94. Pertengkaran Kian Memanas

1048 Words
Sejenak terdengar alarm yang berdering tidak sopan mengejutkan seorang gadis yang tertidur lelap. Evelina menggeliat pelan di dalam selimut tebal, lalu meraba-raba ke arah nakas untuk mengambil sebuah benda berbentuk kotak yang memperlihatkan jam digital membetuk angka. Dengan memaksakan diri, Evelina pun bangkit sembari mengusap wajahnya memfokuskan penglihatan pada jam digital kamar. Tepat memencet sebuah tombol yang berada di belakang, gadis itu pun mengingat rambut dengan asal dan mulai memilih seragam yang akan dikenakan hari ini. Langkah gontai Evelina sembari membawa beberapa pakaian itu pun mengejutkan kedua orang tuanya yang ternyata sedang berada di dapur melakukan aksi mesra akibat Bi Darwi pulang kampung. Pemandangan yang sudah biasa terlihat setiap pagi hanya Evelina abaikan begitu saja. Gadis itu memilih menuju kamar mandi di dekat dapur. Sebab, kamar mandi yang berada di lantai atas belum juga selesai diperbaiki membuat Evelina harus bersusah payah bolak-balik menaiki anak tangga. Selama beberapa menit membersihkan diri sekaligus mengganti pakaiannya dengan seragam, Evelina pun keluar dengan rambutnya yang di urai begitu saja. Kemudian, melenggang santai ke arah mini bar dan mendudukkan diri di sana sembari menuangkan segelas air. Wendy yang melihat betapa bengkaknya wajah Evelina pun mengernyit penasaran. Wanita itu menyadari bahwa Evelina tidur larut malam sampai tidak memperhatikan penampilannya sendiri. “Sayang, kamu begadang?” tanya Wendy mendekati anak semata wayangnya sembari memberikan potongan buah untuk disajikan kepada Evelina. “Iya, Mah. Zafran enggak mau pulang sampai malam banget, padahal Eve udah tinggal tidur. Tapi, masih aja bangunin,” jawab Evelina jujur sembari mengangguk pelan menusuk satu per satu potongan buah yang diberikan sang ibu. Peter yang mendengar kejujuran sang anak pun mengernyit bingung dan menyahut, “Kalian berdua bertengkar? Papah lihat, dari kemarin juga Zafran belum ke sini. Padahal Mamah sama Papah baru aja selesai pertemuan tetangga.” “Pertemuan tetangga?” Evelina mengernyitkan keningnya bingung sembari mengunyah potongan buah secara perlahan. “Kapan Mamah sama Papah suka pertemuan gitu? Biasanya juga mesra-mesraan di rumah.” Mendengar gumaman sang anak semata wayang yang terdengar berani, Wendy pun tersenyum geli. “Iya, kemarin Mamah sama Papah ke rumah tetangga yang baru itu. Kamu enggak ikut, sama Zafran juga. Coba kalian ikut, nanti Mamah kenalin sama anaknya.” “Enggak ah, Mah!” tolak Evelina menggeleng pelan. Ia sudah tidak ingin memiliki siapa pun lagi, cukup Zafran dan beberapa teman sekolahnya saja. Selain mudah mengatur jadwal, mereka tidak akan sembarangan ke rumah menghampiri Evelina tanpa persetujuan. Sebab, memiliki Zafran yang berada dalam satu komplek saja sudah membuat Evelina hampir gantung diri. Terlebih kalau harus berkenalan dengan orang lain yang belum diketahui sifatnya sama sekali. “Jangan begitu, Eve. Anaknya juga sekolah di SMA CatWul,” sanggah Wendy penuh peringatan. “Kalau ada waktu, kamu main ke sana sama Zafran. Sekalian kenalan biar punya banyak teman.” Evelina mengembuskan napasnya panjang sembari menyandarkan tubuh, lalu berkata, “Mah, Eve bukan anak kecil lagi. Buat apa banyak teman? Lagi pula sekarang Eve sibuk sekolah udah mau naik kelas 12. Enggak ada waktu santai-santai. Apalagi Eve anggota OSIS, pasti susah diajak main. Yang ada dia ngambek dan ngerugiin ke Eve juga. Nanti dibilang sombong atau apalah.” “Apa yang dibilang Eve ada benarnya, sayang,” timpal Peter mengangguk pelan. merasa apa yang dikatakan sang anak masuk akal. “Mas, aku mau Eve bergaul sama banyak orang dan jangan sama Zafran aja,” balas Wendy tetap bersikeras membiarkan Evelina memiliki banyak kenalan. Melihat keduanya orang tuanya mulai memanas, Evelina pun berkata, “Sekarang Eve udah banyak teman kok. Semenjak Papah datang ke sekolah, semua yang awalnya enggak suka sama Eve langsung biasa aja. Jadi, ada beberapa orang mulai deket sama Eve. Bahkan kalau di sekolah, walapun enggak ada Zafran, Eve enggak pernah kesepian.” “Memangnya siapa teman kamu? Biar Papah cek dulu baik atau enggak,” tanya Peter mendadak membuat Evelina kesal. “Pah!” rengek Evelina dengan tampang memelas. “Eve benar-benar punya teman baik. Jangan begini lagi. Udah enggak ada yang berani nyari masalah.” “Benarkah?” selidik Wendy memincingkan matanya penuh kecurigaan. Evelina mengangguk mantap, lalu mengangkat tangan kanannya mengkode meyakinkan kedua orang tuanya untuk percaya. Sedangkan Peter yang mendengar kabar berita anaknya sudah tidak lagi mendapat keburukan pergaulan pun mengangguk senang. Lelaki itu memang mengancam hendak menuntut sekolah kalau sampai perisakan terhadap Evelina kembali terjadi. Di saat ketiganya asyik berbincang, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat memperlihatkan seorang lelaki tampan tengan memegang tali ransel yang tergantung sebelah kiri. Sontak hal tersebut membuat Evelina melebarkan mata tidak percaya melihat Zafran pagi-pagi sudah datang. Padahal jam dinding masih menunjukkan pukul 05.15 WIB. Artinya, masih ada lebih dari satu jam untuk mereka berangkat ke sekolah. “Selamat pagi, Om, Tante! Zafran numpang sarapan di sini, ya?” sapa Zafran tersenyum lebar, lalu meletakkan tas ransel di salah satu kursi meja makan yang terletak di dapur. Wendy mengangguk pelan sembari tersenyum lebar. “Sarapan di sini, Zafran. Sekalian berangkat bersama Eve biar nanti pulangnya dijemput Pak Jafra.” “Mamah, bukannya hari ini Eve diantar Papah!?” protes Evelina merasa tidak adil dirinya dipercayakan kepada Zafran begitu saja. “Udah, diam aja. Lagi pula Zafran enggak keberatan kamu nebeng sampai sekolah,” balas Wendy mengkode untuk Evelina tetap patuh tanpa membangkang sama sekali. Evelina pun menatap ke arah sang ayah yang terlihat mengangkat bahunya acuh tak acuh sembari kembali menikmati kopi buatan sang istri. Peter benar-benar mengabaikan Evelina sampai gadis itu langsung mengembuskan napasnya kasar dan menenggelamkan wajahnya di lipatan kedua tangan. Sedangkan Zafran yang menjadi objek kekesalan Evelina hanya tersenyum canggung. Lelaki itu tahu bahwa sahabatnya masih belum memaafkan membuat ia harus lebih gencar dalam menunjukkan ketulusan akibat kesalahpahaman kemarin. “Ya udah, Zafran, bisa bantu Tante? Kita buatkan sarapan nasi goreng sama sandwich buat bekal Eve ke sekolah. Karena dia selalu bawa makanan itu,” ajak Wendy tanpa merasa canggung ke arah seorang lelaki yang terlihat sedang menahan sesuatu membuat Zafran menyetujuinya tanpa ragu. “Boleh, Tante! Zafran juga di rumah suka bantu Bunda. Karena belakangan ini Bang Adzran sibuk penelitian.” Wendy mengangguk senang, lalu menoleh ke arah Evelina yang terlihat menekuk wajahnya kesal. “Eve, cepat kamu beres-beres dan turun ke bawah. Mamah enggak mau kamu alasan terlambat buat ngelewatin sarapan. Apalagi ada Zafran ke sini untuk sarapan, jadi kamu harus tetap menghormati tamu.” “Iya, Mah!” pungkas Evelina malas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD