72. Mencari Perhatian

1997 Words
Di sebuah rumah besar bergaya mewah bak kerajaan itu tampak sangat sepi. Tidak ada sang pemiliknya sama sekali, selain beberapa puluh pelayan yang membersihkan tempat sekaligus memperhatikan keadaan sekelilingnya agar enak dipandang. Mobil mewah berwarna putih berhenti sempurna di dalam garasi mewah bermuatan elevator kendaraan. Tentu saja desain dan interior di sana tampak sangat canggih sampai tidak semua orang bisa memilikinya. Seorang gadis berseragam sekolah beranjak turun sembari membawa sebuah plastik kresek berwarna putih berisikan kotak dengan donat hasil pesanan warung depan sekolah. “Nona Azalia, biar Bapak bantu bawa donatnya,” ucap salah satu supir paruh baya yang terlihat hendak mengambil alih kresek tersebut. Azalia mendesis kesal, lalu membalas, “Tidak perlu. Saya bisa membawanya sendiri.” Lelaki paruh baya yang menjadi supir keluarga Candani itu tampak mengangguk pelan, lalu memilih pergi meninggalkan anak majikannya yang begitu galak dan sombong. Memang tidak dapat dipungkiri Azalia begitu galak terhadap pengurus rumah besar kedua orang tuanya. Akan tetapi, di balik sikapnya yang galak, gadis itu benar-benar perhatian terhadap siapa pun. Bahkan tidak dapat dipungkiri Azalia sering kali memberikan waktu libur terhadap siapa pun yang kelelahan. Meskipun begitu, tetap saja Azalia memiliki banyak kekurangan salah satu sikap galak dan sombongnya yang begitu tinggi. Sampai beberapa pengurus merasa resah sekaligus tidak nyaman. Namun, bagi orang-orang yang menjadi pengurus lama tidak akan merasa tersinggung karena memang sudah terbiasa. Lain halnya dengan para pengurus baru yang kebanyakan mengundurkan diri akibat terkena omelan menyakitkan dari Azalia. Dengan langkah tenang tanpa beban, Azalia membawa kotak berisikan makanan donat tersebut melenggang masuk ke dalam rumah besarnya. Ia disambut sekitar empat pelayan yang masing-masing melakukan pekerjaannya. Pelayan pembawa sandal rumahan, menyambut tas mahal milik Azalia, dan membantu gadis itu dalam melepaskan sepatunya dengan menyajikan kursi lipat. Gadis itu benar-benar dilayani dengan sangat baik. “Nona Azalia, ada yang bisa kami bantu lagi?” tanya pelayan tersebut membawa tas sekolah mahal milik gadis di hadapannya. “Tidak perlu, saya ingin ke atas,” jawab Azalia menggeleng pelan, lalu melenggang santai menuju sebuah elevator ke kamarnya. Tentu saja gadis itu hendak menuju kamarnya sendiri yang berada di lantai cukup atas. Ia sengaja tidak menggunakan tangga, sebab hari ini ada pembersihan benda tersebut akibat beberapa hari kemarin salah satu keramiknya terlepas. Sesampainya di sebuah kamar bernuansa mewah dengan warna emas dan merah bersatu padu menghiasi sekeliling kamar. Dimulai dari gordyn, tempat tidur, dan beberapa interior kayu yang berwarna khas. Azalia meletakkan sekotak donat tersebut ke dalam lemari pendingin kecil yang berada di dalam kamar, kemudian melenggang santai menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Ia hendak membersihkan diri sekaligus berganti pakaian. Setelah selesai, gadis itu langsung membuka ponselnya yang sudah beberapa menit didiamkan begitu saja. Azalia tampak menatap ponsel sembari merebahkan tubuh di tepi tepat tidur dengan kedua kakinya selonjoran lurus melepaskan rasa pegal. Azalia tampak berbincang dengan beberapa temannya yang berbasis bahasa inggris. Gadis itu memang masih berhubungan baik dengan teman-temannya yang berada di luar negeri. “Lia!!!” Sebuah seruan seseorang yang memanggil dari luar kamar membuat Azalia mengalihkan pandangannya dari ponsel, kemudian beranjak turun dengan meninggalkan ponselnya di nakas. “Ada apa, Tante?” Muncul seorang gadis menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar membuat seorang wanita cantik yang memakai ransel di punggungnya itu pun menoleh. Wanita itu tampak tersenyum lebar. “Kamu baru pulang? Gimana sama pesanan donat tadi?” Azalia mengembuskan napasnya panjang sembari keluar dari kamar menghampiri seorang wanita yang selama ini dianggap sebagai sang ibu. Memang tidak dapat dipungkiri gadis itu jarang sekali bisa bertemu kedua orang tuanya, akibat mereka berdua terlalu sibuk mengurus pekerjaan. Sampai tidak ada waktu memperhatikan anak semata wayangnya sendiri. “Belum dimakan, tadi langsung dimasukin ke lemari es. Tante mau makan dulu?” “Enggak dulu, Tante ke sini cuma buat mastiin kamu udah pulang atau belum. Kalau udah, Tante mau lanjut ke kampus. Ada matkul yang harus diajar dua jam lagi.” “Oh, ya udah. Kalau gitu, hati-hati di jalan jangan sampai melanggar lalu lintas!” Seorang wanita cantik berpakaian semi-formal itu pun tampak protes, lalu tertawa pelan, “Tante pergi dulu! Kamu jaga rumah baik-baik. Kalau ada sesuatu, langsung kabarin Tante, ya.” “Siap!” pungkas Azalia tersenyum manja. Setelah itu, wanita karir yang usianya tidak terlalu jauh dari Azalia pun melenggang pergi. Ia tampak tergesa-gesa sembari melangkar lebar dan sedikit berlari ketika menuruni tangga. Membuat Azalia menatap khawatir, takut sang tante tergelincir dan jatuh. Sebab, tangga rumah orang tua Azalia memang sudah banyak memakan korban. Bahkan hampir semua penghuni di sana sudah merasakan bagaimana sakitnya tergelincir dari anak tangga yang mencapai puluhan tersebut. Azalia pun tidak luput dari korban tergelincir akibat tangga yang kini dalam perbaikan. Sudah mendapatkan banyak alas untuk meminimalisir licinnya, tetapi tetap saja namanya sebuah rumah jarang dihuni akan sedikit berbahaya. Kala itu, Azalia langsung dilarikan ke rumah sakit akibat bagian kakinya ada yang susah digerakkan. Sebab, gadis itu tanpa sengaja tergelincir akibat terburu-buru ingin bertemu orang tuaya. Namun, bukan kebahagiaan yang gadis itu dapat, melainkan sebuah kesengsaraan terjebak di rumah sakit sendirian. Karena hampir tidak ada yang bisa menemani Azalia, selain seorang wanita berstatus sebagai tante. Sepeninggalnya seorang wanita yang selama ini selalu berusaha mengisi kekosongan waktu bersama keponakan kesayangannya sendiri. Azalia pun memutuskan kembali masuk ke dalam kamarnya. Memang tidak ada yang bisa ia kerjakan lagi, selain bermalas-malasan di dalam kamar. Sebenarnya Azalia sering kali melakukan kegiatan di luar, tetapi semakin ke sini gadis itu tampak mendadak malas. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak lagi berkegiatan, selain berada di mansion mengawasi banyak pekerja yang mungkin berbuat curang. Tidak menampik gadis itu sering kali melihat kamera pengawas rumahnya yang memperlihatkan banyak pengurus melakukan hal menjijikkan. Membuat Azalia tidak segan memecatnya begitu saja, jika memang sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Sebelum itu, Azalia memang selalu meminta penjelasan sebelum akhirnya memutuskan kontrak kerja dengan memberikan uang pesangon sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan. Sehingga tidak sedikit pekerja rumah tangga dari keluarga Candani memilih untuk mencari aman dan tetap melakukan pekerjaannya sesuai dengan prosedur tanpa menginginkan kecurangan kembali demi mendapatkan uang lebih. ** Menjadi seorang murid di negara yang hampir tidak pernah dikunjungi, Azalia benar-benar harus mengandalkan diri sendiri dalam memahami banyak hal. Walaupun sesekali ia sering berselancar internet atau mengelilingi banyak tempat untuk memahami seluk-beluk daerah yang menjadi teman ketika Azalia menghabiskan masa remajanya. Saat ini Azalia tengah berada di perpustakaan nasional yang begitu besar. Banyak sekali jenis buku baik lama maupun baru yang terpajang di rak memenuhi seisi tempat membentuk sekat kecil untuk berjalan-jalan mengelilingi rak berisikan buku. Sebenarnya kedatangan seorang gadis berpakaian celana panjang ketat berwarna hitam dipadukan dengan kemeja crop cokelat terang itu tampak mengelilingi setiap rak sembari sesekali melihat sampul buku yang menarik perhatian. Kemudian, langkah gadis itu kembali mengelilingi rak sampai tanpa sengaja tatapannya tertuju pada seseorang yang duduk di kursi tempat membaca. “Zafran, lo di sini juga?” ucap Azalia menatap penuh binar semangat, lalu menarik kursi yang berada di samping lelaki itu dengan mendudukkan diri tanpa beban. Sedangkan seorang lelaki berpakaian kaus hitam polos dipadukan celana jeans berwarna senada dengan kausnya itu pun hanya menatap datar, lalu kembali melanjutkan kegiatan game online yang baru saja dijalankan beberapa menit lalu. “Zaf, lo bisa enggak sih jangan cuek gitu sama gue?” pinta Azalia mendengkus kesal, tetapi sesaat ia menyadari perkataannya sendiri yang sedikit keterlaluan. “Bukan. Bukan maksud gue mau protes sama lo, Zaf. Tapi, Bu Liane sendiri yang bilang sama gue kalau ada apa pun bisa tanya sama lo.” “Apa?” tanya Zafran terdengar malas tanpa menoleh sama sekali. Mendengar perkataannya yang sukses membuat lelaki tampan itu sadar, Azalia pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Gadis itu langsung memperlihatkan sekitar enam buku yang ada di tangannya. “Gue ‘kan mau belajar tentang geografi. Nah, ini ada sekitar … satu dua tiga. Uhm! Tiga buku yang berbeda, menurut lo bagusan mana buat gue pinjam atau baca biar sedikit ngerti penjelasan Bu Liane?” tanya Azalia panjang lebar sembari menatap sisi wajah tampan Zafran yang terlihat sedikit jauh lebih terbuka. Zafran mengembuskan napasnya panjang, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Lelaki itu tampak menarik tiga buku tersebut secara bersamaan dan mulai membacanya bagian blurb, sebelum merasa penasaran membaca daftar isi sekaligus bagian dalam buku secara acak. Tentu saja kegiatan itu tampak sangat menyenangkan dipandang oleh Azalia. Membuat gadis cantik itu tersenyum penuh minat sembari menumpukan kedua tangannya menyangga kepala untuk tetap tegak menandangi seorang lelaki yang terlihat jauh lebih seksi ketika serius membaca. “Uhm … menurut gue semuanya sama aja, tergantung minat lo yang mana. Tapi, saran gue kalau mau ngikuti pelajaran Bu Liane sampai paham, lebih baik lo minjam dua buku ini,” jawab Zafran memisahkan dua dari tiga buku tema yang sama, tetapi beberapa bagian sedikit berbeda. Sontak hal tersebut membuat Azalia tersenyum lebar, lalu mengambil dua buku rekomendasi dari lelaki tampan yang ada di hadapannya. Gadis itu tampak mengangguk pelan, lalu mulai membukanya sesaat. “Makasih, Zaf. Gue sama sekali enggak nyangka bakal ketemu lo di sini,” ucap Azalia tersenyum tulus. “Gue di sini nemenin Eve,” sanggah Zafran bernada sedikit sarkas. Azalia bungkam seketika. Mulut gadis itu sukses terkantup sempurna mendengar perkataan menyebalkan dari lelaki di hadapannya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa gadis itu merasa bahwa Zafran telah berusaha untuk mendukung dirinya apa pun yang terjadi. “Eve … ke mana?” tanya Azalia sedikit memperlihatkan kekeewaannya. “Dia udah balik,” jawab Zafran tanpa minat sama sekali. “Lo udah selesai, ‘kan? Balik sama siapa?” “Lo … lo mau nganterin gue, Zaf?” Azalia berusaha meredam harapannya sendiri. Sebab, gadis itu tidak ingin kehilangan wajahnya lagi ketika mendapat penolakan seperti yang sudah-sudah. Zafran yang terlalu jujur pun mengangguk pelan, lalu berkata, “Lo juga enggak mungkin pulang sendiri, karena kemarin aja lo lupa jalan pulang. Untung aja ada gue yang kenal sekitar daerah rumah lo.” Mendengar perkataan tersebut, Azalia meringis pelan. Terkadang gadis itu sering melupakan jalan menuju rumahnya sampai beberapa supir menjadi kewalahan ketika anak sang majikan mereka memilih untuk mengendarai bus atau taksi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut membuat Azalia terkadang bersikeras untuk mandiri, tetapi sayangnya gadis itu baru berada di Indonesia selama beberapa bula saja, itu pun untuk mematangkan kemampuan berbahasanya agar menjadi baik. “Ya udah. Gue pikir lo tadi ke sini sendirian, karena gue sama sekali enggak ngelihat lo,” balas Azalia bangkit membawa dua buku rekomendasi dari lelaki yang ada di hadapannya. Sejenak keduanya melangkah menuju meja penjaga perpustakaan untuk melakukan scan pada barcode buku peminjaman selama seminggu penuh. Kalau sampai terlewat, maka akan ada utusan perpusnas yang mendatangi di mana pun buku tersebut berada. Karena sudah dilengkapi dengan GPS untuk mengetahui letak persis untuk melakukan pengecekan ketika terjadi pelanggaran. Setelah selesai, Azalia dan Zafran pun melangkah bersamaan keluar dari gedung perpusnas menuju tempat parkir mobil. Nyatanya lelaki itu kali ini membawa mobil sedan mewah milik sang kakak membuat gadis yang berada di sampingya mengernyit bingung. “Lo bawa mobil, Zaf?” tanya Azalia sedikit tidak percaya mereka berhenti tepat di depan kap mobil sedan mewah di hadapannya. “Iya, gue sengaja,” jawab Zafran mengangguk pelan, lalu memencet remote kontrol yang ada di tangannya. Kemudian, mereka berdua pun masuk secara bersamaan dan mulai meninggalkan gedung perpusnas. Sebenarnya kedatangan Zafran mengantar Evelina di perpusnas atas permintaan Wendy. Karena wanita itu hendak mengajak anak semata wayangnya bepergian, tepat setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sejenak Azalia dan Zafran saling terdiam satu sama lain seiring dengan musik mengalun indah membelah kesunyian di antara keduanya. Memang tidak dapat dipungkiri Zafran lebih banyak diam ketika bersama orang lain. “Oh ya, Zaf, gue hampir lupa! Lo ingat kelompok yang dibuat sama Bu Liane? Sepertinya gue belum dapat kelompok. Gue boleh gabung sama lo?” celetuk Azalia terdengar panik. Zafran menoleh sesaat, lalu membalas dengan tenang, “Bukankah lo udah sama Dara kelompoknya? Tadi ada pemilihan acak dari Bu Liane.” “Enggak bisa sama lo aja, Zaf?” pinta Azalia menatap penuh harap. “Udah penuh. Gue sekelompok sama Rey dan Virza,” tolak Zafran lugas dan tegas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD