33. Roh Halus

1001 Words
Nuansa kamar serba gelap menyambut penglihatan Evelina yang baru saja tiba di rumah dengan dijemput oleh supir pribadi kedua orang tuanya. Kebetulan sekali gadis itu pulang lebih cepat, karena kedua orang tuanya benar-benar kembali. “Eve, ke mana aja kamu, sayang? Mamah benar-benar khawatir saat Bibi bilang kamu ada hiking tanpa kabar sama sekali,” tanya Wendy Kei memeluk tubuh gadis itu dengan erat. yang menjadi ibu dari Evelina Keith. Sebenarnya sambungan nama marga dari Evelina adalah milik Wendy Kei dan Peter Smith yang menjadi Keith. Bukan tanpa alasan keduanya memberikan nama tersebut, karena dari mereka tidak ada yang mau mengalah. Alhasil terjadilah nama sambungan tersebut sampai pihak keluarga pun menyetujuinya. Evelina tidak berhenti tersenyum melihat kehadiran kedua orang tuanya yang benar-benar datang. Bahkan mereka berdua memutuskan untuk tetap tinggal sampai gadis itu naik kelas 12 yang artinya masih ada beberapa bulan lagi, sebelum Evelina melakukan UAS. “Eve, jawab dong pertanyaan Mamah,” keluh Wendy melihat anak tidak kunjung menjawab malah terus tersenyum. “Iya, Mah. Tadi Eve udah baca pesan pas di mobil bus. Tapi, Eve pikir Mamah belum pulang, jadi Eve enggak mau membuat Mamah khawatir dan memilih untuk nunda jawabnya pas sampai di rumah,” jawab Evelina tertawa pelan dan menatap sang ayah yang terlihat lelah. “Papah libur atau ada tugas di sini?” Peter yang mendengar pertanyaan anak kesayangannya itu pun menoleh, lalu menaruh ponsel di atas meja. Lelaki paruh baya yang masih terlihat muda nan gagah itu benar-benar ingin menikmati hari bersama Evelina tanpa diganggu oleh siapa pun. Bahkan orang-orang di kantornya sendiri. “Sebenarnya Papah ada urusan kerja sama di sini, tapi Papah milih untuk melakukannya besok. Karena kata Bibi, sekolah kamu lagi ada masalah hiking yang dua orang menghilang secara misterius,” jawab Peter mengernyit penasaran. “Kamu baik-baik aja, ‘kan?” “Tenang aja, Pah. Everything will be okay. Lagi pula di kelompok Eve ada Zafran.” Evelina tersenyum senang melihat sang ayah benar-benar khawatir. Saat gadis itu asyik berbincang, tanpa sadar sesosok wanita bertubuh penuh darah mendekat. Tentu saja hal tersebut membuat Evelina berjingkrak terkejut dan spontan berteriak. Sontak kedua orang tuanya pun langsung menatap bingung sekaligus tidak percaya. Apalagi Wendy terlihat sangat cemas dan menghampiri anak gadis yang masih memegangi dadanya berdetak dua kali lebih cepat. “Ada apa, Eve?” tanya wanita paruh baya itu khawatir. Tanpa aba-aba sama sekali Evelina memeluk tubuh sang ibu sembari menyembunyikan wajahnya. Ia sangat terkejut melihat wanita penuh darah itu mendadak mendekat tanpa memberi kode sama sekali. Padahal bisa dikatakan dirinya baru menyesuaikan diri sehingga belum terbiasa dengan hantu yang mungkin sudah penasaran dengan dirinya. “Eve takut, Mah,” keluh Evelina mengeratkan pelukannya. Sedangkan Peter yang melihat hal tersebut pun mengernyit bingung. Lelaki itu paruh baya itu tampak tidak mengerti dan mengkode ke arah istrinya untuk bertanya pada sang anak. Dengan patuh Wendy menuruti kodean dari sang suami dengan mengangguk pelan, lalu mengendurkan pelukannya menatap wajah Evelina yang terlihat pucat. Wanita paruh baya itu pun langsung merasa cemas. “Kamu kenapa, sayang?” tanya Wendy lembut. Ia tahu bahwa Evelina tidak akan berteriak kalau tidak terjadi sesuatu padanya. Evelina memberanikan diri menatap wajah sang ibu dengan sendu. Sejujurnya gadis itu sama sekali tidak menyangka akan memberi tahu masalah ini. Apalagi bisa dikatakan ia sejak kecil sudah melihatnya, hanya saja terkadang kedua orang tuanya tidak mau mempercayai begitu saja. “Mamah, Papah,” panggil Evelina menatap kedua orang tuanya secara bergantian. “Eve melihat mereka lagi. Kali ini benar-benar menyeramkan sampai Eve takut.” Mendengar hal tersebut, Peter langsung bangkit dan menghampiri Evelina yang tampak sangat pucat. Gadis itu benar-benar seakan baru saja melihat sesuatu yang menakutkan. Tentu saja wajah cemas tampak sangat jelas dari Wendy. Wanita paruh baya yang tampak awet muda itu benar-benar tidak mengetahui bahwa selama ini anak semata wayangnya masih menderita akibat penglihatannya pada sesuatu yang tidak terlihat. “Mas, apa yang harus kita lakukan?” tanya Wendy panik sekaligus cemas. Peter mengembuskan napasnya panjang, lalu berjongkok menatap wajah Evelina yang masih setia menunduk. Gadis itu tampak sangat ketakutan. “Eve, apa kamu selama berada di hutan selalu melihat mereka?” tanya Peter menggenggam jemari tangan anak semata wayangnya yang terasa dingin. Membuat lelaki itu menatap ke arah Wendy dengan penuh arti. “Iya, Pah. Tapi, awalnya Eve sama sekali enggak nanggapin mereka. Sampai tetua desa di sana tahu kalau Eve mempunyai kemampuan spesial dan berusaha agar Eve mau menerimanya tanpa merasa terbebani,” jawab Evelina mengangguk pelan. “Sebenarnya, Papah tahu hal ini akan terjadi sama kamu. Karena Grandpa juga memiliki kemampuan spesial seperti ini. Tapi, Papah sama sekali enggak menyangka kalau kamu ternyata memilikinya,” ungkap Peter terdiam sesaat. “Semua keputusan ada di kamu sekarang, Eve. Apa kamu mau tetap memilikinya atau tidak?” Evelina terdiam bingung. Pilihan yang berat untuk suatu keputusan di masa depan benar-benar membuat gadis itu terbebani. Bukan karena berat melepaskannya, melainkan ia hanya takut menyesal telah memiliki kemampuan, tetapi menyia-nyiakannya begitu saja. “Eve, Mamah yakin kamu pasti butuh waktu untuk menjawabnya. Jadi, jangan dipikirkan dulu. Sekarang lebih baik kamu membersihkan diri karena mungkin ada beberapa sesosok yang ikut dibawa pulang. Untuk mengusirnya Mamah selalu bilang langsung mandi, bukan?” Wendy benar-benar paling bisa membawa suasana kembali lebih hidup dibandingkan tadi sempat terasa menegangkan. “Iya, Mah. Kalau begitu, Eve mandi dulu,” pamit gadis itu membawa kopernya menuju lantai atas yang menjadi lantai sekaligus kamar pribadi. Memang tidak dapat dipungkiri sejak Evelina menyukai hal-hal yang berbau seni, gadis itu menjadi sangat menghargai setiap karya ataupun benda buatannya. Terlebih Evelina memiliki satu set pelaratan makanan hasil buatannya dengan terukir nama lengkap sekaligus marga yang selama ini dirinya sandang menjadi identitas. Kembalinya Evelina ke rumah benar-benar membawa pada ketenangan tanpa nilai. Sebab, dulu ketika Evelina berusia empat tahun, kakek dan neneknya dari Amerika datang untuk mengusir banyak roh halus yang mungkin akan menjadi terror bagi Evelina. Sehingga wajar saja jika gadis itu berada di rumah tetap aman, karena pernah dibersihkan ketika masih kecil. Walaupun sesekali ada roh halus yang datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD