87. Membiasakan Diri Dengan Lingkungan Baru

2003 Words
“Eve, sepertinya gue enggak ke kantin dulu.” Seorang gadis yang baru saja sampai di depan kelas tetangga itu pun mengernyitkan keningnya bingung, lalu menatap ke arah dalam yang memperlihatkan banyak murid tengah mengerjakan tugas. Bahkan tidak sedikit dari mereka tampak frustasi membuat Evelina mengangguk maklum. “Ada tugas dari Pak Han, ya?” tebak Evelina tepat sasaran. Yeoso tersenyum paksa sembari mengembuskan napasnya pendek. “Mau gimana lagi, wali kelas lo emang kadang kejam banget kalau ngasih tugas. Untung aja enggak sampai membuat seluruh kelas bunuh diri. Mana enggak bisa nyontek pula.” Mendengar gerutuan dari gadis yang ada di hadapannya membuat Evelina tertawa pelan, lalu menepuk pundak Yeoso beberapa kali sembari berkata, “Kadang Pak Han memang terkenal kejam, jadi jangan terlalu sedih. Gue sebagai anak didiknya juga udah kenyang sama tugas.” “Gue jadi penasaran, sebenarnya status kita itu pelajar atau mahasiswa, sih? Bahkan tetangga gue yang jadi mahasiswa aja suka heran sama tugas-tugas dari Pak Han. Sampai ada dari mereka yang ngira kalau gue udah kuliah. Sedih tapi enggak bisa diceritain,” keluh Yeoso menyandarkan kepalanya kesal di ambang pintu. “Ya udah, gue ke kantin dulu. Lo mau nitip?” putus Evelina sekaligus menawarkan sesuatu pada teman kelas tetangganya yang kemarin hampir aja kena masalah. “Enggak. Nanti sepulang sekolah kita ketemuan di depan gerbang, ya!” tolak Yeoso tidak enak hati, lalu mulai mengutarakan permintaannya. “Mau ngapain?” tanya Evelina mengernyitkan keningnya bingung. “Gue mau tanya sesuatu,” jawab Yeoso penuh teka-teki, lalu melenggang pergi begitu saja meninggalkan Evelina yang melebarkan matanya kesal. Akhirnya, mau tidak mau Evelina pun melenggang pergi juga dari kelas 11 IPA 3 yang memutuskan untuk tetap berada di dalam kelas. Walaupun jam istirahat telah berdenting sejak tadi. Sebelum memutuskan keluar kelas tadi, Evelina memang sempat dicegah oleh Jordan. Lelaki tampan berwajah datar nan dingin itu mempertanyakan masalah dirinya dengan Zafran. Namun, sayang sekali Evelina pun tidak mengetahui mengapa sahabatnya bisa marah sampai berlaku kasar seperti tadi. Sejujurnya, apa yang terjadi kemarin bukanlah seperti yang dibayangkan oleh Zafran. Akan tetapi, Evelina ingin memberi tahunya tidak memiliki kekuatan. Bahkan Yeoso yang biasa terlihat kuat pun mendadak bungkam. Entah apa yang dipikiran gadis itu. Beberapa murid kelas tetangga tampak memperhatikan Evelina yang melangkah begitu berani menyusuri lorong tanpa kehadiran prajuritnya sama sekali. Tidak sedikit dari mereka mulai mengungkit masalah perisakan kemarin yang untungnya tidak sampai terdengar oleh guru. Jelas saja pihak yang paling dirugikan adalah Azalia. Namun, entah apa alasan gadis itu meminta siapa pun untuk bungkam. Kemudian, menyangkal semua tuduhan yang mengatasnamakan perisakan dengan tidak sengaja terbentur oleh sesuatu. Tentu saja hal tersebut membuat Daneen lolos dari semua tuduhan yang mengarah pada gadis itu. Bahkan beberapa siswi yang memvideokan kejadian tersebut ikut tidak menyuarakan apa pun, karena Azalia sendiri yang menyangkal semua tuduhannya. Sedangkan siswi lain yang merasa pembelaan mereka akan sia-sia pun memilih untuk tetap diam daripada mendapat masalah telah membocorkan bukti akurat tersebut. Memikirkan kejadian kemarin benar-benar membuat Evelina merasa sangat lelah, begitu pula batinnya. Kesalahpahaman ini tidak akan pernah berujung sampai ia mengatakan yang sejujurnya pada lelaki itu. Akan tetapi, Evelina menjadi kurang yakin apakah yang dikatakannya akan tetap mendapat kepercayaan atau hanya rasa simpati terkesan pura-pura. Sebab, sampai hari ini Evelina belum melihat kehadiran Azalia yang selalu berada di dekat taman belakang sekolah. Pikiran Evelina pun mengarah pada Azalia yang kemungkinan besar berada di rumah sakit untuk menjalankan opname. Mengingat kondisi gadis itu kemarin sangatlah mengenaskan dengan memar disekujur tubuhnya dan beberapa luka sobek akibat tindakan ganas dari Daneen yang seakan dirasuki oleh iblis. Di saat sibuk memikirkan kejadian kemarin sembari melangkah secara perlahan menuju kantin, tanpa disadari ada seorang lelaki yang berusaha mengejar langkah Evelina dan sesekali meminta maaf kepada beberapa orang yang tidak sengaja ditabrak olehnya. Rafa yang terlihat berlari cukup kuat untuk menyusul Evelina. Lelaki tampan dengan seribu pesona hampir mengalahkan The Handsome Guy tampak merangkul gemas di pundak Evelina. “Halo, Eve!” sapa Rafa dengan suara menyebalkan. Sontak Evelina yang mendengar sapaan tersebut langsung memuntir tangan lelaki itu dengan kesal, lalu berkata, “Jangan sok akrab!” “Ah! Sa … sakit!” keluh Rafa memegangi lengannya yang terasa nyeri mendapatkan balasan tidak terduga dari gadis mungil di hadapannya. Bahkan kedua lutut miliknya pun ikut terasa lemas seakan tidak bertenaga sama sekali. Mendengar keluhan yang meminta tolong, mau tidak mau Evelina pun melepaskan cekalan tangannya pada pergelangan tangan lelaki tampan itu. Kemudian, kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kantin. Rafa seakan tidak menyerah itu pun kembali mengikuti Evelina sembari memegangi tangannya yang mendadak kebas nan nyeri. Serangan tidak terduga dari gadis mungil itu benar-benar menyerang pada titik mematikan miliknya. “Lo kuat banget, Ve! Anak bela diri, ya?” tebak Rafa sembari menunjuk penuh percaya diri. Sedangkan Evelina yang melihat telunjuk lelaki di sampingnya pun hendak mengingit ganas, tetapi sayang sekali langsung ditarik dengan cepat oleh Rafa. Membuat Evelina hanya menggigit angin kosong yang terasa hampa. “Astaga, seram banget becandanya,” keluh Rafa mendadak takut. Sontak ekspresi itu tidak luput dari wajah Evelina membuat gadis cantik yang biasanya terlihat datar mulai tersenyum geli. Ia tidak bisa menahan diri melihat wajah terkejut dari Rafa yang sama sekali tidak menduga dirinya akan berubah menjadi ganas ketika di sekolah. Tawa lepas yang terdengar riang itu pun membuat Rafa ikut tersenyum dan membiarkan gadis di sampingnya memukul-mukul bahu miliknya akibat terlalu gemas. Bahkan tidak dapat dipungkiri beberapa murid yang melihat interaksi Evelina dan murid asing itu pun tampak penasaran. Sebab, ini kali pertama mereka melihat Evelina bisa tertawa begitu lepas, selain bersama Zafran. Tanpa disadari pula ada sepasang mata yang mengawasi dengan kesal membuat tangannya ikut terkepal kuat seiring dengan bola matanya bergerak mengikuti langkah Evelina yang terlihat begitu riang. “Namanya Rafa, murid pertukaran pelajar. Gue tebak dia kenal Eve udah lama,” celetuk Jordan tanpa diminta sama sekali, sebab lelaki itu mengetahui bahwa sahabatnya terlalu gengsi untuk meminta informasi mengenai siapa pun yang mendekati Evelina. Status sebagai sahabat membuat Zafran benar-benar terbatas dalam melakukan pengawasannya. ** “Mau pesan apa, Ve? Sepertinya gue butuh rekomendasi dari lo. Karena selain nasi goreng gue belum tahu makanan lebih banyak yang ada di sini.” Kini Evelina dan Rafa telah sampai di kantin yang tidak terlalu ramai, sebab kebanyakan murid telah menyelesaikan makan siangnya sehingga memutuskan untuk masuk ke dalam kelas melakukan tugas yang belum selesai. “Menurut gue, lo harus cobain ketoprak kalau ingin rasa bumbu kacang yang enak. Atau bisa juga siomay kalau lo enggak lapar,” usul Evelina menunjuk ke arah dua pedagang yang terlihat sepi. Rafa tampak menggeleng pelan, lalu menolak, “Sepertinya kalau bumbu kacang berisiko jerawatan enggak, sih? Gue selalu dengar dari beberapa siswi di sekolah lama kalau mereka ngehindari kacang tanah biar enggak jerawatan.” Mendengar perkataan tersebut, Evelina sukses menggeleng malas dan melenggang santai ke arah pedagang mie ayam yang terlihat sepi. Bahkan sang pemiliknya tengah mencuci mangkuk kotor sisa murid SMA Catur Wulan makan. “Jangan percaya sama mitos!” balas Evelina mengembuskan napasnya panjang. “Terkadang apa yang kita takutkan justru terjadi. Lagi pula jerawat itu datang bukan karena makan kacang atau tidak, melainkan hormon yang ada di tubuh kita. Lo anak IPA tapi masih ngerasa ragu sama hal begini. Heran gue.” Rafa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu berusaha membela diri. “Bukan percaya, Ve. Gue lebih tepatnya menjaga aman aja. Karena hampir setahun gue sukses ngehilangin jerawat.” “Benarkah?” tanya Evelina melebarkan matanya terkejut. Jelas saja untuk ukuran seorang lelaki tampan seperti Rafa tidaklah mungkin memiliki jerawat. Apalagi perkataan lelaki itu yang seakan-akan membesarkan masalah membuat Evelina tidak percaya begitu saja. “Benar, Ve! Gue enggak ngada-ngada sama sekali,” jawab Rafa mengangguk meyakinkan, lalu mulai menunjukkan ke arah beberapa bekas jarawat di wajahnya. “Kalau lo enggak percaya bisa lihat di sini.” Sejenak Evelina pun mendekati wajah Rafa untuk memastikan bahwa perkataan lelaki itu memang benar. Sampai tanpa sadar wajah keduanya pun sangat dekat sampai Rafa bisa merasakan deru napas Evelina menyapu wajahnya. “Ah, iya benar! Ada bintik samar di pipi lo,” gumam Evelina mengangguk pelan, lalu menyadari jarak mereka sangat dekat membuat gadis itu spontan menjauhkan tubuhnya dengan kikuk. Sedangkan pemandangan romantis itu pun membuat beberapa murid yang masih berada di kantin mendadak gemas. Mereka langsung berpura-pura tidak melihat apa pun ketika menyadari keduanya tampak salah tingkah satu sama lain. “Ya … ya udah, sekarang pilih makanan lo,” ucap Evelina mendadak tergagap, lalu berbalik sembari merutuki kebodohannya. Rafa yang mendengar nada gugup dari ucapan Evelina hanya terdiam senang. Entah kenapa ia merasa gadis di hadapannya sangat menarik, bukan merasa tertarik dalam sesaat. Sebab, keduanya sudah bertemu semalam, meskipun terkesan kurang baik. Menuruti perkataan gadis yang ada di hadapannya, pilihan Rafa pun jatuh ke salah satu pedagang gorengan di sudut kantin. Lelaki itu tampak menghampiri dengan kening yang menatap penasaran, terlebih beberapa murid menikmati gorengan dengan disiram sambal. “Bu, gorengannya berapaan?” tanya Rafa mulai memilih beberapa lembar gorengan bakwan, tempe, dan risol yang terasa hangat. “Beli satu seribu, kalau beli dua ribu dapat tiga,” jawab pedagang tersebut memberikan piring plastik ke arah Rafa. Sejenak lelaki itu menerima piring plastik berwarna biru yang terlihat pudar dengan kening yang berkerut penasaran. Tentu saja ia tengah mempertanyakan kelayakkan dari alat makan seperti ini. Evelina yang baru saja mengambil pesanannya pun menatap Rafa dengan malas. Terkadang orang dari luar negeri memang terheran-heran dengan seluruh pelayanan dari kantin sekolah. “Itu masih bisa dipakai dan lo enggak akan keracunan,” celetuk Evelina seakan menjawab seluruh pertanyaan di hatinya. Rafa menoleh cepat, lalu berbisik, “Lo yakin, Ve? Ini pudar dan sedikit rusak. Kalau gue keracunan gimana? Sedangkan ini plastik yang kurang layak konsumsi.” Evelina mengembuskan napasnya kasar, lalu membalas sarkas, “Kalau enggak mau ya enggak udah beli!” Mendengar perkataan tersebut, Rafa hanya menatap penuh kebimbangan sebelum memutuskan untuk membeli gorengan yang menarik perhatiannya. Tentu saja selain murah, Rafa tidak perlu mempelajari banyak mata uang karena ia hanya perlu mengeluarkan uang lima ribu dengan kembalian sebanyak tiga ribu rupiah. Selesai memesan makanan, Evelina pun mengambilkan air mineral dari dalam botol yang tersedia di atas meja, kemudian memberikan uangnya pada warung kecil yang berada di kantin. “Lo harus membiasakan diri kalau mau sekolah di sini. Karena jelas berbeda jauh dibandingkan sekolah lama lo. Jadi, jangan sombong mau sekolah lama sebagai murid yang mengikuti program pertukaran pelajar,” sindir Evelina sembari mengaduk-aduk mie ayam di mangkuk miliknya. “Bukan begitu, Ve,” sanggah Rafa merasa perkataan gadis di hadapannya terlalu berlebihan, tetapi ia memang tidak menampik bahwa apa yang dikatakan Evelina memang benar. “Gue cuma ngerasa aneh aja ngelihatnya, enggak lebih.” Evelina tersenyum paksa, lalu mengangguk beberapa kali. “Makanlah!” Sejenak Rafa menatap ke arah gorengan yang terlihat enak, tetapi tidak dengan alat makannnya perlu dipertanyakan steril atau tidak. Sebab, terlihat tidak higienis. Dengan ragu-ragu Rafa memakan gorengan tersebut sembari memejamkan matanya. Sampai bola matanya kembali terbuka dengan menampilkan wajah terkejut. “Uhm, enak!” puji Rafa mengangguk-angguk senang, lalu kembali menikmati gorengan miliknya. “Terlepas dari higienis atau enggak, yang jelas sekarang perut gue kenyang dulu.” Mendengar hal tersebut, Evelina hanya menggeleng pelan. Kemudian, membuka botol air mineral yang berada di hadapan Rafa dan memberikan air tersebut ke arah lelaki tampan baru saja Evelina kenal sejak semalam. “Minum dulu. Lo makan gorengan, takutnya radang tenggorokan,” titah Evelina singkat. Seakan patuh apa yang dibicarakan oleh gadis di hadapannya, Rafa mulai meneguk air mineral tersebut sembari menganggu-angguk paham. “Gue jadi lebih pengalaman, kalau makan di sini yang penting enak dulu baru mikirin higienis atau enggaknya.” Merasa apa yang dikatakan Rafa benar, Evelina hanya mengangguk pelan. Ia memang tidak menanggapi perkataan lelaki itu, selain membiarkannya menikmati makanan yang terasa enak bagi warga asli Indonesia. Jelas saja tidak ada yang bisa mengalahkan rasa nikmat gorengan dengan ayam goreng. Namun, tetap saja bagi warga asli pribumi, tidak akan nikmat kalau tidak ada gorengan setiap makan. Membuat mereka menjadikan gorengan sebagai makanan pokok, walaupun diketahui kebiasaan itu sangat tidak baik untuk tenggorokan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD