“Untuk hati yang sudah terluka seperti saya, saya yakin tidak hanya saya sendiri yang mengalami hidup menyedihkan seperti ini. Saya akan biarkan kegelapan ini menemukan titik terang yang baru. Kehidupan yang baru, dengan begitu saya rasa kehidupan akan terasa lebih ringan. Karena saya tak sendirian”.
Pak Tua tersebut menatap Oliver dengan tatapan yang tidak bisa dinilai oleh siapapun yang melihatnya. Ditelisiknya wajah tampan Oliver, kulit putih yang khas orang Asia, rambut hitam bergelombang yang mulai menutupi dahinya membuat Oliver terlihat tampan. Tampan dan miskin.
“Kau pemuda yang tampan”, saut Pak Tua.
Oliver terkekeh geli. “Biarpun saya buta, setidaknya saya tetap tampan. Itu tetap menjadi salah satu anugerah yang bisa saya banggakan hingga saat ini”, balas Oliver dengan membuat nada seperti orang angkuh.
Pak Tua mendengus mendengar Oliver yang terdengar tidak pantas bersikap layaknya orang angkuh.
“Kau dengar suara itu Oliver?”, tanya Pak Tua.
Oliver mengernyit berusaha menajamkan pendengarannya. Kepalanya menengok ke arah kiri.
Sepertinya ini adalah jendela, aku merasa wajah kiriku terpapar sinar matahari dan sesekali terasa angin yang berhembus, pikir Oliver.
Samar-samar ia mendengar suara gemericik air. Pikirannya seketika menjadi tenang mendengar suara air yang begitu menenangkan.
“Air?”, tanya Oliver.
“Bisa kah kau menebak dari mana air tersebut berasal?”, tanya Pak Tua.
Oliver Kembali menajamkan pendengarannya. Angin segar berhembus meniup surainya yang hitam. Jika ia menjadi seorang karakter dari sebuah n****+ romansa, ia pasti sudah menjadi seorang tokoh utama pria yang digilai banyak wanita karena ketampanannya. Namun sayangnya ini bukanlah dunia n****+ romansa yang terkadang tragis namun berakhir indah. Oliver hanya seorang pria malang tanpa penglihatan dan tanpa sanak saudara. Tetapi diberkahi wajah yang rupawan.
Pria tanpa penglihatan tersebut tersenyum setelah menemukan jawaban dari pertanyaan Pak Tua. Perlahan Oliver berdiri. Ia berjalan secara perlahan dan meraba dimana letak jendela rumah yang terbuat dari bambu itu. Tangannya menemukan letak jendela tersebut. Ia menghirup nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya lagi. Pria itu kembali tersenyum.
“Sungai. Aliran air yang begitu menenangkan ini berasal dari sungai yang mengalir tidak jauh dari sini. Riaknya sedang bagus, alirannya begitu tenang dan dinamis. Dalam benakku sungai ini memiliki air yang sangat jernih dan tidak memiliki banyak batuan besar karena suaranya begitu tenang”, jelas Oliver.
Pak Tua ikut bangkit dari duduknya dan menatap punggung Oliver yang bidang. Ia Kembali memperhatikan postur tubuh Oliver yang begitu tinggi dan tegap. Sempurna.
“Benar, air itu berasal dari sungai kecil dengan air yang sangat jernih, dalam sungai itu hanya ada bebatuan kecil yang terdapat pada dasar sungai tersebut. Namun terkadang sungai tersebut berubah menjadi sangat keruh sampai-sampai orang yang melihat tanpa mengetahui bagaimana kondisi sungai Ketika jernih tidak akan menyangka sungai tersebut sebenarnya memiliki air jernih”, ucap Pak Tua.
Oliver mencerna kalimat Pak Tua. “Apa karena hujan?”, tanya Oliver menerka-nerka.
“Ya, hujan yang terjadi di hulu sungai ini membuat airnya keruh dan menghitam akibat bercampurnya tanah dan air”, jelas Pak Tua.
Oliver mengangguk dan kembali merasakan hembusan angin yang menenangkan hatinya.
“Apa kau punya impian, Oliver?”, tanya Pak Tua.
Oliver terdiam sesaat.
“Mungkin”, jawabnya singkat.
“Apa maksud dari jawaban ‘mungkin’ mu yang sangat singkat itu?”, tanya Pak Tua Lagi.
Oliver tersenyum lagi. Terdengar suara dedaunan yang menari bersama dengan hembusan angin. Tanpa ia ketahui, sehelai daun telah jatuh ke atas surainya.
“Apakah orang seperti saya boleh bermimpi?”, tanya Oliver.
“Apakah harus ada pengecualian untuk seseorang boleh bermimpi?”, tanya Pak Tua membuat Oliver bungkam.
“Sepertinya tidak ada”, jawab Oliver lagi.
“Lalu, apa kau punya impian Oliver?”, tanya Pak Tua.
“Sejak orang tua saya pergi meninggalkan dunia ini, saya menghapus semua impian yang saya miliki. Bagi saya lebih baik tidak bermimpi daripada impian itu hanya menjadi omong kosong belaka. Impian kosong dan membuat saya gila karena tidak bisa mendapatkan mimpi itu. Sekarang, jika Anda bertanya apa impian yang pernah saya miliki ialah menjadi seorang… pengajar.
Sejak kecil saya sangat ingin menjadi seorang pengajar, mendidik anak-anak yang ingin belajar dan membangun sekolah saya sendiri. Untungnya saya menyadari ketidakmungkinan itu dengan cepat, sehingga saya tidak memiliki harapan kosong yang bisa kapan saja mengganggu saya. Akhirnya saya hanya menjalani hobi saya dengan bermain gitar. Ayah saya membelikan gitar itu tepat satu bulan sebelum beliau meninggal”, ungkap Oliver.
“Saya berterimakasih kepada diri saya yang dengan cepat menyadari hal yang tidak boleh saya harapkan itu”, lanjut Oliver.
“Kau akan mendapatkan impianmu suatu saat, Oliver”, ucap Pak Tua.
“Saya buta, Pak Tua”, balas Oliver.
“Apa kau lapar?”, tanya Pak Tua.
Oliver meraba perutnya yang mulai terasa lapar. Jika diingat kembali, Sebagian besar menu makannya selama ini adalah roti karena ia tidak mampu memasak dengan keterbasan yang baru saja ia miliki.
“Apakah.. Pak Tua memasak nasi?”, tanya Oliver.
“Ya, Nasi dan beberapa lauk pauk. Beruntungnya dirimu, biasanya aku tidak memasak banyak, hari ini aku memasak cukup banyak dan benar saja, kau tiba-tiba muncul di depan rumahku”, ujar Pak Tua.
Oliver tersenyum senang. “Boleh saya mencoba hidangan yang Pak Tua buat?”, tanyanya.
“Tentu saja, ayo kita makan”, ajak Pak Tua seraya menuntun Oliver menuju dapur rumahnya. Aroma khas masakan nusantara membuat cacing yang ada di dalam perut Oliver bergejolak meminta diisi nasi dan berbagai macam lauk pauk lezat.
“Wanginya lezat”, ujar Oliver.
“Akan kuambilkan, seberapa banyak porsi nasimu?”, tanya Pak Tua.
“Mengingat sudah satu bulan saya tidak menikmati kenikmatan dan aroma nasi hangat, mohon diberikan porsi yang sedikit lebih”, ujar Oliver bersemangat.
Pak Tua terkekeh mendengar betapa semangat Oliver saat ini. Ia mengisi piring Oliver dengan nasi putih hangat dan menata lauk pauk dengan rapi di atasnya. Ayam goreng, tahu & tempe goreng, sambal dan tumis batang bambu muda.
“Selamat menikmati, Oliver”, Ujar Pak Tua.
Perlahan Oliver menyendokan nasi ke dalam mulutnya, lagi-lagi ia hampir berteriak tak kuasa menahan betapa lezatnya nasi hangat yang masuk ke dalam mulutnya. Ia mengunyah dengan hikmat dan menikmati setiap butir nasi yang tengah memanjakan indera pengecapnya. Pak Tua tersenyum menatap Oliver yang tampak begitu menikmati santap siang mereka hari ini.
“Masakan Anda sangat lezat Pak Tua, rasanya saya hampir ingin menangis Ketika menikmati kelezatan masakan Pak Tua”, ujar Oliver.
Pak Tua tertawa senang. “Kau benar-benar pria menarik Oliver”, seru Pak Tua.
Oliver tertawa renyah, sangat renyah. “Terima kasih, Pak Tua. Berkat Anda, saya bisa merasakan kenikmatan makan hari ini”, ujar Oliver.
“Makanlah sepuasnya”, ujar Pak Tua.
Oliver mengangguk senang “Boleh saya minta tambah nasi dan lauk pauknya lagi?”, tanya Oliver dengan wajahnya yang begitu menggemaskan.
Pak Tua mendengus dan mengambil piring Oliver yang sudah kosong untuk mengisinya dengan nasi dan lauk pauk lagi.
“Saya merasa tidak enak, terakhir kali saya berjanji akan membawakan makanan kesukaan Pak Tu ajika berkunjung kesini, tapi kenyataannya justru saya yang merepotkan Pak Tua”, ujar Oliver.
“Kau bisa melakukannya kapan-kapan, sekarang makanlah sepuasmu”, ujar Pak Tua.
“Baiklah”, balas Oliver kembali menikmati hidangannya.
“Apa kau mengerti kenapa aku bertanya kepadamu tentang sungai dan impianmu, Oliver?”, tanya Pak Tua.
Oliver menggeleng pelan. Pak Tua tersebut memandang penampilan Oliver yang cukup berantakan. Kaus kaki yang berbeda warna, celana training berwarna hijau terang dan kaus buluk berwarna oranye. Tapi sekali lagi, penampilannya tertolong oleh wajahnya yang rupawan.
“Di dalam dirimu juga terdapat sungai yang mengalir. Tepatnya di dalam hatimu. Sekarang, dengarkan petuah dari orang tua ini.. Apa yang kau alami saat ini adalah jalan yang harus kau tempuh dalam hidupmu.
Tetaplah menjadi Oliver dan hadapi apa yang ada dihadapanmu nanti. Percayalah, sungai dalam hatimu begitu luas dan besar. Gelap, dalam dan arusnya pun deras. Tetapi jika kau bisa menghadapi semuanya, kau akan bisa mendengar alirannya berbeda. Begitu halus dan memiliki melodi yang indah.
Tidak perlu merasa takut. Percayalah pada dirimu sendiri”, ujar Pak Tua.
Oliver diam mencerna kalimat dari Pak Tua.
“Saya sedikit heran”, ujar Oliver.
“Apa yang membuatmu heran?”, tanya Pak Tua.
“Saya dan Pak Tua baru bertemu untuk yang kedua kalinya, tapi rasanya Pak Tua sangat memahami saya”, jelas Oliver mengungkapkan suara dalam pikirannya.
Pak Tua mendengus.
“Aku sudah bisa mengenalmu hanya dengan sekali pertemuan saja Oliver. Aku adalah orang tua yang sudah menemui ribuan manusia yang berbeda sejak dulu. Hal yang mudah untuk memahami seorang pria yang lugu sepertimu”, ujar Pak Tua.
Oliver tersenyum kecil.
“Terkadang saya bertanya-tanya, jika saya masih memiliki orang tua apakah nasib saya juga akan seperti ini hari ini?”, ucap Oliver.
Pak Tua menepuk bahu Oliver pelan. “Semua sudah menjadi takdir yang tidak bisa diubah maupun disesali. Tugasmu saat ini adalah menjalani sisa kehidupanmu dengan sebaik mungkin”, jelas Pak Tua.
“Ya, Pak Tua benar”, balas Oliver memberikan senyumnya.
Sedetik kemudian Oliver mengerutkan alis tebal dan hitam miliknya.
“Apa yang membuat alismu berkerut?”, tanya Pak Tua.
Oliver menekuk kedua tangannya dan sedikit memiringkan kepalanya.
“Jika dippikir-pikir, saya tidak tau nama Pak Tua sampai detik ini, padahal kita sudah berbicara Panjang lebar”, kekeh Oliver.
“Boleh saya tau nama Pak Tua, aneh rasanya memanggil seperti ini”, ujar Oliver.
“Rodrigo, itu adalah namaku”, ujar Pak Tua.
Oliver mengangguk paham.
“Baik Pak Rodrigo”, ucap Oliver.
“Bolehkah saya berterimakasih?”, tanya Oliver.
“Untuk apa?”, tanya Rodrigo.
“Terima kasih atas petuah yang Anda berikan. Sejujurnya saya sangat membutuhkan ucapan – ucapan tersebut dari Anda. Saya butuh diyakinkan bahwa keyakinan saya benar adanya dan memberi ketenangan bagi saya untuk menjalani kehidupan gelap berikutnya. Sungai ini.. sungai dalam hati saya mulai bisa menata kembali arusnya dan saya terus berenang didalamnya. Saya tidak akan mundur, saya yakin aka nada titik terang dari semuanya”, ungkap Oliver.
Rodrigo tersenyum menatap Oliver.
“Benarkah tidak ada wanita yang mendekatimu?”, tanya Rodrigo.
Oliver tertawa mendengar pertanyaan Rodrigo.
“Saya tidak pernah membayangkan hal-hal seperti itu, Pak Tua. Bagi saya, Ketika saya memutuskan untuk dekat dengan seseorang, maka saya harus bertanggungjawab untuk memberi penghidupan yang layak. Saya miskin, dan tidak bisa melihat. Oleh karena itu, saya tidak pernah mau membayangkan hal-hal romantic terjadi dalam hidup saya”, jelas Oliver.
“Tunggu sebentar”, ujar Rodrigo beranjak meninggalkan Oliver.
Tak lama Oliver mendengar jejak Langkah Pria tua tersebut.
“Terimalah ini Oliver”, ujar Rodrigo menyerahkan sebuah benda yang begitu berat dan tebal.
Ketika tangan Oliver menyentuh buku tersebut, terasa angin berhembus meniup wajahnya dengan halus. Seketika tubuhnya meremang dan sedikit merasa sedikit gemetar. Oliver mengernyit. Reaksi yang tidak biasa baru saja terjadi. Ia meraba benda tersebut dan memeriksanya. Sontak ia terkejut begitu mengetahui benda yang diberikan oleh Rodrigo kepada Oliver.
“Buku?!”.