Bab 4 : Klinik Aborsi

1361 Words
Hamil Anak Ular Bab 4 : Klinik Aborsi Endah dan Anjani tak langsung pulang ke rumah, mereka mampir di Kafe untuk meredakan kepala yang memanas karena masalah ini juga untuk mencari jalan keluar terbaik. “Mama pernah baca n****+ yang judulnya ‘Klinik Aborsi karya deAndra’ dan sepertinya klinik itu benaran ada deh, nanti mama cari tahu lagi. Pokoknya janin itu harus digugurkan saja, mama gak sanggup menahan malu dan mendengar cibiran dari para tetangga.” Endah menyeruput jusnya. “Terserah mama aja deh, Anjani juga gak mau anak ini. Siapa bapaknya aja gak jelas, mana kuliah belum kelar,” jawab Anjani sambil mencomot kripik kentang di hadapannya. Endah melengos, ia sudah bertekad untuk membantu putrinya itu untuk aborsi soalnya dia juga gak siap kalau harus dipanggil nenek dalam usia masih semuda dirinya. *** Keesokan harinya. Seperti biasa, setelah mengurus semua ular koleksiannya, Anjani berangkat ke kampus. Ia akan konsultasi masalah skripsinya yang sudah hampir dua tahun tak kelar-kelar juga. Ia sudah jemu diomeli sang mama karena kuliah gak selesai-selesai juga dan masalah semakin bertambah dengan kehamilannya ini. Hari ini urusannya lumayan lancar, bab yang ia ajukan langsung disetujui oleh dosen pembimbing. Dengan sambil bersiul-siul, Anjani menaiki anak tangga menuju lantai atas, arena kekuasaannya. Akan tetapi, dahinya langsung berkerut saat mendapati Lucky sang ayah tiri sedang bermain bersama Chiko. “Woy, ngapain di sini?” tanya Anjani sinis. “Hmm ... lagi main aja sama calon menantu biar lebih akrab.” Lucky pasang tampang sok manis. “Turun sana!” bentak Anjani kesal. “Ibu hamil gak boleh marah-marah terus, harus selalu tersenyum biar janinnya selalu sehat. Iya gak, Chiko? Cieee ... yang sebentar lagi jadi papa .... “ Lucky berbicara dengan si ular phyton. “Ngelantur aja terus! Sepertinya aku harus mengeluarkan si Rambo ini buat ngusir si benalu,” ujar Anjani sambil mendekat ke kandang Rambo, si ular Kobra. Mendengar ucapan Anjani, Lucky langsung melepaskan Chiko dari pangkuannya lalu beranjak mendekati anak tangga. Ia tahu, putri tirinya itu tak pernah main-main dengan ucapanya. Ia tak mau mati konyol di tangan si Rambo si ular kobra. *** Dengan tampang kesal, Anjani masuk ke kamar dan membaringkan dirinya di samping Chiko. Hatinya sangat kesal mengetahui keperawanan yang ia jaga selama 25 tahun ini telah hilang tanpa ia sadari. “Ya Tuhan, tiga dokter mengatakan aku hamil dan keperawananku juga sudah terbobol. Siapa pelakunya?” gumamnya kesal sambil mengelus ular pyton yang saat ini telah melingkarkan dirinya di tubuh Anjani. “Chiko, benarkah kamu ayah anakku ini?” tanya Anjani sambil mengelus kepala hewan bersisik motif batik hitam itu. Chiko mendekatkan wajahnya ke wajah Anjani dan menciumnya. Untuk sekilas, ia seperti melihat perubahan pada wajah hewan peliharaannya itu. “Agghhh ... masa iya Chiko jelmaan pangeran ular? Itu hanya cerita legenda, tak masuk akal sama sekali,” gumam Anjani lagi sambil menciumi wajah juga tubuh Chiko. Dipeluknya Chiko dan mulai memejamkan mata, dengan tangan memeluk hewan melata yang selalu memberikan kehangatan dengan cara membelit tubuhnya. *** "Kata mama, hari ini ia sudah membuat jadwal dengan Dokter Mia sang pemilik ‘Klinik Aborsi’ by deAndra yang novelnya best seller kategory thailer di platform menulis online. Ternyata klinik itu nyata adanya, begitu kata mama." Anjani membatin. “Jani, ayo!” panggil mama di dekat tangga, ia tak berani mendekat ke wilayah kekuasaanku yang penuh ular ini. “Iya, Ma, lima menit lagi Jani turun. Ini masih ngasih makanan peliharan dulu,” jawab Anjani sambil mengeluarkan tikus dan memasukkannya ke setiap kandang ular. Endah meringis ngeri dan langsung berlari turun ke bawah melihat adegan rantai makanan itu. Ia geli sendiri melihat tingkah Anjani yang tak pernah takut pada hewan apa pun. “Ckckckkk ... perasaan dulu waktu hamil Anjani, aku gak ada ngidam yang aneh-aneh deh. Kok dia bisa jadi pawang ular gitu deh .... “ gumam Endah sambil mempercepat langkahnya. ‘Brug’ Endah bertabrakan dengan Lucky di ujung tangga. Suaminya yang ganteng itu langsung memeluknya dan mendaratkan beberapa ciuman di pipi sang istri. “Sayang, mau ke mana udah canti begini? bukannya katamu hari ini nggak ke kantor?” tanya Lucky sambil menggendong tubuh ramping Endah untuk duduk di ruang tamu bersamanya. “Aku mau nemani Anjani ke klinik aborsi,” jawab Endah sambil membelai pipi sang suami, dengan posisi duduk di pangkuan suaminya itu. “Hmm ... jadi mau digugurin?” Raut wajah Lucky berubah masam. “Iya, Sayang. Anjani juga setuju.” “Kenapa sih anak gak benar gitu masih aja diurusin, biarin ajalah!” Lucky merengut. “Sayang, kalau bukan aku yang ngurusin dia, siapa lagi? Aku juga gak mau para tetangga tahu kalau Jani hamil tanpa suami, aku tak siap menahan malu,” jawab Endah sambil turun dari pangkuan suami mudanya itu. “Itu ‘kan masalah yang dibikin ia sendiri, biarin ajalah. Biar dia tahu rasa, hoby kok main ular. Nah ... dihamili ular baru kelabakan,” ujar Lucky masih dengan tampang kesal. “Sayang, jangan gitu ah! Anjani anakmu juga, jangan terus bermusuhan dengannya! Bersikap baiklah padanya, agar ia bersikap baik padamu. Jangan terus membuat masalah dengannya, aku capek liatin kalian ribut kayak kucing dan anjing gitu.” Endah menghembuskan napas letih. “Ah, dia aja gak pernah bersikap baik denganku. Aku ayah tirinya, tapi sikapnya tak pernah hormat. Liat nih dahiku masih biru begini. Ya sudah, urusi saja anakmu itu, jangan perdulikan aku lagi!” Lucky merajuk sambil beranjak dari sopa lalu menuju pintu dan keluar. Endah lagi-lagi menarik napas bimbang. Sepertinya anak dan suaminya itu memang tak bisa didamaikan lagi. Keduanya sama-sama keras kepala dan mengaku paling benar. *** Satu jam berlalu. Kini Endah dan Anjani sudah berada di klinik aborsi milik Dokter Mia. Keduanya langsung disambut baik dokter ahli aborsi itu. “Selamat pagi, silakan duduk! Ada yang bisa saya bantu,” sambut Dokter Mia ramah. Endah langsung menceritakan niatnya datang ke sini. Dokter Mia tersenyum dan langsung menyodorkan draf kelengkapan sebelum proses aborsi dilakukan. “Masalah harga saya gak masalah, saya setuju. Saya percayakan semuanya pada dokter, pokoknya janin yang tak diinginkan itu harus dikeluarkan!” ujar Endah dengan senyum sinis. Anjani yang duduk di samping sang mama, hanya mendengarkan saja. Ia oke-oke saja dan tak takut dengan proses mengerikan yang akan ia lalui sebentar lagi. Nyali dan mental gadis tomboy itu memang level tinggi, tak ada apa pun yang ia takuti di muka bumi ini. “Oke, baiklah. Anjani, silakan berbaring di tempat tidur periksa! Saya akan menyiapkan segala perlengkapan dan memanggil asisten saya dulu.” Dokter Mia bangkit dari kursinya. Anjani melangkah menuju tempat tidur, lalu segera berbaring. Endah mengikuti putri tunggalnya itu. Ia sedikit bimbang, takut terjadi hal yang diinginkan kepada Anjani. Akan tetapi, aborsi ini tetap harus dilanjutkan, ia hanya bisa berdoa untuk kelancaran prosesnya. Lima belas menit kemudian, Dokter Mia sudah masuk kembali ke ruangan Anjani dengan membawa rekannya, Dokter Laras, sang fatner kerja dalam bisnis ilegal ini. “Bu Endah tunggu di ruang tunggu saja, ya!” ujar Dokter Mia. “Baik, semua saya percayakan kepada dokter. Jangan sampai terjadi apa pun pada putri saya! Semoga prosesnya lancar!” Endah mengusap dahi Anjani lalu pamit keluar. Anjani hanya menaikkan sebelah alis saat sang mama keluar dari ruangan itu. Ia sudah tak sabar mengeluarkan janin kembar lebih dari dua itu, yang menurut penuturan Dokter Gio. “Siap Anjani?” tanya Dokter Mia. Anjani mengacungkan jempolnya dan mengikuti arahan Dokter Laras untuk mengangkat kedua kaki dan menekuknya. “Tahan sakitnya, ya!” ujar Dokter Mia sambil menyingkap baju Anjani dan mulai memijat perutnya sambil menekankan alat tranduser kehamilan untuk melihat posisi janin itu. Rangkaian proses aborsi pun dimulai, Anjani hanya bisa meringis menahan sakit saat sebuah alat masuk ke rahimnya dan mengobok ke sana ke mari karena janin itu sungguh gesit dan sulit ditangkap oleh alat itu. Melihat proses yang lumayan susah dari biasanya itu, kedua dokter aborsi mulai kebingungan. Pendarahan hebat dialami Anjani hingga ia tak sadarkan diri. “Agghhh!!!” jerit Dokter Laras tiba-tiba jatuh ke lantai karena gigitan sesuatu di lengannya. “Dokter Laras!” seru Dokter Mia kaget. Dokter Laras kejang-kejang di lantai dengan mulut mengeluarkan busa. Dokter Mia panik, apalagi Anjani juga pingsan. Darah segar mengalir banyak sekali dari kemaluan gadis tomboy itu. Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD