89. Pernah Berpikir Untuk Pergi

2002 Words
Sesampainya di depan gerbang SMP Catur Wulan yang terbuka lebar, Evelina pun beranjak turun membuat Zafran masih di dalam mobil hanya mengembuskan napas panjang melihat sahabatnya menjaga jarak sejak didekati pagi ini. Tampak Evelina berbicara dengan beberapa petugas OSIS yang mempersiapkan pentas seni. Mereka langsung mendekati mobil Zafran yang berhenti tepat di dekat gerbang, lalu membuka bagasi belakang mobilnya untuk mengeluarkan dua kardus penuh slayer pendukung pentas. “Kak Zafran, ini yang dari Bu Liane, ya?” tanya salah satu petugas OSIS bertubuh mungil sembari membawa catatan di tangannya. “Iya benar. Tolong dicatat semua jangan sampai ada yang tertinggal,” jawab Zafran mengangguk pelan, kemudian menatap ke arah beberapa siswi yang terlihat sedang mengatur serangkaian bendera sekolah. Sejenak lelaki itu mengambil alih pekerjaan sembari tersenyum tipis. Ia memang terbiasa membantu acara apa pun di SMP Catur Wulan. Sehingga tidak dapat dipungkiri lelaki itu mengenal banyak murid yang ada di sana, terlebih anggota pengurus OSIS. “Jangan diikat seperti itu, jadikan simpul seperti ini agar ketika selesai bisa dilepas dengan mudah,” ucap Zafran tersenyum geli, lalu mulai mengajarkan cara mengikat yang benar dengan berbentuk seperti pita sebelah. “Kak Zafran ke sini sama siapa?” tanya salah satu gadis yang sibuk memperhatikan lelaki itu mengajarkan cara ikat-mengikat, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain. Memastikan ada anak murid SMA Catur Wulan yang datang. “Sama Kak Eve, tapi entah ke mana sampai di sini tadi,” jawab Zafran mendiringkan bendera sekolah dengan perasaan bangga. “Nah, udah selesai! Kalian tinggal masukin ke tempat tongkat biar langsung dipasang di panggung.” Empat gadis pengurus itu pun mengangguk kompak, lalu dengan bergotong royong membawa lima tongkat berisikan masing-masing bendera yang menjadi pendukung besar di balik pentas. Selesai membantu pemasangan bendera, Zafran pun melangkahkan kedua kakinya menuju sekitar lapangan utama sekolah yang memperlihatkan banyak kegiatan pemasangan atribut pentas seni besok. Kedatangan Zafran benar-benar mengalihkan banyak pandangan guru dan murid yang terlihat sedang bekerja sama. Membuat lelaki itu tersenyum sopan mengganggu kegiatan mereka yang awalnya terlihat serius. Kebanyakan dari mereka yang melihat kedatangan Zafran begitu antusias. Jelas saja jarang sekali lelaki itu menyempatkan diri untuk datang, selain Reyhan yang selalu mengajukan bila ada kesempatan luang. “Kak Zafran!!!” panggil mereka secara bersamaan. “Iya, iya lanjut kegiatan lagi,” jawab Zafran megangguk senang. “Kakak ke sini nyari Kak Eve, ya?” tebak salah satu siswa dengan tersenyum jenaka seakan mengetahui sesuatu. Zafran terdiam sesaat, lalu mengangguk tanpa menolak sama sekali. “Tenang aja, Kak Eve ada di belakang ngambil perlengkapan panggung,” sahut salah satu siswi tertawa pelan, lalu memukul lengan siswa yang tampak jahil memainkan dua orang kakak kelas dari sekolah cabang. Mendengar perkataan itu, mau tidak mau Zafran pun kembali melanjutkan langkahnya menuju tempat yang baru saja disebutkan. Walaupun lelaki tampan itu sama sekali tidak berniat ke sana, sebab entah kenapa ia masih merasa canggung jika berdekatan dengan Evelina. Langkah kaki lebar milik Zafran membawa ke arah sebuah gedung auditorium yang tidak terlalu besar dan biasa digunakan untuk pertemuan ataupun pertandingan cabang ketika melakukan olahraga kerja sama. Sebenarnya fasilitas yang ada di SMP Catur Wulan sedikit berbeda dengan sekolah induknya. Ketika SMA Catur Wulan memiliki dua lapangan yang dibedakan, lain halnya dengan SMP Catur Wulan memiliki satu lapangan luas di depan dan auditorium besar yang mampu menampung sekitar seribu audiens. Tepat sampai di depan pintu, lelaki itu melihat Evelina tengah membawa sebuah box yang cukup besar sampai menutupi seluruh tubuhya. Sontak hal tersebut membuat Zafran langsung mengambil alih tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sedangkan Evelina yang mendapat perhatian dari sahabatnya hanya bisa mengembuskan napas panjang. Ia menjadi bimbang terhadap hatinya sendiri antara terus mengabaikan Zafran dan menyembunyikan kenyataan, atau memantapkan hati mengatakan semuanya agar menjadi lebih jelas. Namun, ketika memikirkan Azalia yang berada di rumah sakit membuat Evelina menjadi tidak enak hati. Ia tidak ingin dikatakan sebagai pencari perhatian, akibat menjelek-jelekkan Azalia yang sekarang sedang melakukan perawatan untuk pemulihan diri sebelum kembali beraktivitas. Setelah puas memandangi Zafran mulai menjauh, Evelina pun memutuskan untuk membantu beberapa siswi merangkai kata-kata di layar panggung. Gadis itu tampak sangat menikmati kegiatannya sampai tidak menyadari bahwa ada sepasang mata mengamati seluruh tingkah penuh ekspresif miliknya. Sampai salah satu siswi bertubuh mungil itu menyadari seseorang tersebut dan langsung berkata, “Kak Zafran, ayo ke sini!” Spontan Evelina yang awalnya sedang tertawa geli mendengar banyak candaan itu pun mendadak bungkam, tergantikan dengan ekspresi datar seakan tidak terjadi apa pun. Sedangkan Zafran melihat perubahan ekspresi Evelina begitu cepat pun mulai merasa tidak nyaman. Entah kenapa lelaki itu merasa bahwa sahabatnya sedang menjaga jarak. Padahal yang seharusnya marah akibat tindakan kemarin adalah dirinya, tetapi tingkah Evelina benar-benar tidak bisa dibiarkan. Tanpa pikir panjang lelaki itu langsung meraih pergelangan tangan Evelina dan membawanya pergi menjauh dari sekumpulan siswi bertubuh mungil yang melebarkan mata terkejut. Mereka menatap kepergian Evelina yang diseret oleh Zafran ke arah tempat lebih sepi. Tentu saja keduanya hendak meluruskan kembali masalah kemarin sekaligus tadi pagi yang belum selesai. Terlebih tindakan semena-mena Evelina yang seakan berubah menjadi orang lain membuat Zafran mendadak muak. “Ada apa sama lo, Ve?” tanya Zafran menyudutkan Evelia di dinding gudang belakang yang bagian dalamnya dipenuhi oleh banyak murid SMP Catur Wulan bertugas untuk menyiapkan atribut pelengkap pentas. Evelina sengaja menatap ke arah lain, sebab ia terlalu kesal kalau harus menatap Zafran yang sejak tadi terus bertanya. Padahal sudah jelas dirinya kesal terhadap sikap lelaki itu yang begitu mendukung Azalia dan mempercayainya seakan sudah mengenal sejak lama. “Jawab gue!” sentak Zafran menarik dagu mungil Evelina sedikit kasar agar menatap penuh ke wajahnya yang terlihat marah. Alis lentik nan mungil milik Evelina yang tidak terlalu tebal itu pun terangkat sebelah, lalu bertanya, “Kenapa sama gue?” “Tingkah lo sejak kemarin itu mulai aneh. Bukankah seharusnya yang marah itu gue?” jawab Zafran mengernyit tidak percaya pada dirinya sendiri yang merasa tersudut dengan ekspresi pongah dari Evelina. “Oh iya? Benarkah?” Tanggapan tidak serius dari gadis itu membuat Zafran hanya bisa mengembuskan napasnya pasrah. ** Percakapan Evelina dan Zafran yang sempat memanas tadi memang menjadi sia-sia. Tidak ada yang merespon apa pun sejak Zafran memutuskan pergi lebih dulu. Meninggalkan Evelina sendirian di belakag gudang. Sebenarnya tanpa lelaki itu ketahui, Evelina sengaja bersikap menyebalkan hanya untuk memberikan pelajaran pada Zafran untuk tidak terlalu mempercayai orang lain. Atau bahkan pandangannya yang sepihak. Tentu saja kejadian yang kemarin lelaki itu lihat bukanlah sebenarnya, karena ada beberapa kejadian dan percakapan yang belum Zafran ketahui. Namun, lelaki itu sudah mengambil kesimpulan begitu saja dengan menganggap bahwa apa yang dilihatnya ternyata kebenaran. Tepat menyelesaikan kegiatan di SMP Catur Wulan, Evelina memang langsung memutuskan kembali ke sekolahnya lebih dulu. Ia meninggalkan Zafran yang tengah sibuk mengangkat beberapa barang untuk diletakkan di atas panggung. Bahkan Evelina sama sekali tidak memikirkan lelaki itu akan mencarinya atau tidak. Sebab, yang menjadi sudut pandang Evelina hanyalah dirinya harus segera kembali mengambil alat sekolah sebelum gelap. Karena kedua orang tuanya sudah dipastikan kembali dari perjalanan bisnis. Sesampainya di sekolah, Evelina yang baru saja turun dari taksi itu pun berlari masuk menuju kelasnya berada. Akan tetapi, sayang sekali ketika sampai di sana Evelina tidak melihat tanda-tanda keberadaan tas miliknya. Membuat gadis itu kembali turun dengan napas tersenggal-senggal, kemudian mulai melangkah menuju ruang kepengurusan OSIS yang kemungkinan besar dibawa oleh Syafa. Belum sempat sampai ruang kepengurusan, Evelina bertemu salah satu senior yang sempat terlibat perisakan dirinya. Hal tersebut membuat Evelina tanpa sadar memundurkan langkahnya pelan menatap seorang gadis nakal yang sebagian rambut depannya dikepang lucu ala kekoreaan. “Eh, Eve!” panggil senior tersebut dengan nada kurang santai. “Iya, Kak. Ada apa?” tanya Evelina merespon dengan sedikit gugup, sebab ia memang hampir tidak pernah bertemu dengan gadis itu lagi sejak kedatangan orang tuanya. Memang Evelina tidak perlu merasa takut lagi, karena semua masalah yang ada di sekolah jelas sudah diurus secara tuntas oleh Peter. Akan tetapi, entah kenapa gadis itu masih saja belum berani menatap orang-orang yang kemungkinan besar mencari masalah dengan dirinya. “Gue dengar di kelas lo ada anak baru, ya. Siapa namanya,” tanya senior itu balik, tetapi dengan wajah yang masih tetap terkesan sombong dan congkak. Membuat beberapa murid lainnya melintasi mereka berdua dengan wajah sedikit takut, lalu mulai berbisik pelan ketika mulai terlihat jauh. “Namanya Rafa, Kak,” jawab Evelina jujur. Ia memang tidak akan menutupi apa pun kebenaran di hadapannya, karena tidak ada yang baik kalau harus menutupi kenyataan tersebut. “Ah, namanya Rafa. Ternyata sepupu jauh Daneen ganteng juga, ya?” gumam gadis nakal dengan permen bertongkat di dalam mulutnya sembari mengangguk-angguk pelan. Namun, sayang sekali telinga Evelina yang menangkap dengan cepat ketika mendengar suara perbincangan seseorang itu pun mengernyitkan keningnya bingung. Kini jauh dari dalam lubuk hati Evelina tersimpan banyak pertanyaan yang kemungkinan besar mengarah pada keberadaan Rafa. Walaupun lelaki itu datang sebagai program pertukaran pelajar, tetapi Evelina masih kurang meyakini dirinya sendiri tujuan asli dari kehadiran Rafa itu seperti apa. Untuk ukuran sekolah dalam segi favorit jelas masih ada yang lebih unggul. Hanya saja SMA Catur Wulan memang dikenal sebagai lulusannya mampu menyaingi program SMK. Sebab, kurikulum yang diajarkan memang sesuai, tetapi ada beberapa program kerja mirip seperti SMK. Sehingga tidak dapat dipungkiri mereka bisa melakukan apa pun hanya dengan kelulusan sebagai SMA. “Rafa duduk sama siapa?” tanya senior tersebut mendadak penasaran, karena ia memang tidak mendengar apa pun berita tentang seorang murid lelaki pindahan yang ternyata masih dalam saudara sepersepupuan dengan Daneen. “Sendirian di belakang aku, Kak,” jawab Evelina menunjuk ke arah dirinya sendiri. “Oh, di belakang lo? Baguslah,” gumam senior perempuan tersebut mengangguk-angguk pelan sembari meninggalkan Evelina yang mengernyitkan keningnya penasaran. Akan tetapi, Evelina yang melihat senior kelas atas pergi meninggalkannya, gadis itu langsung bergegas melanjutkan langkah kakinya menuju ke ruang kepengurusan OSIS yang terlihat dipenuhi beberapa anggota. Kedatangan Evelina pun mengalihkan perhatian mereka semua membuat kegiatan yang awalnya dikerjakan mulai menyapa kedatangan gadis itu lebih dulu, sebelum akhirnya kembali berlanjut dengan perasaan lebih tenang. Sedangkan gadis yang masih sibuk mencari tas miliknya itu pun melenggang masuk ke dalam menemui beberapa teman seperjuangannya tengah sibuk membersihkan ruangan. Ternyata mereka semua sedang melakukan piket ruang OSIS membuat Evelina yang sudah melakukannya kemarin hanya terfokus mencari tas. “Ve, lo nyari tas?” celetuk Syafa yang baru saja datang dengan kain lap tersampir di pundak kanannya sembari membawa satu bungkus kecil cairan pembersih untuk hari ini. Evelina mengangguk pelan, lalu membalas, “Iya. Di mana tas gue?” “Uhm … tadi sih sempat dibawa sama Rafa, tapi langsung diminta gitu sama Jo. Sekarang anaknya malah enggak tahu ke mana,” ungkap Syaga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sejenak Evelina mengembuskan napasnya santai sampai gadis itu menyadari dahan pohon tersebut bergoyang pun hanya mengangguk-angguk penuh ketenganan, tetapi tidak dengan langit gelap menelan seperkian langit cerah. “Eve, lo lagi nyari tas, ya? Tadi dibawa Jo ke parkiran,” seru Mesya berlari dari arah ruang guru sembari membawa beberapa kertas di tangannya, lalu berhenti tepat di hadapan Evelina yang menatap dengan kening berkerut penasaran. “Jo mau ke mana?” tanya Evelina. “Gue pikir, dia mau ke SMP CatWul. Karena seluruh pengurus OSIS disuruh bantu-bantu biar cepat selesai,” jawab Mesya memperlihatkan beberapa kertas daftar barang yang dipinjam. “Gue aja mau ke sana sekalian ngasih daftar barang ini.” Evelina berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. “Gue udah enggak ke SMP CatWul. Lagi pula gue baru aja dari sana, mau ngapain lagi coba? Lebih baik gue ngerjain tugas dari Pak Han.” “Oh, iya benar! Ada tugas dari Pak Han, tapi sepertinya Jo udah ngasih buku sama lo.” Mesya menepuk dahinya pelan hampir melupakan kenyataan wali kelas mereka yang dikenal killer. Berpikir mengenai tugas yang diberikan lelaki paruh baya tersebut, Evelina mulai mencemaskan murid pertukaran pelajar di kelasnya. Kemungkinan besar memang lelaki itu akan memiliki teman, walaupun tidak mudah. “Tenang aja, Rafa udah diambil sama Jo tadi. Mereka berdua langsung duduk bersama pas Pak Han masuk ke kelas,” sahut Mesya seakan mengetahui arti tatapan dari gadis yang ada di hadapannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD