Bab 3 : Tes Perawan
Dengan puas, Anjani tertawa di kamarnya. Ia senang bisa menakuti mamanya itu, tapi sayang ... Lucky si ayah tirinya itu gak takut sama ular. Akhirnya ia bisa terbebas dari omelan Endah Pratiwi, begitulah nama wanita yang sudah melahirkannya 25 tahun silam.
Anjani membuka pakaiannya dan menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ia memang terlihat agak gendut sekarang, perut saja terlihat semakin berisi. Diusapnya perut itu, ia jadi bimbang jika benaran hamil tanpa suami.
“Masa iya aku benaran hamil sih?” Anjani tertegun. “Ah, nggak mungkin, gak ada sejarahnya hamil tanpa melakukann hubungan badan itu. Ini sangat tida masuk diakal. Apa sebaiknya besok aku minta dites perawan saja ya?” Ia membatin.
Anjani menghembuskan napas berat lalu melangkah menuju lemari pakaiannya, dan memakai piama untuk tidur. Diarihnya ponsel dan melihat ada beberapa pesan dari mamanya.
[Anjani, turun ke bawah sekarang! Mama mau bicara hal penting sama kamu.]
[Anjani, cepat! Mama tunggu!]
[Kalau kamu tak turun sekarang, nama kamu mama coret dari daftar warisan!]
Anjani berdecak kesal, lagi-lagi sang mama mengancamnya dengan dalih warisan. Dengan kesal, ia keluar dari kamar dan menuruni anak tangga.
Di ruang tengah, sang mama telah menunggu dengan sang ayah tiri di sampingnya. Mereka terlihat sedang bermesraan.
“Cih, bisa-bisanya mereka bermesraan di ruang tengah begini!” umpat Anjani kesal sambil duduk di sofa ruang tengah.
“Hmmm .... “ Anjani berdehem nyaring.
Lucky menarik wajahnya dari hadapan Endah, keduanya terlihat santai melakukan adegan ala dua insan yang sedang dimabuk cinta itu di tengah rumah.
“Ada apa, Ma? Apa minta ditonton adegan romantisnya apa? Dibikin video saja sekalian, masukin youtube,” cibir Anjani dengan melipat kedua tangannya.
“Eh, kamu ini! Udah halal mah bebas mau melakukan sayang-sayangan di mana dan kapan saja,” jawab Endah sambil membenarkan lingerynya.
“Betul, Sayang, dari pada bermesraan sama ular ... ‘kan bikin susah sendiri. Jadi deh ... hamil anak ular!” timpal Lucky dengan senyum mengejek.
“Woy, jaga mulutmu, Benalu!” Anjani melempar remot televisi dan tepat mengenai jidat Lucky.
“Aggghhh!!!” Lucky meringis sambil memegangi jidatnya yang benjol.
“Jani, jaga tingkah lakumu! Lucky ini papa tirimu!” jerit Endah kesal.
“Makanya ... punya mulut itu disekolahin, punya suami gak berpendidikan gitu deh ... asal comot saja! Cih!” cibir Anjani saling tatap penuh kebencian dengan ayah tirinya itu.
Endah menghela napas panjang, ia bukan kali pertama suami dan anaknya itu terlibat baku hantam. Mereka memang selalu berselisih, entah apa penyebabnya ia juga tak tahu sampai detik ini.
“Mas, kamu tunggu aku di kamar saja!” ujar Endah kepada suaminya.
Dengan sambil melengos, Lucky meninggalkan Endah dan Anjani. Ia seikit menyesal dengan ucapannya tadi, kini ia malah disuruh masuk kamar jadi tak bisa mengompori istrinya itu lagi.
Di ruang tengah, Endah memegang dua surat hasil pemeriksaan dari dokter milik Anjani. Ia harus mendapatkan penjelasan juga solusi dari masalah ini.
“Anjani, jadi gimana ini? Dua dokter telah menyatakan kamu hamil. Apa kamu masih mau mengelak juga sekarang?” Endah menatap tajam putri tunggalnya itu.
“Besok Anjani mau test keperawaan, soalnya Jani memang belum pernah melakukan hubungan dengan siapa pun. Gimana bisa hamil, coba?” Anjani menatap sang mama.
“Coba kamu ingat-ingat dulu, soalnya teman-teman kamu itu rata-rata pria. Bisa jdi kamu melakukan itu dalam keadaan tak sadar.” Endah berusaha bersikap lembut walau emosinya sedang meluap-luap sekarang.
“Nggak ada, Ma. Walau teman Jani di komunitas kebanyakan pria tapi tak pernah bersikap di luar kewajaran. Kami hanya sesama pecinta ular dan tak memiliki hubungan lebih dari itu. Mereka semua menghormati Jani. Kalau Jani memang benaran hamil, suami mama yang perlu dicurigai, jangan-jangan dia memperkosa Jani saat tidur atau juga menggunakan obat bius." Anjani tersenyum sinis.
"Jani, itu tidak mungkin! Jangan sangkut pautkan Lucky atas kehamilanmu ini!" Endah memukul meja dengan geram.
"Soalnya Jani gak mungkin hamil dengan Chiko, dia cuma ular peliharaan. Berhentilah berprasangka buruk!" Anjani menatap sinis sang mama.
"Oke, besok mama akan mendampingi kamu ke rumah sakit. Kalau memang hamil benaran, digugurkan saja. Mama malu punya anak hamil tanpa suami. Udah kuliah gak kelar-kelar, kini malah hamil tak genah. Kamu bisanya cuma buat susah orangtua saja," omel Endah lagi.
Anjani melengos, ia setuju dengan rencana mamanya, ia juga gak mau hamil tanpa suami begini.
"Oke, Ma, Jani ke kamar dulu!" Anjani bangkit dari duduknya lalu meninggalkan sang mama yang terlihat masih berpikir keras.
Endah memijat kepalanya yang mendadak terasa sakit. Ia tak bisa membayangkan jika Anjani benaran hamil anak Lucky, suami barunya itu. Ia tak rela jika harus berbagi suami dengan putrinya sendiri.
***
Hari ini, Anjani ditemani mamanya untuk periksa ke rumah sakit. Ia berharap hasil pemeriksaan di rumah sakit yang ketiga ini berbeda dari dua rumah sakit terdahulu. Endah sengaja memilih rumah sakit ini karena temannya dokter kandungan di sana, dan kalau putrinya memang benaran hamil, ia akan minta bantu untuk digugurkan saja.
“Anjani benaran hamil, Ndah,” ujar Dokter Lia, teman Endah waktu jaman SMA dulu.
“Masa sih, Li? Apa gak rusak itu alat USGnya?” tanya Endah sambil memijat kepalanya.
“Janinnya benaran kembar gak, Tante Dokter? Kata Dokter Gio di rumah sakit xxx kembar lebih dari dua,” ujar Anjani sambil tertawa, ia mulai frustasi dengan kenyataan ini.
“Hmm ... belum jelas sih, cuma kantong kehamilan saja yang tampak, janinnya belum terlalu jelas. Agak aneh juga sih, seharusnya janin berusia 13 minggu itu sudah mulai utuh terlihat. Ini kasus yang langka. USG di rumah sakit ini baru ada yang 3D, kalau di rumah sakit Dokter Gio sudah 4G, bisa jadi kalau dia bilang kembar soalnya di sini juga terlihat seperti ada beberapa serpihan.” Raut wajah Dokter Lia terlihat bingung.
“Anjani mau minta tes keperawanan lagi deh, Tante Dokter,” ujar Anjani sambil membenarkan bajunya.
Dokter Lia kembali mengerutkan dahi mendengar permintaan putri dari sahabatnya itu.
“Periksa saja, Li! Soalnya Anjani merasa dirinya belum pernah melakukan hubungan dengan pria mana pun dan meyakini dirinya masih perawan,” ujar Endah.
“Oke. Ayo, Jani, celanamu dilepas dulu, terus pakai kain ini!” ujar Dokter Lia sambil menuju mejanya dan memasang sarung tangan untuk memeriksa Anjani.
“Suster, tolong siapkan alat spekulum!” sambung Dokter Lia kepada perawat yang membantunya di ruangan itu.
Beberapa saat kemudian, Dokter Lia sudah bersiap melakukan tes keperawanan yang diminta Anjani.
“Tetap berbaring Jani, kaki ditekuk dengan posisi mengangkang!” perintah Dokter Lia.
Anjani mengikuti semua perintah sang dokter, ia sedikit meringis ngeri saat Dokter Lia mulai melakukan pemeriksaan.
“Rileks, Jani, jangan tegang biar gak sakit!” ujar sang dokter lagi.
Sepuluh menit kemudian, Anjani dan mamanya sudah duduk di hadapan Dokter Lia untuk mendengarkan hasil pemeriksaan keperawanan yang telah dilakukan tadi.
“Gimana, Tante Dokter hasilnya?” tanya Anjani tak sabar.
“Kamu sudah tak perawan lagi, Jani. Ini hal wajar soalnya kamu ‘kan juga sedang hamil saat ini. mustahil jika kamu masih perawan tapi bisa hamil,” ujar sang dokter.
Anjani tertegun, pikirannya semakin kusut mengetahui kenyataan dirinya memang sudah tak perawan lagi.
“Jani, kamu tak bisa mengelak lagi, kenyataannya kamu memang sudah tak perawan lagi. Coba ingat-ingat lagi, dengan siapa kamu melakukan hubungan itu?” Endah menghela napas panjang.
“Gak pernah, Ma, Jani berani sumpah. Tapi gak tahu juga kalau kena bius seseorang, tak menutup kemungkinan,” jawab Anjani dengan membayangkan wajah bengis ayah tirinya, ia yakin kalau kehamilannya ini ulah dari Lucky yang memang tak suka dan mau membuat fitnah dengan menuduhnya hamil anak ular.
“Anjani, jangan menuduh kalau tak ada bukti, ya!” Endah mengerti arti tatapan sengit putrinya itu.
“Hey, kok malah ribut sih? Sebaiknya kalian selesaikan masalah ini di rumah saja, maaf ... bukannya mengusir, tapi aku masih ada pasien lain.” Dokter Lia menaikkan sebelah alisnya.
“Hmmm ... Li, kamu bisa gak bantu Anjani untuk aborsi!” ujar Endah tiba-tiba.
“Endah, jangan gila kamu! Masa cucu sendiri mau digugurin? Maaf ya, aku gak bisa,” ujar Dokter Lia dengan kesal.
“Li, jangan gitulah! Anjani hamil gak tahu bapak anaknya, lebih baik diaborsi saja. Kamu bantu, ya! Nanti aku bayar mahal deh.” Endah masih berusaha merayu sahabatnya itu.
“Gak bisa Endah! Sebaiknya cari tempat lain saja, ini bukan keahlianku. Sebaiknya kalian pikirkan dulu baik-baik masalah ini, aborsi sama juga dengan membunuh.” Dokter Lia bangkit dari kursinya dan menuju pintu.
Endah mengerti kalau sahabatnya itu telah mengusirnya secara halus dengan membukakan pintu untuk mereka. Ia langsung menarik tangan Anjani untuk keluar dari ruangan itu.
Bersambung ....