Sepasang suami istri sedang bercengkrama ria, hal biasa yang memang mereka lakukan sebelum tidur. Istilah anak muda jaman sekarang, pillow talk. Memang semenjak mereka menikah, Afra menerapkan pillow talk ini. Gunanya supaya mereka lebih dekat satu sama lain, dan juga menceritakan kegiatan mereka seharian penuh.
"Mas," panggil Afra yang masih asik bersandar di d**a Yuda.
"Hm?" respon Yuda masih asik dengan televisi yang dihadapannya tapi tangannya tidak tinggal diam, asik mengelus kepala istrinya.
"Aku boleh pesen sesuatu sama kamu?" tanya Afra masih asik membuat pola abstrak di d**a Yuda.
"Pesen apa bee?" Yuda menundukan sekilas kepalanya guna mencium pucuk kepala istrinya.
"Janji dulu, kamu ngga akan marah." ujar Afra seraya memberikan kelingkingnya.
Tak urung, Yuda menuruti saja apa mau istrinya. Padahal dia sendiri juga belum tahu apa yang akan ditanyakan sang istri, "Hm iya," tatapan Yuda tidak lepas dari televisi.
Sebelum memulai perkataannya, Afra mengambil nafas terlebih dahulu. Lalu menghembuskannya secara kasar, "Misal yaa, misalkan ini loh. Nanti waktu persalinan, misalkan kamu di suruh milih antara aku atau bayi kita. Aku mohon, kamu pilih mereka yaa Mas." dia sebenarnya ragu untuk mengatakan ini, tapi antisipasi jika hal tersebut terjadi kepada dirinya.
Seketika mata Yuda membola, dari yang tadinya dia bersender nyaman didipan kasur, langsung terlonjak kaget, "Apaan sih maksud kamu?" bentak Yuda tidak paham dengan jalan fikiran istrinya.
Afra menciut mendengar bentakan dari suaminya. Ini pertama kalinya Yuda membentak dirinya setelah menikah. Padahal sewaktu dirinya belum menikah dengan Yuda, dia sudah sering mendengar Yuda membentaknya.
Tapi berbeda rasanya dengan nada bentakan yang dia keluarkan sekarang. Yuda yang melihat istrinya langsung menundukan kepalanya sehabis dia membentak. Secara spontan bentakan itu keluar dari mulutnya, tidak ada maksud lain sebenarnya.
Yuda mengusap wajahnya secara kasar, dan langsung merengkuh Afra ke dalam pelukannya. "Maafin aku, maafin aku udah bentak kamu." gumam Yuda seraya berulang kali mencium pucuk kepala Afra.
Afra diam saja, tidak membalas ataupun merespon Yuda, "Mas," cicit Afra masih ingin menantikan jawaban dari sang suami.
Yuda melepaskan rengkuhannya, dia membingkai wajah sang istri dengan lembut, "Bee, di sini ngga ada yang harus aku pilih ya. Kamu ataupun mereka sangat amat penting di kehidupan aku. Jadi plisss jangan suruh aku buat milih di antara kamu atau mereka. Aku ngga tau, apa jadinya nanti kalo ngga ada kamu di sisi aku." Afra belum sanggup melihat ke arah Yuda, jadi dia menundukan kepalanya lagi.
Tes,
Merasa tangannya basah, Afra langsung mendongakan kepalanya. Ternyata, sang suami menangis. Catat, Yuda menangis dihadapannya. Afra langsung memeluk tubuh Yuda yang mulai bergetar.
"Pliss, stay with me bee," gumam Yuda yang menangis di ceruk leher Afra. Afra mengelus punggung suaminya yang bergetar, dia tidak akan tau jika dampak pertanyaannya akan seperti ini. Dia tidak mikir sampai ke sana. Afra melonggarkan pelukannya.
Cup,
Afra mencium Yuda di kedua kelopak matanya,
Cup,
Kemudian di hidungnya,
Cup,
Dan yang terakhir di bibir suaminya yang merah muda, karena Yuda bukanlah seorang perokok.
"I'am here." gumamnya masih membingkai wajah sang suami.
"Besok cek up yaa." rayu Yuda, dia sangat menantikan hari di mana dirinya mengantar sang istri untuk melihat perkembangan kedua anaknya. Dan dia tidak mau jika hal buruk terjadi kepada keduanya.
Afra pasrah, dia juga tidak boleh egois. Hanya karena rasa traumanya dia tidak mau mengecek keadaan buah hatinya. Jika terjadi sesuatu besok ketika dia cek up, dia tidak akan memaafkan dirinya dan ke egoisannya.
"Iya, besok kita cek up."
Yuda langsung mendial nomor bundanya, meminta rekomendasi rumah sakit untuk pemeriksaan istrinya yang terbaik.
Tidak masalah baginya, berapapun biaya yang akan dia keluarkan. Baginya, uang bisa di cari. Tapi tidak dengan kebahagian, hanya dirinya yang bisa menciptakan.
Karena hakikat kebahagiaan itu, datang dari diri masing masing. Dan ini salah satu bentuk kebahagiaan bagi Yuda. Afra mau memeriksakan kandungannya di usia memasuki 16 minggu.
****
Sepanjang perjalanan, Yuda tidak berhenti tersenyum. Hari yang di nantinya sejak pertama kali mengetahui istrinya hamil, tiba. Baru pertama kali dalam sejarah hidupnya, menemai seorang wanita periksa ke dokter kandungan. Apa lagi kali ini dengan istri tercintanya.
"Mas, kamu kenapa sih dari tadi senyam-senyum terus? Aku parno deh jadinya." seketika senyum yang tadi-nya semringah, perlahan menjadi pudar, mendengar cibiran langsung dari mulut pedas istrinya.
"Ngga, aku seneng aja." Yuda mengambil tangan sang istri yang bertengger manis di paha sang empu.
Cup,
Afra tersenyum melihat perlakuan sang suami. Bukan hanya sekali Yuda mencium punggung tangan istrinya, bahkan berkali kali.
"Udah ih Mas. Fokus tuh sama jalanan." Afra menarik tangannya yang masih di genggam sang suami. Niat yang sebenarnya bukan seperti itu. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan ke gugupannya ketika Yuda terus menciumi punggung tangannya. Padahal ini bukan untuk yang pertama, sudah sering Yuda melakukan itu untuknya.
Akhirnya mobil yang dikendarai Yuda sudah terparkir, "Yuk turun." ajak Yuda seraya membuka seatbeltnya.
Yang diajak bergeming, tidak melakukan hal yang dilakukan Yuda, membuka seatbeltnya. Dengan inisiatif, Yuda membukakan seatbelt sang istri.
"Trust me?" tanya Yuda tepat di hadapan wajah sang istri. Mata mereka bertatapan. Afra menganggukan kepalanya.
Cup,
Yuda mencium kening sang istri, "I'm beside you." bisik Yuda berusaha menenangkan sang istri. Keduanya keluar dari pintu keluar masing masing.
Yuda menghampiri istrinya yang masih belum bergerak dari sisi pintu mobil. Dia menggenggam tangan sang istri, "Yuk masuk."
Afra berusaha mati-matian menahan ketakutannya. Dia mencengkram tangan Yuda dengan erat. Sepanjang perjalanan menuju ruangan praktek sang dokter, Afra memejamkan matanya. Dia berjalan dengan sang suami yang menuntunnya.
"Bee, buka dong mata kamu." ujar Yuda setelah mereka berhenti tepat di depan ruangan praktek dokter obygn.
Perlahan Afra membuka matanya, dan benar mereka sudah sampai di depan ruangan sang dokter. Karena sebelumnya Yuda sudah membuat janji, jadi dia tinggal masuk saja. Dan sangat kebetulan, sang dokter obygn anaknya sahabat Bunda Dira.
"Permisi Dok," sapa Yuda ketika masuk ke dalam ruangan. Sang dokter yang tadi nya asik berkutat dengan komputer di depannya, mendongakan kepalanya.
"Heyy Yud, wih apa kabar lo?" sang dokter bangkit dari kursinya dan menghampiri kedua pasangan suami istri yang baru memasuki ruangannya.
"Alhamdulillah, baik." Afra mengernyitkan dahinya bingung. Sebelumnya sang suami tidak mengatakan jika mengenal dokter yang akan memeriksanya. Sang dokter menghampiri Yuda dan bercipika-cipiki, hal yang membuat darah di dalam tubuh Afra mendidih.
Tepat ketika sang suami menoleh ke arahnya, dia memicingkan matanya.
"Kenalin, dia Dinda. Dia.." belum sempat Yuda menyelesaikan perkataannya, Dokter yang bernama Dinda itu menyambung.
"Dinda, mantan Yuda." ucap Dinda seraya menyalami Afra. Dengan perasaan yang campur aduk, Afra tetap menyambut salaman itu. Dan berusaha menampilkan senyumannya, walau terpaksa.
Yuda menyadari perubahan raut wajah sang istri, pasti sehabis pulang dari sini tamatlah riwayatnya.
"Liat Bu Afra, anaknya kembar. Selamat yaa buat kalian." ujar Dinda seakan tidak mengerti dengan kondisi Afra yang sudah tidak bersahabat.
Setelah selesai pemeriksaan, Afra berusaha bangkit dari ranjang. Ketika Yuda mau membantunya, Afra langsung menyingkirkan tangan Yuda. Dia tidak mau di sentuh oleh sang suami.
Afra berusaha berjalan sendiri kekursi yang sudah disediakan untuk mendengarkan saran sang dokter.
"Ini ada resep. Di sini ada vitaminnya ya, diminum 3 kali sehari. Jangan sampe telat..." Afra tidak mendengarkan sama sekali dari apa yang disampaikan Dinda.
Rasanya dia ingin cepat-cepat keluar dari ruang pemeriksaan ini. Setelah selesai, Afra bergegas keluar dari ruang pemeriksaan.
"Yud, istri lu keknya marah deh." kekeh Dinda setelah melihat Afra yang sudah terlebih dahulu dari sana.
"Ck, lagian elu sih. Dia itu moodnya lagi swing. Elu pake mancing lagi, abis gue dah. Lagian kapan coba gue pacaran ama kutil kuda." dumel Yuda. Dinda yang melihat Yuda mendumel seperti itu langsung tertawa terbahak-bahak.
Sebelum Dinda menyadari menyadari kalimat yang paling dibenci sang empu, Yuda langsung keluar dari sana. "Weh bangke, kenapa lu manggil gue begitu." teriak Dinda menggelegar. Untung sekitar ruang pemeriksaannya sudah tidak ada antrian. Jadi dia tidak malu mengeluarkan umpatannya.
Tanpa menghiraukan Dinda, Yuda mengejar istrinya yang sudah berjalan jauh. Ternyata Afra sudah berdiri di samping pintu mobil dengan tampang yang tertekuk seperti pakaian yang tidak disetrika.
Yuda menghembuskan nafasnya pasrah. Pasrah mendengar omelan atau bahkan dia didiami oleh sang istri. Dia memencet kunci mobil, dan ketika kuncinya sudah terbuka Afra segera masuk ke dalam mobil tanpa menghiraukan suaminya.
Mobil pun sudah terparkir di parkiran apartemen, Afra langsung saja turun. Tanpa mengiraukan Yuda.
"Mampus dah, abis gue kalo udah perkara gini. Dinda k*****t emang." dumel Yuda seraya memukul stir mobilnya. Jika Afra sudah marah seperti itu, dipastikan akan susah mengembalikannya.
Apa lagi ditambah sekarang sang istri sedang mengandung, makin jadi sudah.
Sesampainya Yuda didalam Apartemen, lampunya sudah menyala semua. Segera dia meletakkan sepatunya dirak sepatu, dia melangkahkan kakinya menuju kamar. Baru saja dia mau membuka pintu, ternyata sudah terkunci dari dalam.
"Bee, bukain dong. Aku mau ganti baju." ujar Yuda seraya mengetuk pintu kamarnya. Hening, tidak ada jawaban atau tanggapan apapun.
Yuda tetap berusaha, "Bee, aku jelasin yaa. Aku tuh ngga ada hubungan apa apa sama Dinda." Yuda berjengit kaget, mendengar suara lemparan di balik pintu kamarnya.
"Bohong." teriak Afra setelah melemparkan botol kispray yang ada didekatnya. Dia berusaha mati-matian menahan tangisannya. Dirinya pun bingung, kenapa akhir-akhir ini gampang sekali menangis.
Pas ketika air matanya turun, Afra mengelapnya dengan kasar. Dia tidak mau dianggap wanita lemah, pantang kata tersebut di dalam dirinya. Tapi apa boleh dikata, air matanya malah bertambah deras mengingat bagaimana interaksi suaminya dengan Dokter yang tadi memeriksanya.
"Hiks.. Hiks.. Mas bo-hong, katanya mantan Mas cuman Sarah doang. Hiks.. Hiks.. I-itu apa buktinya." ujar Afra terbata bata karena tangisnya. Rasanya Yuda ingin mendobrak pintu kamarnya ini. Apa lagi mendegar suara tangis istrinya.
"Afra Maulina, buka pintunya. Sebelum saya dobrak." Afra terkejut. Jika sang suami sudah menyebut dirinya seperti itu, pasti suaminya itu sudah menahan kegeramannya. Akhirnya dia mengalah, dan membukakan pintu kamarnya.
Ceklek,
Pas ketika pintunya terbuka, sang suami langsung memeluk tubuhnya. Untung dirinya bisa menjaga keseimbangan tubuh, jika tidak dirinya sudah terjerembab ke lantai.
"Mas.." tangisnya tambah deras di d**a Yuda. Yuda membiarkan saja istrinya menangis sepuasnya, menumpahkan air mata didadanya.
Dirinya memang harus memiliki kesabaran ekstra, memiliki istri yang moodnya tidak menentu. Yuda memang sudah diberi wejangan oleh bundanya ketika dirinya mengabari sang istri tengah mengandung.
Dia disarani agar memiliki kesabaran yang lebih, harus memaklumi tingkah sang istri selama mengandung.
Setelah puas menangis, Afra mendongakan kepalanya, "Udah nangisnya? Mau dengerin penjelasan aku?" tanya Yuda seraya mencium bibir istrinya yang mengerucut. Sangat menggemaskan baginya.
Afra menjawab dengan anggukannya. Dia menggiring sang istri untuk duduk disofa yang kebetulan berada dikamarnya.
"Dinda itu..."