Hamil Anak Ular
Bab 5 : Gagal
Dengan panik, Dokter Mia memanggil beberapa perawat untuk membantu menolong rekannya Si Dokter Laras yang saat ini kejang-kejang di lantai. Lalu kembali menangani Anjani yang masih tak sadarkan diri. Proses aborsi ditangguhkan dulu, sepertinya ia tak sanggup. Ini kasus teraneh yang pernah ia temui.
Endah menatap heran beberapa perawat yang malah mendorong fartner sang dokter keluar dari ruangan tempat Anjani ditanganin. Ia mendekat ke ruangan putri tunggalnya itu, ia cemas dan takut terjadi hal buruk yang menimpa anaknya.
“Eh, Bu Endah!” seru Dokter Mia ketika keluar dari ruangan.
“Itu ... fatner Dokter Mia kenapa? Terus Anjani gimana?” tanya Endah dengan menatap tajam snag dokter aborsi yang wajahnya terlihta tegang dan pucat.
“Hmmm ... ada kecelakaan kecil yang menimpa rekan saya,” jawab Dokter Mia gugup.
“Ohhh ... terus Anjani gimana?” Endah membuka pintu ruangan itu.
“Anjani pingsan, dia ... mengalami pendarahah .... “ Dokter Mia meremas jemarinya yang terasa dingin.
Endah mendekat ke tempat tidur tempat putrinya terbaring, wajahnya pucat, bagian bawah sprei penuh darah.
“Dokter Mia, janinnya udah gugur ‘kan walau Anjani pendarahan begini?” tanya Endah cemas melihat keadaan Anjani yang berantakan.
“Maaf ... Bu Endah, janinnya belum berhasil untuk digugurkan. Akan saya coba lain waktu lagi.”
Endah menghela napas berat. Ia jadi menyesal membawa Anjani ke sini, apalagi sudah berjam-jam, putrinya itu belum sadarkan diri juga.
“Dokter Mia, saya minta Anjani dipindahkan ke rumah sakit xxx saja. Saya tak mau terjadi apa pun padanya, masalah aborsi ini kita pending dulu. Hmmm ... atau ... saya tak jadi aborsi di sini, begitu saja.” Endah menatap serius Dokter Mia yang saat ini duduk di depan mejanya.
“Baik, Bu Endah, saya mohon maaf atas kejadian tak terduga ini. Kasus Anjani benar-benar aneh, saya baru kali ini menemukannya. Biasanya ... selalu lancar dan aman.” Raut wajah Dokter Mia masih terlihat tegang.
“Iya, saya tahu. Dokter Mia memang sudah terkenal dalam bisnis ini. Ya sudah, saya mohon segera diurus kepindahan rawat putri saja ini.
Dokter Mia mengangguk dan segera menelepon ambulans untuk membawa pasiennya yang gagal aborsi itu.
***
Beberapa jam kemudian, kini Anjani sudah terbaring di ruangan rumah sakit xxx. Ia baru sadar sepuluh menit yang lalu setelah Dokter Gio, dokter kandungan di sana yang menanganinya.
“Gimana, Dokter, putri saya?” tanya Endah tak sabar.
“Cuma pendarahan biasa, janinnya masih aman,” jawab Dokter Gio.
Endah berdecak kesal mendengar janin itu masih bertahan di rahim Anjani, tapi ia lega mengetahui putrinyai itu baik-baik saja.
“Dokter, apa janinnya gak kenapa-kenapa? Bukannya pendarahannya banyak banget?” tanya Endah lagi.
“Nggak kenapa-kenapa, janin kembar yang belum terlihat secara jelas itu kayaknya baik-baik saja.” Dokter Gio menggaruk dahinya, ia memang melihat keanehan pada janin pasiennya itu.
“Apa, Dokter, jadi janinnya kembar?” Endah melotot sambil mengelus dadanya.
“Sepertinya ... seperti itu, Bu, saya melihat janin itu ada banyak. Pokoknya lebih dari dua dan kecil-kecil. Maohon maaf, kalau analisa saya salah.” Dokter Gio melepas kaca matanya.
Endah tertegun, kepalanya semakin mumet saja mendengar calon cucunya ada banyak begitu. Ia tak bisa membayangkan memiliki banyak cucu, ah ... ia pasti akan stres.
***
“Eh, Mas, kamu ada di sini?” sapa Endah ketika memasuki ruangan rawat Anjani, dilihatnya Lucky sedang menatap Anjani yang sedang tertidur karena suntikan obat penenang agar bisa istirahat total.
“Sayang, kamu dari mana saja?” Lucky menghampiri Endah lalu mencium kedua pipi kanan dan kirinya.
“Dari ruangan dokter, Mas. Ayo kita duduk dulu!” Endah menarik suaminya duduk di sopa ruangan itu.
Lucky membuka kancing jas hitamnya, lalu mengendorkan dasi di leher. Kemudian merangkul sang istri dan mencium bibirnya.
“Sayang, gimana rapat di kantro tadi? Kamu bisa ‘kan menghendle semuanya?” tanya Endah kepada sang suami yang kini ia beri jabatan sebagai direktur di perusahaan peninggalan almarhum suaminya, papanya Anjani.
“Bisa, Sayang. Semuanya lancar, tapi aku cukup kewalahan kalau kamu gak ada. Jangan sibuk mengurusi Anjani teruslah!” Wajah Lucky berubah masam jika membicarakan anak tirinya itu.
“Mas, setelah kehamilan Anjani bisa gugur baru aku berhenti ngurusin dia. Ini demi nama baik keluarga kita juga.” Endah merebahkan kepalanya di d**a Lucky.
“Udahlah, biarin aja Anjani melahirkan anak ularnya biar peliharaan dia makin banyak lagi. Kamu gak usah repot-repot bantu dia aborsi.” Lucky kembali mencoba mempengaruhi istrinya itu.
Endah malah menjawab ocehan suaminya yang kadang memang suka ngelantur kalau sudah membicarakan Anjani. Ia tak yakin kalau janin itu benaran benih ular karena tak masuk diakalnya, bagaimana bisa seekor ular bisa menggauli seorang manusia? Membayangkannya saja ia merinding, apalagi jika hal itu memang nyata adanya.
***
Seminggu dirawat di rumah sakit, Anjani sudah diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Ia kesal mengetahui janin anehnya itu masih tak gugur juga walau sudah melalui rangkaian proses aborsi yang hampir merenggut nyawanya itu.
Melihat kedatangannya, Chiko dan Ceril langsung menyambut sang majikan yang sudah tak terlihat seminggu ini. Anjani mencium kedua hewan peliharaannya, lalu mengusapnya tubuh penuh sisik itu.
“Gimana kabar kalians selama aku gak ada? Baik-baik aja ‘kan?” Anjani tersenyum sambil menggendong Ceril si sanca bodo. Chiko tak mau kalah, ia malah melilit kaki majikannya itu.
Anjani tersenyum melihat tingkah Chiko, segera dilepaskannya si Ceril lalu mengajak si ular pyton berwarna hitam itu untuk masuk ke kamar. Ia capek dan butuh istirahat.
Sambil berbaring di samping Chiko, Anjani mengelus perutnya. Ia bingung harus menggugurkan janin asing ini ke mana? Sedang Dokter Mia si dokter aborsi yang sudah terkenal ke mana-mana itu saja angkat tangan, nggak sanggup.
“Agghhh ... sial!” jerit Anjani sambil memukuli perutnya.
“Gimana cara aku membunuh janin tak berbapak ini? Aaagghhh!!!” Jeritnya makin kesal lalu bangkit dari tempat tidur sambil memikirkan cara selanjutnya yang akan ia tempuh untuk menghilangkan anaknya yang kembar banyak itu.
Anjani menautkan alis, ia baru teringat kalau ada cairan pemutih pakaian di kamar mandi, ia jadi terpikir untuk menenggaknya dengan harapan janin di rahimnya bisa mati.
Dengan cepat, Anjani berlari ke kamar mandi dan mengambil botol cairan pemutih pakaian itu lalu membuka botolnya.
“Agghh!!!”
‘Brug’
Belum sempat ia meminumnya, botol itu malah jatuh dari tangannya karena kini tubuhnya dililit Chiko lalu menariknya keluar dari kamar mandi.
“Chiko, apa-apaan sih kamu?” jerit Anjani kesal.
Chiko yang tak pernah berbicara itu hanya diam sambil terus melilih tubuh Anjani dan membawanya kembali ke tempat tidur.
Bersambung ....