***
Sejatinya, masa tersulit bagi seseorang bukanlah ketika tidak memiliki uang, melainkan tidak memiliki seseorang untuk bersandar ketika dalam fase jiwa paling rapuh.
IG: Upi1612
***
Angeline terus berjalan ke arah Ruangan Kepsek. Sebetulnya ini adalah kali kedua dirinya memasuki ruangan tersebut. Pertama, saat dirinya baru masuk SMA ini, di mana saat itu ayahnya mengajukan diri untuk menjadi donatur tetap dengan jumlah donasi yang sangat tinggi dibanding donatur-donatur lain. Dan kedua, sekarang, Angeline banr-benar tidak tahu untuk apa dirinya dipanggil ke Ruangan Kepsek.
“Ngel!” seru salah seorang teman Angeline dari jauh.
“Ntar aja, gue dipanggil Pak Botak.” kata Angeline menyahut sambil berteriak.
Angeline tidak menyapa atau berniat menyapa orang lain lagi. Dirinya hanya ingin pergi ke ruangan kepsek, titik. Ntah mengapa dirinya merasa sedikit dag-dig-dug saat ini. Padahal, Angeline sangatlah yakin kalau Kepsek tidak akan mengeluarkan dirinya dan tidak akan memarahinya, secara dirinya adalah anak donatur tertinggi di sekolah ini.
Meski pikiran Angeline melayang ke mana-mana, Angeline tetap merasa kalau dirinya harus terus bersikap ‘stay cool’ untuk menyembunyikan kegelisahannya.
Tanpa sadar, kini Angeline sudah berada di depan ruangan kepala sekolah. Tanpa berpikir apa-apa lagi, Angeline langsung mengetuk pintu. Bagaimanapun dirinya masih memiliki sifat sopan santun terhadap guru.
Tok-Tok-Tok!
“Masuk!” seru Pak Simorangkir selaku Kepala SMA Langit dari dalam ruangan.
Angeline pun masuk. Dan betapa terkejutnya dirinya melihat ada walikelasnya juga di dalam sana. Jadi, di ruangan tersebut ada 3 orang, yakni kepsek, walikelas, dan guru BK.
“Duduk dulu, Nak.” kata Ibu Nara, walikelas XI MIA 1, kelas Angeline.
Angeline pun menurut. “Ada apa ya, Bu?” tanya Angeline yang tidak suka basa-basi dan tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Guru-guru Angeline terlihat sangat sedih. Angeline jadi bingung dna penasaran sendiri dibuatnya.
“Kamu yang sabar ya?” kata Ibu Nara.
Di samping Ibu Nara ada Pak Baskoro selaku guru BK. Karena Angeline perempuan jadi Pak Simorangkir dna Pak Baskoro meminta Ibu Nara untuk menyampaikan apa yang terjadi kepada Angeline.
DEG!
Mendengar satu kalimat itu terucap dari bibir walikelasnya membuat Angeline merasa kalau telah terjadi sesuatu. Angeline merasa kalau dirinya harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Ada apa, Bu? Sabar untuk apa?” tanya Angeline tak sabaran.
“Orang tuamu mengalami kecelakaan dan kini berada di rumah sakit.” kata Ibu Nila.
“A-apa?” tanya Angeline seakan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh walikelasnya.
Angeline berdiri. “Tidak, tidak mungkin. Ibu pasti bercanda.” kata Angeline dengan kekhawatiran yang luar biasa. Meski dirinya mencoba menyangkal apa yang terjadi namun air mata Angeline tetap mengalir di pipi.
“Ibu Nila serius. Itulah yang sebenarnya terjadi.” kata Pak Simorangkir.
Angeline mendongak mencoba menghalau air matanya yang semakin menderas tanpa Angeline minta.
“Lalu di mana orang tua saya?” tanya Angeline menatap ketiga gurunya bergantian.
“Orang tuamu ada di Rumah Sakit Sahabat.” kata Pak Baskoro.
Angeline langsung berbalik dan berlari menuju pintu. Saat ini, satu-satunya hal yang sangat dia ingini adalah bertemu dengan orang tuanya dan ingin melihat bagaimana kondisi orang tuanya.
“Angeline, tunggu! Kami akan mengantarmu ke rumah sakit!” seru Ibu Nila.
Angeline tidak memperdulikan seruan Ibu Nila di belakangnya. Dirinya hanya terus berlari dan berlari. Angeline benar-benar merasa tidak peduli dengan semua orang yang di belakangnya. Angeline hanya ingin berlari, menyetop taksi dan langsung berjalan ke rumah sakit, tidak mau menunggu siapapun, tak mau menumpang mobil gurunya yang tidak mungkin langsung jalan pergi ke Rumah Sakit.
“Taksi!” seru Angeline sambil melambaikan tangan ke sebuah taksi yang lewat.
Di sekolah Angeline yang berada di depan Jalan Raya, mencari taksi tanpa memesan taksi online sangatlah mudah. Itulah mengapa ketika Angeline keluar dari sekolahnya, dirinya bisa langsung mendapatkan taksi yang lewat.
Melihat Angeline melambai, supir taksi langsung menepikan mobilnya di dekat Angeline. Tak mau membuang-buang waktu, Angeline langsung masuk ke dalam taksi tersebut. Pikirannya beanr-benar merasakan kalut saat ini.
Mama.. Papa.. Angeline datang.. – batin Angeline.
Di saat-saat seperti ini Angeline benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Dirinya sangat mencemaskan kedua orang tuanya. Ketiga guru yang ada di kantor kepsek tersebut tentu tidak mungkin membohongi Angeline.
“Pak, ngebut ya, Pak!” seru Angelin.
“Oke, Neng.” kata pengemudi yang langsung mempercepat laju mobil taksinya.
Sesampainya di depan rumah sakit, Angeline langsung mencoba membuka pintu namuan pintu masih di kunci oleh supir. Angeline pun langsung membuka kunci pintu sendiri.
“Neng, bayar dulu!” kata supir tersebut.
Angeline mengambil uang dari sakunya langsung memberikan uang tersebut kepada supir tersebut lalu membuka pintu.
“Kembaliannya, Neng!” seru pengemudi.
“Ambil aja!” seru Angeline.
Angeline langsung berlari ke rumah sakit. Dia tidak memperdulikan semua orang yang kini menjadikannya pusat perhatian. Angeline benar-benar tidak perduli.
“Dik! Tidak boleh lari-lari!” seru seseorang.
“Woi, jangan lari-larian di rumah sakit!” seru seseorang yang lain.
Angeline tidak mendengarkan suara teriakan-teriakan itu yang jelas, dirinya merasa harus menemui kedua orang tuanya dengan segera. Angeline benar-benar merasa tidak peduli dengan apapun dan siapapun yang menghalanginya.
Saat sedang berlari, seorang satpam dari arah depan langsung merentangkan tangan di depan Angeline hingga Angeline hampir saja menubruk tubuh satpam bertubuh keker itu jika diirnya tidak bisa menghentikan langkahnya.
“Adik tidak boleh berlari-larian di sini.” kata satpam tersebut dengan wajah yang sangat seram sambil menahan tangan Angeline saat Angeline bersiap untuk berlari.
“Pak, tolong lepaskan saya. Saya mau menemui orang tua saya!” seru Angeline.
“Tetap saja itu tidak bisa membenarkan tingkahmu yang berlarian di koridor rumah sakit.” kata satpam.
“Pak, tolong! Bapak bisa ceramani saya nanti setelah saya bertemu dengan orang tua saya. Kalau pun bapak mau menghukum saya, hukum saya nanti kalau saya sudah bertemu dengan orang tua saya. Saya mohon, Pak!” kata Angeline sambil menangis.
Hatinya benar-benar tidak karu-karuan saat ini. Angeline memang sedari tadi sudah menangis dan kini air matanya langsung membanjir.
Melihat air mata yang mengalir di pipi Angeline dan melihat kejujuran, ketakutan, dan kekhawatiran di mata itu, satpam tersebutpun langsung melepaskan tangan Angeline. “Orang tuamu ada di ruang berapa?” tanya satpam tersebut.
Satpam tersebut berniat untuk membantu Angeline.
Angeline menggeleng. Dirinya baru ingat kalau dirinya hanya tahu kalau orang tuanya berada di Rumah Sakit Sahabat tidak lebih. Karena saat gurunya hendak memberitahukan dirinya langsung lari dan bergegas ke rumah sakit ini.
“Tolong saya, Pak. Nama ayah saya Louis Patridge Pratama dan ibu saya Suzana Mardathila Pratama. Tolong bantu saya carikan kamar mereka. Mereka korban kecelakaan.” kata Angeline sambil menyatukan tangan di depan d**a.
“Baik, mari ikut saya.” kata Satpam tersebut.
Angeline pun langsung mengangguk dan mengekori satpam tersebut yang mulai berjalan menuju bagian administrasi kantor untuk mengecek nama kedua orang tua Angeline. Angeline memang tidak bisa menjamin apakah satpam tersebut benar mengingat nama kedua orang tua yang diucapkannya atau tidak.
“Kau tunggu di sini.” kata satpam tersebut.
Angeline mengangguk. Bagaimanapun dirinya masih anak SMA yang tidak tahu apa-apa. Meksi pembangkang di sekolah, dirinya tetaplah anak penurut. Lagi pula tidak ada yang bisa dilakukannya selain menuruti apa yang dikatakan oleh satpam di hadapannya.
Tak lama kemudian, Satpam tersebut langsung menghampiri Angeline lagi.
“Gimana, Pak?” tanya Angeline tidak sabaran.
“Orang tua kamu ada di lantai 3, ruang melati.” kata satpam tersebut.
“Makasih, Pak.” kata Angeline langsung berlari.
Kali ini satpam tersebut tidak lagi menghentikan Angeline yang kembali berlari menuju ruangan kedua orang tuanya karena dirinya sudah mendengar kondisi kedua orang tua Angeline dari perawat yang berjaga di bagian registrasi.