60. Kekhawatiran Memiliki Adik

1002 Words
Akibat menunggu bus yang tak kunjung datang, Evelina pun terlambat sampai di rumah membuat Wendy sangat khawatir. Untung saja gadis itu masih menemukan taksi yang melintas sehingga bisa langsung bergegas menuju ke rumahnya. Tatapan khawatir dan penuh cemas tampak tercetak jelas dari wajah Wendy yang menyambut kedatangan Evelina tepat di depan gerbang selama matahari mulai menghilang. Wanita bergaun anggun itu tampak mengembuskan napasnya lega ketika melihat sebuah taksi berhenti tepat di hadapannya menurunkan seorang gadis SMA yang terlihat tidak asing. “Mamah kok ada di sini?” tanya Evelina memeluk tubuh sang ibu dengan cemas, lalu membawanya masuk. “Astaga, Eve, Mamah benar-benar cemas melihat kamu belum juga pulang. Kenapa ponselnya enggak aktif? Mamah teleponin kamu dari tadi,” omel Wendy kesal akibat tindakan sang anak kesayangannya yang benar-benar hampir membuat satu rumah gempar. “Maafin Eve, Mah. Tadi bus yang ada di dekat sekolah mendadak putar arah akibat ada kecelakaan, jadi Eve terlambat dapat taksi dan ponsel Eve juga mendadak low bat,” sesal Evelina menunduk dengan perasaan bersalah. Wendy mengangguk singkat. “Ya udah, Mamah cukup khawatir tadi kamu belum pulang. Apalagi pas Mamah tanya sama sekolah, katanya udah pulang dari tadi. Tapi, Mamah lega kamu sampai di rumah dengan selamat.” Evelina mengangguk pelan, lalu kembali meneruskan langkah kakinya menuju ke dalam rumah. Keduanya disambut dengan asisten rumah tangga yang membukakan pintu tersenyum lega melihat kedatangan Evelina. Setelah itu, gadis yang baru saja kembali dari sekolah itu pun bergegas membersihkan diri untuk segera melakukan makan malam bersama sang ibu. Tentu saja Peter belum bisa kembali akibat lelaki itu berada di luar kota meninggalkan ibu dan anak tersebut. Selesai membersihkan tubuh dengan berganti pakaian hoodie merah maroon dipadukan celana kulot berwarna hitam panjang. Evelina pun siap turun ke bawah sembari mencepol rambutnya asal. “Eve, kamu udah selesai, Nak?” tanya Wendy mendengar langkah kaki mendekat sembari menyibukkan diri menyiapkan pelaratan makan malam. “Udah, Mah,” jawab Evelina menarik kursi meja makan. “Mamah hari ini masak?” “Iya, tadi Mamah iseng buka youvideo dan ketemu masakan enak ini. Cobain!” Sejenak Evelina mengambil nasi beserta lauk-pauk yang terlihat menggugah selera. Membuat gadis itu benar-benar merasa sangat lapar dan mencobanya satu sendok makan. “Uhm … enak, Mah! Yeoksi, enggak ada makanan gagal apa pun yang dibuat sama Mamah Wendy,” puji Evelina tersenyum lebar dan kembali menyuapi lauk yang mulai terasa nikmat. Sampai gadis itu merasa perutnya akan penuh dengan makan malam bersama sang ibu. Wendy yang melihat anaknya senang pun ikut tersenyum lebar. Memang sudah lama sekali wanita itu menginginkan saat-saat seperti ini bersama Evelina. “Oh ya, tadi Zafran mampir ke rumah. Katanya dia mau jemput kamu,” celetuk Wendy di sela makan malam. “Benarkah? Eve kira dia enggak akan ke sini,” balas Evelina mengangguk-angguk pelan. “Tadi dia ke sini sendirian sambil bawain makanan, tapi Mamah simpan di lemari cemilan buat kamu kalau lagi bosan.” Wendy menunjuk ke arah lemari cokelat dekat lemari es yang lumayan besar berwarna hitam. “Bawain makanan? Apa, Mah?” tanya Evelina penasaran. “Enggak tahu juga, tapi kelihatan enak,” jawab Wendy menggeleng pelan. Sesaat kemudian, makan malam pun selesai dengan Evelina ternyata sudah didatangi oleh Zafran. Seorang lelaki tampan berpakaian kemeja hitam yang dipadu dengan celana jeans berwarna senada. Zafran tampak mendudukkan diri di ruang tamu dengan memainkan ponselnya menunggu kedatangan Evelina berganti pakaian. Gadis yang awalnya menyambut Zafran dengan hoodie kini berada di kamarnya. “Eve, kamu mau ke mana sama Zafran?” tanya Wendy mendudukkan diri di tepi kasur. “Mamah enggak tanya sama dia?” Evelina bertanya balik. Wendy menggeleng polos, lalu menjawab, “Sebenarnya tadi Mamah mau tanya, tapi kamu tahu sendiri kalau Zafran itu lebih dekat sama Papah.” Mendengar hal tersebut, Evelina pun mengembuskan napasnya panjang. “Eve pergi sama Zafran untuk nyari kue buat Bang Adzran. Mungkin sekarang dia ulang tahun.” “Memangnya sekarang tanggal berapa?” tanya Wendy bingung. “Tanggal 31 Januari,” jawab Evelina singkat dengan tetap menatap penampilannya melalui pantulan cermin besar tersebut. “Wah, berarti Adzran ulang tahun! Kenapa kamu enggak bilang Mamah? Tahu gitu, tadi Mamah buat kue juga.” Evelina membalikkan tubuh menatap tidak percaya ke arah sang ibu. “Mah, Eve sama Zafran ‘kan mau nyari kue. Buat apa rencana mau bikin?” “Yeah, terus kamu mau ngasih apa sama Adzran?” tanya Wendy bangkit membantu anak kesayangannya menguncir kuda pada rambut lembutnya. Rambut keturunan dari Peter benar-benar bagus. “Uhm … mungkin Eve ngasih doa aja, Mah. Bang Adzran udah dewasa juga dan bentar lagi jadi dosen, sepertinya kurang baik juga kalau ngasih boneka atau jam tangan. Takutnya Zafran iri, karena dia jarang Eve kasih kado kalau ulang tahun,” jawab Evelina penuh pertimbangan sembari menatap wajah sang ibu yang begitu cantik dari pantulan cermin. Diam-diam membuat Evelina tersenyum geli. Wendy mengangguk pelan, lalu menyisir pelan rambut Evelina. “Ya udah, hati-hati di jalan dan jangan pulang larut malam.” “Mamah enggak ke bawah?” Evelina tampak mengernyit bingung mendengar perkataan sang ibu seakan tidak mengantarkan dirinya ke bawah. “Enggak, Mamah udah bilang tadi sama Zafran buat jagain kamu selagi di luar. Dan sekarang, Mamah mau teleponan dulu sama Papah. Udah janji.” Sontak perkataan itu pun sukses membuat Evelina merasa takjub kepada orang tuanya yang masih saja bermesraan. Padahal mereka berdua bisa dikatakan sebagai pasangan cukup lama, tetapi rasa harmonis itu tetap masih ada sampai Evelina besar. “Jangan sampai membuatkan Eve adik, ya, Mah. Karena Eve udah cukup besar buat punya adik bayi,” ungkap Evelina penuh peringatan. Tentu saja apa yang harus Evelina katakan ketika adiknya bertanya. Karena Evelina benar-benar tidak cocok untuk memiliki seorang adik yang terlampau belasan tahun lebih tua. Bahkan mereka terlihat seperti ibu dan anak nantinya ketika besar. “Jangan khawatir, sayang. Kamu enggak akan punya adik,” pungkas Wendy meyakinkan sang putri agar tidak merasa khawatir. Evelina pun mengangguk singkat, lalu menyalimi tangan sang ibu dan melenggang keluar dari kamar untuk menghampiri Zafran di bawah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD