⭐Part 9⭐

1478 Words
Kedua sejoli masih terbaring di atas kasur yang empuk, tanpa merasa terusik sedikit pun. Sampai sang wanitalah yang membuka matanya terlebih dahulu. Ketika Afra membuka matanya, pandangannya langsung tertuju ke wajah orang yang sudah menemaninya dalam suka maupun duka. Pernikahan itu memang tidak hanya enaknya saja, banyak rintangan bahkan hal baru yang dialami oleh Afra. Tetapi sesulit apapun dia mencoba untuk menghadapi berdua. Bukan mengadu atau meminta tempat perlindungan kepada orang tuanya atau bahkan teman terdekatnya. Sewaktu sebelum menikah, Yuda sudah berpesan kepadanya. Seberat apapun cobaan yang mereka alami kedepannya harus saling berkomunikasi. Jangan sampai orang lain mengetahuinya, kecuali memang jika keduanya sudah tidak sanggup menyelesaikan masalahnya baru bisa diskusikan dengan orang tua. Tapi alhamdulillah, sampai detik ini keduanya jika memiliki masalah bisa memecahkan berdua tanpa bantuan siapapun. Afra menyingkirkan lengan Yuda yang berada di atas kepalanya. Dia tahu, semalaman dia tidur berbantalkan lengan sang suami Semalam sehabis Yuda menceritakan perihal Dinda, Afra matanya sudah berat. Jadi setelah Yuda selesai, dia langsung memejamkan matanya. *Flashback* "Dinda itu sahabat kecil aku sayang. Kamu jangan salah sangka dulu. Aku mau ceritain sesuatu, tapi please yaa jangan kamu stop." peringat Yuda paham bagaimana istrinya. Jika ada kalimat yang janggal menurut Afra, dia akan memberhentikan perkataan lawan bicaranya. Afra hanya menganggukan kepalanya dengan tampang menggemaskan. Yuda mengecup benda kenyal dihadapannya. Tidak tahan melihat bibir merah yang menjadi candunya semenjak mereka menikan. "Kamu kenal sama Tante Berta kan? Yang waktu kita nikah dia dateng, terus salaman sama kamu bilang kamu cantiklah..." belum selesai Yuda mengatakannya. Afra sudah memotong. "Banyak kok yang bilang aku cantik." kan benar, padahal suaminya sudah mengingatkan. "Bee." tegur Yuda. Yang ditegur tidak merasa bersalah sedikitpun. Afra memajukan badannya. mengecup bibir Yuda sekilas. Cup, "Okee sayang, lanjutin." "Ya aku yakin kamu mah pasti udah lupa. Jadi nanti aja kalo kita ke rumah bunda, aku kenalin sama keluarganya Dinda yaa." Afra hanya menjawab dengan anggukan saja. Yudapun melanjutkan menceritakan tentang Dinda, "Jadi dari kecil itu aku udah sama dia terus. Kemana-mana bareng, sekolahnya pun sampai SMA kita satu sekolah mulu. Sampe akhirnya, Dinda ngelanjutin kuliahnya keluar negeri. Dan aku stay di Indonesia." Yuda diam sejenak mengingat kebersamaannya dengan sahabat dari oroknya. "Itu kamu sengaja satu sekolah terus sama dia?" tanya Afra penasaran, dilihat sang suami sudah selesai menceritakan. "hmm, iya. Sampe dulu ya, dia waktu SMP kan orang tuanya mau pindah rumah otomatis sekolahnya juga pindah dong. Dia sampe nangis-nangis gitu ngga mau diajak pindah, karena bunda ngga tega, dia akhirnya disuruh tinggal di rumah aku." Afra masih diam, belum berniat untuk menanyakan sesuatu. "Tapi waktu SMA orang tuanya pindah lagi ke rumah yang dulu. Sampe sekarang deh," "Kok aku ngga tau ya Mas, padahalkan sering main ke rumah Bunda." "Ya jelas kamu ngga tau bee. Tante Berta itu Ibu-ibu sosialita. Jadi jarang ada di rumah. Sedangkan kamu kalo ke rumah asik berkutat di dapur sama bunda." "Hehe. iya sih." "Udah jelaskan? Jangan marah lagi ya, nanti mereka ikutan sedin kalo kamu nya sedih." ujar Yuda seraya mencium kening sang istri. Lalu tangannya mengusap perut istrinya. Yuda menyetarakan kepalanya tepat di depan perut istrinya, "Hay anak anak Pipi. Jangan bikin Miminya sedih ya, kalian bantuin Pipi jagain Mimi ya." lalu menciumnya perut sang istri. Afra tersenyum senang diperlakukan seperti itu. Dengan sayang dia mengelus surai hitam milik Yuda. "Yuk tidur. Kata Dinda, kamu ngga boleh tidur malem malem. Kecuali begadang sama—" belum sempat Yuda melanjutkan kalimat nya, Afra sudah mencubit perut sang suami. "m***m IH! Nanti readersnya baca. Ngga enak banyak yang jomblo." (piss aku canda gaes) Flashback off "Serius amat Bu liatinnya." Afra berjengit kaget. "Apaan sih." dia merasa seperti maling yang kepergok warga. Padahal san san saja dirinya memperhatikan suaminya. Tapi herannya dia tetap saja malu. Baru saja ketika Afra ingin berjauhan dari suaminya, Yuda reflek menarik istrinya kedalam pelukannya. "Jangan jauh-jauh. Kamu ngga akan kuat, aku juga ngga kuat berjauhan sama kamu." Yuda mulai mengeluarkan sedikit gombalan yang dia punya. Tak urung Afra menyembunyikan wajahnya didada bidang sang suami. Padahal ini bukan kali pertama Yuda menggombalinya. Tapi tetap saja, semburat merah dipipi nya selalu muncul. Keduanya terdiam dengan kenyamanan masing masing. Sampai Yuda baru menyadari sesuatu. Dia melonggarkan pelukannya. "Bee, karhu udah ngga eneg lagikan ya? Entar tau tau eneg nyium bau aku." Afra semakin mendekat kepelukan suaminya dan menduselkan kepalanya didada bidang sang suami, "Kamu mau aku muntah terus kalo deket kamu gitu?" gumam Afra didada sang suami. Yuda mencium pucuk kepala sang istri, "Derni apapun ya bee, aku tuh ngga man. Malah kemaren aku bilang, kalo ada yang bisa ngenentiin ngidam karhu yang kemaren yaa aku bayar. Semahal apapun itu." Afra diam diam tersenyum, dia mendongkan kepalanya. Mencium dagu suaminya yang ditumbuhi bulu bulu halus. "Mau sarapan apa?" tanya Afra setelah mendudukan dirinya. Yuda diarn, pura pura berfikir. "Bubur ayam kayaknya enak yaa bee. Tapi kamu yang bikin. Ngga mau beli." "Siap paduka. Akan hamba laksanakan." ucap Afra melakukan peragaan seolah olah menerima pesan dari kerajaan. Setelah memakai sandal rumah kesayangannya, Afra keluar kamar menuju dapur. Kebetulan dirinya memang sudah membayangkan sepiring bubur ayam. Tidak ada setengah jam, diatas meja sudah tersaji sepanci bubu nasi beserta dengan pelengkapnya. Afra berjalan kearah kamar nya, "Mas, yuk makan. Udah siap semua." Yuda yang tadinya asik dengan layar laptop didepannya, langsung menutup dan meletakkan laptopnya diatas nakas dan menyusul istrinya. "Wiinn, sedep banget ini keliatannya. Menggiurkan." ujar Yuda melihat sajian diatas meja makannya. Afra menyerahkan semangkuk bubur ayam. kepada Yuda. Tentu dengan racikan yang hanya disukai sang suami. Tapi suaminya ini menyukai semua racikan yang ada dibuburnya. Hanya dirinya saja yang tidak menyukai bawang goreng dan juga seledri. Sebelum hamilpun Afra memang tidak menyukainya. "Enak ngga Mas?" tanya Afra dari tadi dia tidak mendengar lontaran kalimat komentar untuk hidangan buatannya. "Ya Allah sampe lupa aku mau muji masakan kamu. Saking enaknya bee. sampe aku tuh nikmatin banget." Afra tersenyum mendengar pujian yang keluar dari mulut suaminya. "Makasih yaa bee. Tetep bubur ayam paling best pokoknya. Ngga cuman bubur ayam, semua masakan kamu itu terenak, tapi. Setelah Bunda yaa." Afra akui, masakan Ibu mertuanya itu memang paling enak yang dirasakan lidahnya. Bahkan Maminya pun masak tidak seenak itu, dirinya pun belajar memasak lebih banyak dari Ibu mertuanya "Mas, kamu ngajar hari ini?" tanya Afra seraya menumpukan piringnya dengan piring sang suami. "Ngga Kenapa emang? Mau kesuatu tempat?" "Pengen main ke rumah Mami boleh?" tanya Afra. dia sudah kangen berat dengan Mahinya. "Boleh dong. Masa ngga boleh. Yaudah sekarang kamu mandi abis itu rapin rapin ya. Biar ini semua aku yang beresin." Afra menatap ragu suaminya, "Gak papa nih aku Tinggal?" "Iyaa sayang. Kamu kan kalo mandi pasti lebin makan waktu banyak. Jadi sebaiknya kamu aja yang mandi duluan. Aku ngga keberatan sama sekali kok beresin piring." Dengan segala kalimat yang dilontarkan Yuda. akhirnya Afra mempercayakan membereskan meja makan kepada suaminya. Setelah dirasa beres. Yuda bergegas kekamar untuk menyelesaikan ritual mandi paginya. Benar saja, ketika dirinya masuk ke dalam kamar istrinya baru saja keluar dari kamar kamdi. Sesuai perhitungannya, padahal dirinya membereskan dapur lumayan lama mungkin ada setengah jam. Entahlah apa yang dilakukan sang istri setangan jam dikamar mandi. Memang sudah menjadi kebiasan perempuan, adiknya pun seperti itu jika sudah masuk ke dalam kamar mandi. Yuda masuk ke dalam kamar mandi. Tidak ada 10 menit dirinya sudah menyelesaikan ritual mandinya. "Kamu mandi apa Mas? Cepet banget." "Ck, emang ngapain sin lama larna tun? Ujung ujungnya kita keluar kamar mandi juga ngga ada yang berubahkan. Ya kali kalo aku lama lama dikamar mandi, keluar keluar badan aku jadi sixpack banget gitu. Mau banget aku kalo begitu." Yuda memang memiliki badan yang kekar, tapi tidak terlalu kekar sekali. Wajar kekar untuk ukuran pria. d**a bidang, hanya bagian perutnya saja yang tak terlalu kotak kotak. Karena semenjak menikah, dirinya sudah jarang berolahraga. Yang ada dirinya terus diberi asupan oleh sang istri. Mungkin jika ditimbang berat badannya dan membandingkan dengan dirinya yang sebelum menikah, naik drastis. Itulah yang dirasakan nya. "Yuk Mas. Aku tunggu didepan TV yaa." Yuda yang masih asik menyisir rambut yang dengn sedikit polesan pomade, hanya menjawab dengan gumaman saja. "Perfecto." gurmam Yuda setelah merasa tatanan rambutnya sudah rapin. "Bee, yuk." Afra yang merasa namanya dipanggil. menolehkan kepalanya kebelakang. Inilah salah satu yang dia suka dari suaminya, Yuda akan terlihat lebih tampan ketika merapikan rambutnya seperti itu. Tidak terlihat seperti orang yang sudah mau memiliki buntut. Terlihat masin seperti mahasiswa. Keduanya pun berjalan menuju parkiran. Dan tanpa membuang waktu lagi, Yuda segera menancapkan gasnya menuju rumah mertuanya. "Mas, mampir dulu ya. Beli kue buat Marmi." hampir saja Yuda terlupa untuk membeli buah tangan. Yuda menghentikan mobilnya tepat di depan toko kue. Afra lah yang turun untuk memilih kue apa yang mau dibelinya. Sedangkan Yuda diam saja di dalam mobil. "Yuk langsung cus." Yuda melirik kearah istrinya, "Okey beibeh." Mobilpun kembali melaju menuju kediaman Abiedzar. Tentu saja diiringi canda tawa dari pasangan tersebut. Entah itu Afra yang melontarkan candaan ataupun sebaliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD