Bab 8 : Usul Radji

1134 Words
Hamil Anak Ular Bab 8 : Usul Radji “Mas, kamu gak apa-apa ‘kan?” tanya Endah sambil mengelap wajah suaminya setelah mencucinya di kamar mandi. “Ya ... kenapa-kenapalah, anakmu itu sakit jiwa! Awas saja kalau mataku sampai buta, akan kutuntut dia,” jawab Lucky kesal. Endah menghela napas panjang, ia tak bisa juga menyalahkan Anjani kalau Lucky tak bermulut tajam. Menurutnya sama-sama salah, baik anak maupun sang suami. Endah mengusap wajah merah sang suami sambil menyemprotkan obat, agar rasa pedas dan perihnya berkurang. Juga meneteskan obat mata ke mata Lucky. Dengan tampang kesal, Lucky menepis tangan Endah lalu berbaring di tempat tidur dengan posisi membelakangi istrinya itu, ia merajuk. Endah tersenyum kecut lalu melangkah menuju pintu, ia akan berbicara kepada Anjani. *** Anjani duduk di ruang tengah sambil memainkan remot televisi dan tak hentinya mengubah chanel. Ponsel di saku celana pendeknya bergetar tanda ada pesan yang masuk, segera dirogohnya benda pipih itu. [Jani, aku ada di luar.] Itu chat dari Radji. Anjani melengos dan mengetik balasan untuk temannya itu. [Masuk aja, aku ada di ruang tengah lantai bawah. Lagi nonton televisi.] Anjani langsung mengirim balasan untuk temannya yang lumayan ganteng itu, tapi tak tertarik untuk menjadikannya suami. Baginya, teman ya teman dan perasaan persahabatan takkan bisa berubah jadi cinta. Dua menit kemudian, bel rumah pun berbunyi. Anjani langsung menyuruh Bik Siti untuk membukanya. Taklama setelah itu, pria bertubuh tinggi itu telah menemuinya di ruang tengah. “Ngapain malam-malam ke sini?” tanya Anjani saat Radji duduk di sampingnya. “Hmm ... masalah yang tadi belum selesai. Mumpung Rully nggak ada. Gimana Jani, aku serius?” Radji meremas jemarinya yang terasa dingin. “Udah deh, Ji, gak usah aneh-aneh! Jangan rusak persahabatan kita dengan permasalahan begini!” Anjani membenarkan posisi duduknya dan menutup perut buncitnya dengan bantal karena lagi-lagi seperti sedang terjadi baku hantam di dalam sana. “Kamu kenapa, Jani? Kok kayaknya gelisah gitu?” Radji menautkan alis melihat ekspresi gadis berambut panjang di hadapannya. “Ah ... biasa, anak setan di perutku lagi demo gara-gara gak kukasih makan. Aku sengaja gak mau makan, biar mereka pada mati,” jawab Anjani ketus sambil memukul-mukul perutnya. Tiba-tiba, dari arah tangga terlihat Chiko si ular pyton sedang menuruni anak tangga. Sepertinya ia sedang mencari keberadaan sang majikan. “Hey, itu Chiko!” Radji langsung berlari menghampiri ular sepanjang 4,5 meter itu. Dengan kesusahan, ia menarik tubuh ular terbesar peliharaan Anjani, lalu membawanya ikut mengobrol bersama mereka. Chiko mendekatkan kepalanya ke arah perut Anjani lalu bermanja di pangkuannya. Anjani tersenyum sambil mengusap kepala hewan yang sudah ia pelihara sejak dari bayi itu. Keributan di dalam perut Anjani pun langsung mereda. “Jani, aku serius loh. Aku memang sudah lama menyukai kamu, hanya tak berani saja untuk mengatakannya. Aku siap kapan pun kamu mau dinikahi.” Radji menatap serius ke arah Anjani. “Radji, udah deh! Aku ucapkan terima kasih untuk niat baik kamu, tapi aku belum kepikiran untuk menikah dan perutku yang buncit ini ... aku masih memikirkan cara untuk mengempeskannya. Mending kamu pulang aja deh, aku udah mau tidur. Oh iya, bantuin Chiko naik ke atas dulu, ya!” ujar Anjani sambil menunjuk Chiko dan mengopernya kepada Radji. Radji menghela napas, lalu menuruti perintah Anjani. Segera ditariknya badan Chiko untuk naik ke atas tangga. Endah yang sedari tadi menguping pembicaraan putrinya itu mendekat ke arah Anjani dan meringis ngeri saat melihat buntut Chiko yang masih menjuntai di anak tangga. “Jani, Chiko itu dimasukin kandang aja deh! Mama spot jantung kalau dia terus berkeliaran di rumah ini. Dasar ular aneh dia, masa bisa nyusulin kamu ke sini! Kayaknya dia itu ular siluman deh!” ujar Endah sambil duduk di samping Anjani. Anjani hanya mengangkat bahu dan pura-pura fokus pada tontonannya. Ia paling malas mendengar ocehan sang mama kalau menyangkut para hewan peliharaan itu. “Jani, Tante Endah, pamit pulang ya!” ujar Radji sambil mendekat ke arah kedua ibu dan anak itu. “Oke, Ji, hati-hati!” Anjani melambaikan tangannya. Radji melangkah menuju pintu dan pulang. Bik Siti langsung menutup pintu dan kembali ke dapur. Endah mengeser duduknya untuk semakin dekat ke arah Anjani, lalu memegang perut buncit putrinya itu. “Apaan sih, Ma?” Anjani menepis tangan sang mama. “Mama penasaran saja, kok perut kamu kayak bergelombang gitu sih? Kayaknya janinnya itu emang ada banyak deh .... “ Endah mengerutkan dahinya. Anjani hanya mengangkat bahu. “Gimana kalau besok sore kita ke prakter Dokter Gio? Barangkali aja tuh janin udah terlihat wujudnya? Kalau benaran kamu hamil anak ular, kita minta langsung diceasar saja!” ujar Endah masih dengan mode mengerutkan dahi. “Emang bisa kayak gitu?” Anjani menatap sang mama. “Barangkali aja bisa, rumor kamu hamil anak ular sudah beredar di kompleks kita. Mama harap kamu jangan keluar rumah sembarangan, kecuali sama mama. Oke?!” “Ah, palingan suami mama yang nyebarin gosip itu. Punya suami kok julidnya minta ampun gitu, ihhss ... kalau Jani punya suami kayak gitu mah, dah tak bikin santapan buat Si Rambo.” Anjani tersenyum kecut sambil melirik jengkel sang mama. “Kamu jangan asal nuduh gitu, gak mungkin Lucky yang nyebarin. Kamu juga ... jangan suka keterlaluan ya sama ayah tirimu itu! Mama gak mau melihat kamu berlaku kasar lagi padanya. Coba, kalau matanya sampai buta ... ‘kan mama juga yang bakalan repot.” Endah menatap tajam putrinya yang hanya melengos sebal itu. “Belain terus suaminya! Lucky emang segala-segalanya buat mama, dia ngehina aku tadi aja ... mama gak berani menegur. Jadi ... kayaknya aku gak salah nyebein terongnya mama itu.” Anjani bangkit dari sopa dan meninggalkan mamanya. Ia paling benci membicarakan masalah ayah tirinya yang mulutnya dower kayak ibu-ibu bigos. “Jani, mau ke mana, kamu? Mama belum selesai,” ujar Endah. “Tidur, Ma, ngantuk,” jawab Anjani tanpa menoleh ke arah sang mama. “Jani, Mama tadi dengar obrolan kamu dan Radji .... “ Endah berlari dan berdiri di depan anak tangga, menghalangi langkah Anjani. “Terus?” Anjani memutar bola matanya dengan malas. “Kalau Radji serius, mama setuju.” Endah menyunggingkan senyum. “Apaan sih, Ma? Katanya besok mau ke dokter buat diceasar, nah ... sekarang malah setuju ama ocehan Si Radji.” Anjani menggaruk perutnya yang terasa geli, janin-janin diperutnya seakan sedang menggelitik dinding perutnya. “Ya sudah, besok kita ke rencana A dulu. Akan tetapi, kalau janinmu itu anak manusia, mama setuju kalau Radji mau nikahi kamu. Dia dari keluarga baik-baik, mama kenal sama papanya, dia juga pembisnis kayak mama.” Endah menyunggingkan senyum, ia merasa masalah Anjani sedikit menemui jalan terang. Tanpa menjawab perkataan mamanya, Anjani melewati tubuh ramping itu lalu mulai menaiki anak tangga. Ia kurang setuju dengan opsi rencana B, ia tak mau menikah dengan temannya itu dan ia juga tak menginginkan anak aneh di dalam perutnya itu. Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD