42 - Menikah Dan Usia

2153 Words
“Jadi rencananya aku mau buat pengajian tabligh akbar menyambut bulan Ramadhan. Akan memerlukan banyak panitia,dan apakah kamu bersedia menjadi ketua panita pelaksananya dan memantau semua persiapannya? Mulai dari tempat,hari dan dekorasinya. Mengenai anggota panitianya dan segala urusan WO itu akan menjadi urusanku. Kamu bersedia?” Aydan menerima proposal yang temannya sodorkan,terpampang di bagian sampul kata Tabligh akbar menuju bulan suci Ramadhan sebagai judulnya. Sewaktu kuliah dulu,ia memang sering menghandle acara begini,mungkin karena itulah temannya memintanya. “Kamu tau sekarang saya sudah bekerja sebagai dosen dan bukan anak organisasi lagi? Saya mana mungkin bisa mempersiapkannya dalam kurung waktu seminggu?” herannya saat melihat tanggal yang ada di kategori perencaan. Rasyad,teman Aydan itu meringis pelan. “Masalahnya aku baru dapat nomor kamu sehari lalu dan baru bisa ketemu sekarang. Dari 3 mingguan ini berusaha cari ke satu teman ke teman lain dan baru ketemu,tolong pertimbangkan perjuanganku dalam menemukanku,Pak Dosen yang terhormat,” ia bahkan sampai menangkupkan kedua tangannya pertanda memohon. “Ini masih mending kan? Kamu bahkan pernah menjadi ketua panitia dadakan sewaktu masih kuliah dulu dan acaranya tinggal sehari. Hasilnya? Sangat luar biasa dan membuat para dosen dan fakultas kita dicap sangat bagus. Bisa kan? Aku sangat bergantung padamu kali ini.” Tangannya masih di posisi yang sama,memandang pria berkacamata itu. “Itukan setiap harinya tugas saya memang begitu,sekarang beda. Kerjaan saya sepenuhnya adalah dosen,masa saya mengemsampingkan pekerjaan utama demi acara dadakan yang kamu tawarkan ini?” dengan berat hati,Aydan mengembalikan proposal itu,”Maaf,saya tidak mempunyai waktu untuk ini,” lanjutnya dengan raut rasa bersalah, Senior Aydan sewaktu kuliah tersebut menunduk lesuh,tidak bisa lagi memaksakan kehendak teman lamanya karena kesannya tidak baik,ia menganggukkan kepalanya beberapa kali pertanda mengerti. “Tapi tetap datang ya,aku akan menerormu kalau kamu sampai tidak datang,” ancamanya dibalas Aydan dengan senyuman tipis. Rasyad bukan tipikal orang pemaksa,kalau memang tidak bisa ya begini mau bagaimana lagi. Masih ada beberapa adik tingkatnya yang bisa ia minta agar acaranya berjalan. “Saya benar-benar minta maaf kak Rasyad,saya tidak bermaksud mengecewakan anda namun pekerjaan saya memang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. mohon pengertiannya.” Inilah Aydan,menolak namun terus menerus minta maaf. “Tidak papa,Pak Dosen. Walaupun aku agak kecewa namun tidak baik juga memaksakan seseorang padahal jelas-jelas jadwalnya sedang sangat padat,sangat bukan aku sekali andaikan tetap memaksamu menjadi ketua panitianya. Aku akan memaafkanmu kalau kamu bersedia menghadiri acaranya nanti,bagaimana?” “Insyaallah,saya akan usahakan hadir.” Keduanya sama-sama tertawa kecil,menikmati secangkir minuman hangat yang sengaja dipesan sebagai teman berbincang. Sudah berapa lama Aydan tidak bertemu seniornya? 4 tahun atau 6 tahun? Terakhir saat hari wisudanya di sarjana kedua. Lama ya? Umur Aydan sekarang sudah masuk umur 30 tahun. Waktu memang sangat tidak disangka sekali. “Minuman ini mengingatkanku pada saat kamu akan masuk sidang di sarjana pertama,aku bahkan dengan cepat membawa segelas minuman hangat agar kamu dapat menikmatinya sebelum masuk.” Cerita nostalgia dimulai,dan itulah gunanya kenangan lama. Akan menjadi perbincangan atau awal bicara Panjang antara dua manusia yang baru bertemu. Sebagian manusia membenci kenangan lama namun beberapa diantaranya akan menjadi cerita seru saat ada perkumpulan orang-orang masa lalu,apalagi tokohnya lengkap semua. Tapi apakah pernah orang-orang di masalalu kumpul semua disuatu tempat? Palingan hanya beberapa orang dan selebihnya sudah menemukan jalannya sendiri. “Ya,haha. saya bahkan dengan gugupnya meminumnya dengan cepat tidak memperdulikan panas atau tidak.” Respon,setiap kali ada cerita masa lalu maka harus ada yang meresponnya dengan ceria,hangat dan ketertarikan. “Dan sidangmu akhirnya di undur selama 10 menit karena lidahmu kepanasan,haha.” Tertawa bersama itu perlu saat berkumpul,bukan pertanda senang akan nostalgia namun menunjukkan bahwasanya pertemuan ini memang sangat berarti. Inilah jalan pikiraN Aydan,selalu dipenuhi dengan kumpulan kata formal dan susah dipahami. “Aku selalu menunggu kabar menikahmu dan penasaran dengan siapa si pintar ini menikah.” Aydan tersenyum tipis mendengarnya,selalu saja ada kata itu dalam setiap jam di hidupnya. Padahal sekitar sejam lalu pembahasan dengan adiknya juga pernikahan sekarang dengan seniornya juga,mungkin kurang lengkap kalau belum membahas kata itu. “Terkadang saya berpikir begini kak Rasyad,setiap orang pasti akan sangat ingin merasakan pasangan impian mereka masing-masing selayaknya pasangan sudah menikah pada umumnya. Telinga saya sudah sangat hapal bagaimana menuntutnya orang akan fase orang lainnya. Seperti tadi,menanyakan kapan menikah,kapan punya anak,pekerjaannya sudah dapat gaji standar belum? Kapan jadi orangtua? Kapan tambah anak,kapan punya rumah dan beberapa fase lainnya,” Meminum minumannya sebentar, “Pikirkan saya selalu begini dan entah adakah yang berpikiran sama dengan saya. Sebenarnya saat menanyakan hal seperti tadi apa yang apa orang-orang itu pikirkan? Keuntungan apa yang mereka dapatkan saat menemukan jawabannya? Jika menjawab ya,apakah pertanyaannya selesa? Sayangnya tidak,akan ada pertanyaan cabang lainnya. Benar bukan?” Aydan kembali meneguk minumannya,mungkin cara bicaranya terlalu formal kali ya? “Jika menjawab tidak,malah lebih lagi.” Menutupnya dengan alis menukik lalu tersenyum membuat Rasyad tertawa. “Engga salah sih kamu jadi dosen,wow sekali.” Hanya itu yang bisa Rasyad katakana sebagai respon perkataan Aydan yang entah kenapa sangat kena sindirannya. “Cuman tidak habis pikir saja,apa yang mereka dapatkan saat menemukan jawaban diantara ya dan tidak?” ulangnya namun Rasyad begitu enggan bertukar pikiran dengan Aydan. Sejak dulu Aydan selalu terkenal seantero fakultas agama dengan pemikiran logikanya,jarang menggunakan hati. Kalau bicara selalu to the point dan sangat jarang bercanda di Lorong kampus,paling hanya satu atau dua bulan sekali melakukannya saat waktu libur Bersama atau kelasnya sedang kosong. Seorang Aydan Atthallah sangat terkenal dengan pemikiran luar biasanya,juga bicaranya yang sangat kaku sekali. “Anak-anak selalu bertanya padaku apakah komunikasi kita berjalan dengan baik mengingat bagaimana dekatnya pertemanan kita dulu,” bahasnya ke arah lain. “Lalu?” “Aku menjawabanya begini,suksesnya sebuah pertemanan tidak diliat dari betapa seringnya mereka bertemu atau berkomunikasi. Tapi bagaimana dekatnya mereka berbincang hangat saat bertemu bukan malah sibuk dengan ponselnya masing-masing,aku sudah beberapa kali ikut reuni sekolah atau pertemuan lama. Rasanya tidak seperti pertemuan kita saat ini,” Aydan lagi dan lagi tersenyum tipis,pertemanan ya? Aydan sudah tak begitu hapal dengan yang Namanya pertemanan. Yang ada diotaknya hanyalah bekerja,membahagiakan diri sendiri dan mendekatkan diri pada Allah. Ingat nama temannya saja tidak,siapa saja? “Pertemanan tidak begitu membutuhkan bukti komunikasi atau potret gambar kenangan,yang terpenting adalah sebesar besar kenangan yang ada di masa lalu agar menjadi cerita serunya. Akan menjadi perbincangan nostalgia seru saat berada di meja yang sama,bukan malah sibuk menanyakan kapan menikah,anak berapa,kuliah dimana atau dengan segala jenis pertanyaannya. Terkesan munafik kan?” Sebagai jawaban,Aydan mengangguk. Ia tertawa bersamaan dengan Rasyad. Bahas pertemanan itu tidak ada habisnya,akan selalu ada cabangnya yang sangat dan sangat Panjang sekali. Sama-sama membahas hal lama hingga akhirnya berpisah di depan tempat perjanjian. Aydan bahkan menunggu mobil Rasyad pergi dulu barulah ia memutuskan untuk pulang menuju rumahnya,ya langsung kerumah karena jadwalnya di kampus sudah habis. Dan berjanji akan menghadiri pengajian sebagai tebusan permintaan maafnya. Terkadang menghadiri sesuatu memang bukanlah keinginan kita namun ada beberapa yang memang harus dilakukan terlepas dari kata mau pergi atau tidak,dan itulah fase kehidupan banyak lelahnya bukan? Aydan sempat Lelah namun terlalu dini untuk menyerah. Aydan suka setiap hal yang mendatanginya untuk mengisi pemikirannya yang selalu berpikir berat. Memerlukan hujan agar dapat memikirkan ada apa sehabis hujan. Memerlukan pelangi untuk memikirkan siapa saja yang menyukainya,memerlukan kemacetan untuk memikirkan apa penyebabnya macet atau siapa yang mengemudi paling depan hingga bisa menyebabkan macet. Sangat berat menjadi Aydan bukan? Makanya hidupnya serasa lebih berwarna saat perempuan bernama Princess Callisa itu ada. Serasa Aydan tak lagi memikirkan mengapa bunga beragam warna,Aydan hanya memikirkan sapaan apa yang akan perempuan itu berikan nanti. Hidupnya yang menonton dan penuh kekakuan ini membutuhkan perempuan tidak jelas,malas pusing dan cerewet seperti Callisa. “Callisa,kumohon jangan pernah muncul dihadapanku karena jika itu terjadi maka aku tidak akan melepaskan kamu lagi.” Bisiknya pada dirinya sendiri,dan itu janji yang sangat pasti. “Jangan datang,Callisa. Atau kamu akan melihat Aydan yang begitu memujamu dan menarikmu kedalam dunianya dan mengikatmu menjadi pendampingnya.” Dan Aydan tidak pernah main-main dengan perkataannya ini. *** Astagfirullah Astagfirullah Astagfirullah… Disore hari ditemani angin yang sejuk dan cahaya senja tak mengurungkan kegiatan Callisa di halaman belakang rumahnya. Duduk menyandar di ayunan bentuk ranjang dan jari-jarinya tak berenti bergerak karena sedang dzikir petang. Ia akan berusaha mempertahankan apa yang di pelajarinya selama disana,di Turki sana. “Barbie yang Tante Call beliin bisa baca AL-Qur’an terus suka salam,Mama.” Mata Callisa terbuka memandang Ratu,sejak menerima mainan yang Callisa berikan suara kesenangannya yang terdengar. Bukan barbie sebenarnya,namun boneka elektronik yang bisa bersuara dan langsung mengucapkan salam saat dihidupkan. “Mama,Ratu pengen gaya bajunya sama dengan barbienya.” Sambari terus berdzikir,Callisa memandang hangat keponakannya. Dua sikap ada disana,Rasya dan Reika. “Ini barbienya pake rok Panjang terus sweater besar,pake jilbab juga. Ratu-nya mama pengen model kayak gini?” senyum Callisa semakin mengembang saat dengan Antusiasnya Ratu menganggukkan kepalanya pertanda mau. Tak lama matanya terpejam kembali,sebenarnya Beristigfar tidak ada di deretan dzikir petang yang Callisa pelajari,namun karena sudah menyelesaikan semuanya maka tak ada salahnya menambah kegiatannya daripada bosan mau bikin apa. Dimulai dengan membaca Ta’awudz terus diakhiri dengan membaca doa perlindungan dimalam hari sebanyak 3 kali. Callisa sudah melakukannya secara kusyuk tentu saja belum menghapalnya masih menggunakan buku Dzikir yang ia dapatkan berbulan-bulan lalu. “Tidak berniat makan sesuatu? Mba bisa minta Bibi untuk bawain kamu cemilan. Bibi langsung bergegas kesini dari mension utama pas tau kamu sudah kembali,malah sekarang sudah masak dengan antusias,” pejaman matanya kembali terbuka,langsung bertemu pandang dengan Deva yang sedang mengaduk sesuatu di piring berbentuk mangkuk? Entahlah bentuknya bagaimana. “Itu apa Mba?” tanyanya bingung, “Makanannya Exas,piringnya lucu makanya mba pake. Exas juga lahap banget makannya pas pake piring ini mungkin tertarik dengan bentuknya kali ya? Tau engga Dek,kebahagiaan terbesar seorang ibu itu pas liat anaknya makan dengan lahap,beuh! Haha.” tertawa kecil,Deva kembali masuk kedalam niatnya memang hanya ingin menawarkan Callisa makan sesuatu. “Buah aja Mba,” beritahunya cepat sebelum Deva menghilang dibalik pintu kaca dibalas kakak iparnya dengan ajungan jempol,oke. “Jadi rencananya mau lanjutin bisnisnya Mami,Dek?” perhatian Callisa teralihkan pada Rasya. “Sebenarnya masih bingung mau melakukan apa,selama disana juga aku sudah memikirkan berulang kali tetap bingung mau kerjain apa. Yaudahlah,jurusanku dulu kan Fashion? Nah,itu dia. Palingan aku bantu cocok-cocokin warna aja disana,” jawabnya linglung,menurunkan kakinya yang langsung berhadapan dengan pinggiran kolam. Entah apa tujuan Ray memasang ayunan ranjang disini,mana turunnya susah. Perlu bantuan orang lain untuk mengalihkannya ke arah lain atau bisa langsung lompat ke kolam. “Aku bisa minta teman-teman yang lain memper-“ “Tidak perlu kak,aku Sukanya di ranah keluarga aja lebih nyaman dan tidak perlu bersosialisasi lagi. Rencananya malam ini mau kesana tapi baru inget persediaan bajuku cuman ada beberapa jadi lusa aja deh. Besok mau ke mall dulu beli gamis plus jilbab,kan perlu baju baru semua.” Ia menyegir saat Rasya memutar bola matanya, “Memang pada dasarnya jiwa kamu yang suka belanja,Dek.” respon itu Callisa balas dengan tawa kecil. “Rencananya mau ke salon juga,hehe.” Rasya makin menggelengkan kepalanya tak percaya,penampilan adiknya memang berubah tapi mengenai kebiasaannya ya tetap ada. “Kakak tetap memperingatimu untuk tidak belanja barang kelebihan,” tegasnya,Callisa memasang wajah cemberut. “Kayaknya besok bakal habis puluhan juta deh,” gumamnya semenit kemudian,ada banyak barang yang mau Callisa beli. “Callisa.” “Benar loh kak,aku perlu beli banyak gamis. Kakak pikir gamis yang aku pake sekarang murah? Satu set dengan jilbab nyaman ini aja dua jutaan. Kalau aku beli 12 pasang? Habis berapa? 24 juta dong? Belum lagi beli sepatu yang haknya kecil,kaos kaki premium,tas selempang yang cocok. Belum lagi daster-daster rumahan yang Panjang atau gaun khusus pake jilbab,terus apalagi ya? Jilbab kaos untuk dirumah,sweater Panjang. Pokoknya banyak deh,hayolah. Kakak engga mendukung perubahanku?” Rasya menaikkan kedua tangannya di udara pertanda menyerah,kalau sudah pada dasarnya doyan belanja ya begitu mau bagaimana tetap aja suka. Callisa tertawa kecil di tempatnya,menepuk punggung Ray yang sejak tadi ada disampingnya,sedang tidur. Jangan katakana ayunan ini kecil,padahal luas sekali. Pertama kali melihatnya tadi Callisa sampai membuka google untuk melihat berapa harganya. Kakaknya ini katanya kangen berat sama Callisa maka selalu mengekori kemanapun Callisa pergi asalkan bukan dikamar,rebahan disini saja sampai ikutan naik saking luasnya. Namun saat Callisa mencari harganya,ia malah tidak menemukan bentuk seperti ini. “Engga bakal ada Dek,ini kakak yang pesan langsung terus jadinya dua minggu kemudian. Harganya lumayanlah buat kak Rasya geleng-geleng kepala saking mahalnya,cuman 109 juta lebih lima ratus ribu kok. Katanya yang mahal itu tali ayunan sama kayunya,penopangnya agar tahan beban dan lama dipakainya. Hebat kan? Serasa di alam dan dekat dengan lautan? Walaupun cuman kolam engga papalah,yang terpenting suasana lautnya ada.” Luar biasa bukan? Dan kakaknya memang sesuka itu dengan yang Namanya lautan makanya buat ginian. “Kenapa Dek?” tanya Ray tanpa membuka pejaman matanya sama sekali,baru kali ini ia tidur nyenyak tanpa berpikir ini itu dulu sebelum tidur. “Mau turun,masa lompat ke kolam?” jawabnya. Ray hanya tertawa kecil,ia sungguh merindukan momen ini apalagi Bersama dengan Callisa. Ia dengan cepat mendorong Callisa kebawah dan langsung tercebur kedalam kolam renang itu. “Kak Ray!!” “Hahah!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD