria ini repot-repot datang kemari hanya untuk mengantarkan perlengkapan bayi milik Semeru? “Apa, Handini tahu kamu datang kemari, Nu?” tanyaku memastikan. Wisnu mengangguk pelan. “Saya sudah meminta izin padanya untuk menemuimu.” “Kalau begitu, ayo mampir dulu,” ajakku. Bukan bermaksud apa-apa. Aku hanya mencoba menjadi tuan rumah yang baik untuk tamuku. Kami berjalan menuju kos, dengan Wisnu membawa satu koper besar perlengkapan bayi milik Semeru. Aku meminta Wisnu menunggu di ruang tamu yang memang khusus disediakan untuk tamu yang berkunjung ke kos, sehingga tidak masuk ke dalam kamar. Kuhampiri Wisnu dengan membawa secangkir teh hangat, setelah kuganti pakaianku dengan daster rumahan. “Silakan diminum, Nu. Maaf, hanya ada ini,” ucapku sungkan pada mantan suamiku ini. “Terima kasih.” Wisnu mengangguk seraya tersenyum. Aku duduk tak jauh darinya, menatap koper merah yang dibawanya. “Siapa yang merapikannya, Nu?” tanyaku kemudian. “Saya sendiri.” “Aku sudah belanja kemarin. Seharusnya kamu tidak perlu repot-repot mengantarkan ini padaku,” ucapku sungkan. Memang pakaian yang kubeli di pasar kemarin jauh berbeda kwalitasnya dengan pakaian bayi milik Semeru dulu. Bukan karena aku tak menyayangi bayiku sekarang, aku hanya berusaha sebisa mungkin menekan pengeluaran, mengingat saat ini aku hidup seorang diri. “Kenapa? Kamu ingin menolaknya? Apa si b******n itu sekarang sudah menghubungimu lagi?” suara Wisnu terdengar marah. “Bukan begitu, Nu. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu,” sanggahku cepat. “Kalau kamu memang tidak ingin pakaian bayi ini, kamu bisa membuangnya kalau begitu.” “Nu, bukan begitu.” Sungguh, aku dibuat bingung dengan sikap Wisnu sekarang. Ada apa dengan pria ini sebenarnya? Kami dikurung kebisuan untuk beberapa saat. Hingga akhirnya dering ponsel milik Wisnu mengudara. Wisnu meraihnya dari dalam saku celana dan kulihat pria ini menggeser lencana hijau pada layar. “Halo, Sayang.” Wisnu mengarahkan wajahnya pada layar. Rupanya, Semeru yang melakukan panggilan video. “Papa sudah ada di rumah Mama. Eru mau ngomong sama Mama?” “Mau, Pa.” Lelaki kecilku menjawab dari seberang sana. Wisnu memberikan ponselnya padaku dan aku menerimanya. Kuarahkan wajahku pada layar dan bisa kulihat cukup jelas wajah Semeru di layar, memamerkan gigi depannya yang putih bersih. “Ini Mama, Nak.” Kulambaikan tangan pada layar. “Mama, kata Papa, sebentar lagi Mama akan punya adik bayi ya?” Semeru bertanya. Aku menoleh pada Wisnu sejenak, sebelum kembali menatap layar ponsel. Pria itu tengah menatapku lekat rupanya. “Iya, Sayang,” jawabku. “Nanti kalau adik bayinya lahir, Eru boleh lihat kan, Ma?” “Boleh, Sayang.” Asal Papamu mengizinkan. Kami terus berbincang. Semeru menceritakan kegiatannya hari ini, dari mulai pergi les baca, les renang dan pulang untuk tidur siang. “Mama, sudah dulu ya. Eru mau mandi dulu sama Sus Ani,” pamit Semeru kemudian. Aku mengangguk dan melambaikan tangan padanya. Sambungan video pun terputus, dan kuberikan kembali ponsel Wisnu padanya. “Terima kasih, Nu,” ucapku tersenyum tipis. “Untuk apa?” “Untuk semuanya. Untuk kamu yang sudah berbesar hati memberikanku kesempatan berkomunikasi lagi dengan Eru. Dan untuk kamu yang sudah berbesar hati memaafkanku.” “Semua karena Handini. Handini yang meminta saya untuk berdamai denganmu dan rasa sakit hati saya. Itu yang perlu kamu tahu, Putik.” Wisnu berkata pelan namun penuh penekanan. “Apa pun itu, Nu, aku berterima kasih.” Wisnu terdiam, ia menatapku lekat, namun aku sama sekali tak mengerti arti tatapannya. Hingga Wisnu berdiri dan berpamitan untuk kembali ke Jakarta. “Jaga diri kamu baik-baik, Putik.” Itu adalah kalimat terakhir Wisnu sebelum meninggalkan kos-kosan ini. Pria itu bukan hanya meninggalkan koper berisi pakaian bayi milik Semeru. Namun juga sebuah amlop cokelat berisi segepok uang yang cukup untuk membeli satu buah motor, yang sisipkan di dalam koper. “Ada apa sebenarnya denganmu, Nu?” Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD