PENDOSA 6

1265 Words
Aku bersyukur karena yang menjadi ibu sambung Semeru adalah Handini. Handini menepati janjinya untuk mendekatkanku kembali dengan Semeru. Tentu saja atas seizin Wisnu. Entah apa yang dikatakan Handini pada Wisnu, hingga akhirnya pria itu mengizinkanku berkomunikasi kembali dengan Semeru. Memang sejak saat pernikahan mereka, aku belum bertemu lagi dengan Semeru. Namun Handini rutin melakukan panggilan video denganku, agar aku bisa melihat wajah Semeru. Handini juga kerap mengirimkan foto-foto Semeru saat sedang berkegiatan atau sedang terlelap. Aku sangat bersyukur dengan hal ini. Tak kusangka secepat ini Wisnu mengizinkanku untuk berkomunikasi kembali dengan putra kami. Hari-hari kujalani seperti biasa. Selain bekerja, kuhabiskan waktuku berdiam diri di dalam kosan. Atau sesekali berbincang dengan Sela dan tetangga kos lainnya. Sela bagiku sudah seperti adik kandungku sendiri. Gadis itu seolah sengaja dikirimkan Tuhan untuk menemani kesendirianku. Sela yang sering menanyakan adakah makanan khusus yang sedang ingin kumakan. Atau menanyakan apakah aku ingin mengunjungi suatu tempat. Waktu seolah cepat sekali berlalu, kandunganku sudah memasuki bulan kedelapan. Dan hari ini aku meminta Sela untuk menemaniku membeli perlengkapan bayi. Kami menuju ke toko-toko di pasar sekitar daerah sini dengan berboncengan. Sela mengendarai motornya dengan hati-hati. Menjagaku dan bayi dalam perutku. Kupilih keperluan bayiku dengan cepat. Aku membeli secukupnya saja, karena dari pengalaman menyambut kelahiran Semeru dulu, karena terlalu antusias, kubeli perlengkapan bayi secara kalap. Dan pada akhirnya banyak perlengkapan bayi yang tidak terpakai, maupun hanya dipakai beberapa kali saja. “Kak Putik memangnya nggak capek?” Sela bertanya, ketika kami sedang menuju sebuah toko daster busui. Kami berjalan cukup jauh, karena letak tokonya berada di ujung pasar. Pemilik toko pakaian bayi yang kukunjungi tadi, yang merekomendasikan toko ini padaku. Aku tersenyum pada Sela. “Biar sehat Sela. Supaya nanti lahirannya lancar kalau banyak gerak begini. Kalau Sela capek, Sela tunggu saja di warung depan pasar tadi. Nanti kalau saya sudah selesai, saya nyusul ke sana,” kataku pada gadis berambut panjang yang kini wajahnya dihiasi keringat. Sela menurut dengan menungguku di warung kelontong di depan pasar dan membawa serta barang belanjaanku. Sementara aku kembali menuju toko tujuanku selanjutnya. Setiba di toko, kupilih beberapa daster khusus ibu menyusui lalu membayarnya. Aku berjalan pelan menuju warung tempat Sela menunggu. Sesekali melihat-lihat barang-barang yang diperdagangkan di sini. Sesekali pula tersenyum pada pedagang yang menawari dagangannya. Senyum tulus dari mereka yang sama sekali tidak kukenal, yang entah mengapa membuat hatiku menghangat. “Kak Putik!” Sela melambaikan tangan, begitu melihat sosokku yang baru saja keluar dari dalam pasar. Aku tersenyum dan menghampiri Sela. “Bu, pesan air mineralnya satu ya,” kataku pada ibu pemilik warung dan mengambil duduk di sisi Sela. “Habis ini kita ke mana, Kak?” tanya Sela. “Sela mau tidak temani saya makan mie kocok? Saya sedang ingin makan mi kocok,” tanyaku hati-hati, khawatir Sela ingin pulang. “Mau lah, Kak. Dengan senang hati.” Tak kusangka, Sela menjawab dengan begitu antusias. “Ayo, Sela tahu kedai mi kocok yang enak di sini.” Gadis itu sudah berdiri, bersiap membawaku ke sana. Kami kembali berboncengan, membelah jalanan kota di bawah terik mentari yang menyengat. Sepanjang jalan sesekali diselingi obrolan ringan. Sela beberapa kali memberi tahuku resto atau kedai yang memiliki masakan dengan cita rasa juara. Setelah perjalanan yang memakan waktu lima belas menit, akhirnya kami tiba di kedai mi kocok langganan Sela. Kami menempati satu-satunya meja yang tersisa, terletak hampir di ujung ruangan kedai. Saat ini memang jam makan siang, sehingga wajar saja pengunjung sangat ramai. Tak lama, pesanan kami tiba. Tak sabar aku segera menyantapnya. Rasanya benar-benar begitu lezat. Kuahnya begitu segar. Perpaduan rempah dan kaldu dari tulang sapi begitu pas. Berkali-kali aku memuji mi kocok ini pada Sela. Hingga kupesan satu porsi lagi yang membuat Sela tertawa dan menggelengkan kepala. “Maklumin saja ya, Sela. Namanya juga ibu hamil,” ujarku tertawa. Menghabiskan dua porsi mi kocok membuat perutku begah. Meski kami sudah selesai menyantapnya sepuluh menit lalu, aku meminta Sela untuk berdiam diri dulu di meja kami, karena rasanya aku tak sanggup berdiri. Sela sempat menawariku untuk menaiki taksi daring agar kepulanganku lebih nyaman, namun aku menolak ide tersebut. Kami pergi bersama, pulang pun harus bersama. Kedai semakin ramai. Karena meja sudah penuh, beberapa pengunjung terpaksa membungkus pesanannya karena tak kebagian tempat untuk menyantapnya di sini. Merasa perutku sudah lebih baik, aku pun mengajak Sela untuk pulang. Awalnya aku yang akan membayar makanan dan minumannya, namun Sela memaksa untuk membayarnya. Kami sudah tiba di lokasi parkir, di samping motor Sela. Sudah kukenakan masker juga helm, ketika manikku tanpa sengaja melihat sosoknya—Arsena Bhumika. Pria yang mengaku berumur 34 tahun itu baru saja memasuki kedai mi kocok dengan menggandeng seorang perempuan cantik berpakaian seksi. Bukan berarti aku tidak cantik. Menurut orang-orang wajahku juga cantik mirip Laudya Chintya Bella. Namun perempuan yang digandeng Bhumika saat ini, memiliki postur tubuh seperti model dengan kulit benar-benar seputih porselen. “Kak, ayo.” Sela memintaku naik. Ia sendiri sudah bersiap untuk melajukan motornya. Dengan gerakan kaku, kunaiki sepeda motor Sela. Meneguhkan diri untuk pergi dari sana agar tak melihat lebih jauh kemesraan Bhumika dengan perempuan yang entah siapanya itu. Akan tetapi, rasa penasaranku mengalahkan semuanya. Akhirnya dengan d**a bergemuruh menahan segala emosi yang selama ini tersimpan di dalam sana, kuminta Sela untuk kembali ke kedai. “Memang ada siapa, Kak, di kedai?” tanyanya, begitu kami turun dan bersembunyi di warung tak jauh dari kedai mi kocok. Dari tempat ini, aku bisa melihat dengan jelas sosok Bhumika dan perempuan itu. “Ayah bayi ini, Sela,” jawabku dengan suara bergetar. Dadaku bergemuruh hebat, campur aduk perasaan yang kini kurasakan. Marah, kecewa, sedih bercampur jadi satu di sebongkah darah bernama hati, “Yang mana, Kak?” tanya Sela dengan penuh antusis. “Kita harus samperin dia kan, Kak? Kenapa kita justru bersembunyi di sini, Kak?” “Itu orangnya.” Kutunjuk dengan daguku, Bhumika dan perempuan itu yang kini sudah meninggalkan kedai, menuju sebuah mobil berplat Jakarta. Mobil yang sama, yang pernah kunaiki entah keberapa kalinya. “Ayo, Kak, kita ke sana. Apa pun alasannya, dia tidak berhak meninggalkan Kak Putik dengan keadaan seperti ini.” Sela berkata dengan geram. “Tidak Sela.” Aku menahan tubuhnya yang sudah ingin berdiri. “Sudah cukup aku mengemis saat itu.” Tidak akan kulupa pertemuan terakhir kami, dimana Bhumika justru mencaci-makiku dan memintaku menggugurkan kandungan ini. “Lalu untuk apa kita berada di sini sekarang, Kak?” Sela bertanya bingung. Sementara kulihat, Bhumika membukakan pintu mobil untuk perempuan itu. Hal yang sama yang pernah dilakukannya padaku selama beberapa bulan kami berhubungan. “Untuk meyakinkan diri saya, jika saya memang tak pernah berarti apa-apa bagi Bhumika.” …. “Kalau aku hamil bagaimana? Barusan kamu mengeluarkannya di dalam,” kataku selepas kami berhubungan badan untuk kedua kalinya hari itu. Aku memang tidak KB, karena setiap kali aku berhubungan dengan Wisnu, Wisnu selalu menggunakan pelindung. Sedangkan beberapa kali aku berhubungan dengan Bhumika, justru tidak menggunakan pelindung. Karena hal itu lah, baik aku, maupun Wisnu meyakini jika bayi ini adalah benih dari Bhumika. “Aku akan bertanggung jawab jika memang benar itu adalah benihku,” jawab Bhumika, yang membuatku bersedia melakukannya lagi untuk ketiga kalinya pada hari itu. Sayangnya, itu hanya sebuah janji manis dari seorang lelaki buaya. Dan bodohnya, aku termakan oleh janji manis itu, hingga membuat hidupku hancur. Hancur sehancurnya. “Aku berjanji, mulai detik ini, aku akan melupakan semua tentangmu, Arsena Bhumika. Aku berjanji,” gumamku, menatap sendu mobil Bhumika yang bergerak menjauh meninggalkan kedai. Sekaligus meninggalkanku, yang hanya bisa mencintainya, tanpa pernah bisa dan mungkin tak akan pernah bisa memilikinya. Sejatinya, Bhumika tidak jahat, tetapi aku lah yang bodoh! Ya, aku bodoh! Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD